Sejak tahun 90-an Kota Malang memang sudah memiliki pasar buku di sekitar Stasiun Kota Baru, tepatnya di Jalan Sriwijaya dan Jalan Majapahit. Namun oleh Bapak Peni Suparto selaku Walikota Malang saat itu, tepatnya di tahun 2008, para pedagang di pasar buku ini direlokasi. Pedagang yang melapak di Jalan Sriwijaya direlokasi ke Sisi Timur Kota Malang yakni di Pasar Buku dan Seni Velodrome, sedangkan pedagang buku jalan Majapahit dipindahkan ke sisi tengah kota atau yang kini dikenal dengan Pasar Buku Wilis.
Berbeda jauh dengan kondisi para pedagang buku di Wilis yang lebih ramai, Velodrome jauh lebih sepi. Saat masih berkuliah di Malang dulu kalau ke Wilis sering ketemu pembeli dari kalangan mahasiswa ataupun pelajar. Mungkin karena memang dekat dengan kampus-kampus besar dan sekolahan. Sebaliknya di Velodrome hampir jarang atau bahkan hampir tidak pernah ketemu mahasiswa ataupun pelajar yang belanja kesini. Di banyak tulisan dan pemberitaan juga menyebutkan soal kondisi dari pasar buku ini yang sepi pengunjung apa lagi pembeli. Ditambah lagi posisinya yang jauh di pinggir kota.
Menghidupkan kembali Pasar Buku dan Seni Velodrome ini adalah salah satu langkah penting dalam melestarikan budaya, literasi, dan seni, tetapi tanggung jawab ini tidak bisa dibebankan sepenuhnya kepada pemerintah. Sebab ada banyak pihak yang memiliki peran penting dalam menghidupkan kembali ekosistem pasar buku, sebenarnya siapa saja sih yang harus terlibat dan mengambil peran di dalamnya, mari simak ulasannya :
1. Mahasiswa dan Lembaga Akademik
Mengingat Kota Malang ini merupakan Kota Pendidikan, di mana setiap tahunnya selalu didatangi oleh ribuan pelajar dan mahasiswa dari berbagai penjuru daerah, maka sudah seharusnya yang menjadi garda terdepan dalam menghidupkan kembali denyut kehidupan literasi di sisi timur kota adalah para siswa, mahasiswa, akademisi dan para guru.
Kerja sama bisa dilakukan antara pengurus pasar dengan sekolah atau universitas. Misalnya dengan mengadakan kunjungan atau program literasi dan seni, bisa memperluas segmentasi pengunjung Velodrome. Institusi pendidikan bisa berperan dalam mengedukasi pentingnya literasi dan seni kepada siswa dan mahasiswanya.
Baca juga:
Selain itu kampus-kampus juga bisa mengadakan kajian diskusi di tempat ini dengan para pedagang sebagai narasumber terkait dunia perbukuan. Atau bisa juga diadakan kajian literasidan pengarsipan buku. Program ini sangat mungkin dilakukan mengingat ada banyak pedagang buku yang mengerti tentang buku serta mengkoleksi terbitan lama dan langka. Hal itu membuat Velodrome tidak hanya terbatas sebagai transaksi jual beli buku saja, tapi juga bisa menjadi tempat pertukaran ide para intelekual.
Para mahasiswa juga bisa membantu membangun branding Pasar Buku dan Seni Velodrome sebagai wajah literasi sisi timur Kota Malang melalui platform digital. Selain itu Velodrome bisa juga menjadi tempat kajian penelitian studi literasi kolektif berbasis paguyuban pedagang buku. Program ini masih sejalan dengan Tridharma Perguruan Tinggi yakni : Pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, pengabdian kepada masyarakat, karena akan bisa menghidupkan UMKM perbukuan yang sudah semakin jarang dilirik.
2. Komunitas dan Pegiat Literasi
Tak hanya orang-orang di lingkup civitas akademik saja yang harus terlibat, para pegiat literasi dan komunitas-komunitas lokal yang bertalian dengan dunia seni dan literasi juga harus ikut terjun melibatkan diri dalam menghidupkan pasar buku dengan membuatkan berbagai acara kolaborasi. Para Penggiat seni, seniman, komunitas, serta pegiat literasi dapat berkontribusi secara aktif dengan mengadakan kegiatan di pasar tersebut. Beberapa acara yang bisa dibuat antara lain pameran seni, diskusi buku, pertunjukan musik, atau workshop seni. Kegiatan ini dapat menjadi daya tarik yang bisa menghidupkan kembali minat masyarakat terhadap pasar buku. Ambil contoh saja di M Bloc Space dan Pos Bloc yang awalnya gedung mati, kini menjadi lebih hidup dan menjadi jujukan anak muda. Dua tempat itu berhasil menjaring berbagai macam kolektif ataupun komunitas.
Memang proses untuk menghidupkan ekosistem ini cukup berat, mengingat persebaran kampus di Malang kebanyakan ada di sisi Barat Kota. Namun lokasi Velodrome di ujung timur Kota Malang dekat dengan pintu Tol Madyopuro ini justru bisa menjadi celah untuk membangun Pusat Wisata Literasi baru. Hal itu sangat memungkinkan kalau saja semua pihak mau mengambil peran. Tinggal bagaimana cara menggodok dan saling bergandengan tangan dalam menghidupkan dan meramaikan tempat ini.
3. Pengusaha dan Pedagang
Para pedagang memang memiliki peran besar dalam menghidupkan tempat ini. Mereka perlu menciptakan daya tarik. Sinergi antara para pedagang dalam berkolaborasi dengan pengusaha juga dapat menambah daya tarik pengunjung. Salah satu opsi yang bisa diambil misalnya dengan menggaet para pelaku usaha kedai kopi. Mengingat pesatnya pertumbuhan sentra kopi di Kota Malang, program kerja sama ini bisa menjadi salah satu strategi pengembangan.
Banyaknya tempat wisata lama yang menjadi lebih hidup semenjak adanya kedai-kedai kopi di Malang. Ambil saja contoh Senaputra, taman wisata legendaris arek-arek Malang tahun 90-an yang pernah sepi. Kini Senaputra menjadi ramai kembali sejak beralih wahana menjadi tempat ngopi. Bahkan di bulan September 2024 Senaputra menjadi spot acara Festival Sastra Kota Malang 2024. Kawasan Pasar Klojen dan Pasar Tawangmangu pun begitu. Pernah mengalami fase sepi, dua tempat itu kini menjadi spot tempat anak muda berkumpul dan nongkrong.
Baca juga:
Dari beberapa contoh di atas, tidak salah rasanya kalau para pedagang bekerja sama dengan para pengusaha kedai kopi. Siapa tahu dari kedai-kedai inilah akan muncul beragam acara yang bisa menarik banyak pengunjung. Tak kalah menarik juga jika di Velodrome diadakan acara-acara gigs, zine fest, lokakarya, hingga forum diskusi mengingat lokasinya berada di sarangnya literasi. Dengan adanya acara-acara itu akan memperbanyak interaksi antara pedagang dan pengunjung yang pastinya akan berdampak positif terhadap angka penjualan buku.
4. Media dan Influencer
Media dan para influencer bisa menjadi jembatan antara Pasar Buku dan Seni Velodrome dengan masyarakat luas. Mereka bisa menjadi bagian dari komunitas pendukung yang menjaga keberlangsungan Velodrome sebagai pusat kegiatan literasi dan seni. Melalui liputan dan promosi yang tepat, Pasar Buku Velodrome bisa diperkenalkan kepada generasi muda ataupun kelompok yang belum akrab dengan tempat ini. Di era yang serba digital seperti sekarang kekuatan konten-konten yang dibuat oleh para influencer di media sosial bisa menarik minat berbagai kalangan untuk datang.
Sekali lagi, ini memang tidak mudah, kawasan timur Kota Malang ini bukan kawasan yang dekat dengan Perguruan Tinggi seperti di sisi barat ataupun di pusat kota. Oleh sebab itu semua pihak harus saling bahu membahu dalam menghidupkan ekosistem Velodrome sebagai ruang literasi.
Peran pemerintah memang penting dalam menyediakan fasilitas dan regulasi. Namun dukungan dari berbagai pihak di luar pemerintahan akan dapat menciptakan pasar yang lebih dinamis dan berkelanjutan. Mengingat Pemerintah Kota Malang saat ini memang sedang berfokus menghidupkan spot destinasi wisata lainnya yaitu Koridor Kayutangan, maka inisiatif menghidupkan ekosistem Velodrome bisa segera dimulai tanpa menunggu pemerintah. Oleh karena itu kolaborasi dari banyak pihak ini akan sangat diharapkan untuk memastikan Pasar Buku dan Seni Velodrome tidak hanya hidup kembali, tetapi juga bisa berkembang di masa depan. (*)
Editor: Kukuh Basuki