“Aku besertamu, orang-orang malang.”
Soe Hok Gie (1942 – 1969)
Apakah pendapat orang mengenai situasi keadilan kita masa kini? Sudah dipastikan setiap diskusi hangat mengatakan bahwa keadilan kita telah mati. Keadilan telah mati akibat ulah kepentingan-kepentingan individu yang tidak bertanggung jawab di pundak pemerintahannya. Walaupun sesungguhnya hukum diciptakan untuk keadilan, tetapi kenyataannya hukum diciptakan untuk merekayasa kehidupan. Sudah jauh dari tujuan arti makna keadilan dan hukum di negeri ini. Perangkat dan penegak hukum bertindak juga atas kepentingan mereka sendiri dan penguasanya.
Bila kita berkaca pada situasi yang buruk di negeri ini mengenai hukum dan keadilan, siapakah yang akan menjadi benteng perlawanan dari semua ini? Tidak lain adalah aktivisme mahasiswa. Walaupun demikian, era saat ini sudah berbeda dengan gerakan-gerakan mahasiswa beberapa dekade yang lalu. Beberapa dekade yang lalu mahasiswa telah bergerak mengawal jalannya keadilan di negeri kita dengan aksi turun ke jalan. Hal ini tetap berlanjut hingga masa kini, tetapi pilihan di tengah arus situasi zaman bagi mahasiswa kita adalah bergerak secara langsung seperti dahulu atau berpartisipasi melalui media massa online.
Efektif atau tidaknya suatu aksi tergantung pada ujub atau permohonan yang disuarakan. Aktivisme mahasiswa saat ini tampak terlihat dari berbagai macam keberaniannya mengunggah di platform media sosial, tetapi apakah mereka memahami secara total ujub yang disuarakan itu? Jawabannya sangat dilematis dan memprihatinkan. Banyak diantara mereka tidak memahami hal yang dibahas sebagai bagian dari konsolidasi aksi. Mereka rata-rata hanya tahu sepintas, tetapi inilah kejamnya kebudayaan fomo yang melekat di dalam anak muda masa kini. Mereka kehilangan arah tujuan aktivisme mereka.
Pasca-Keadilan
Situasi Indonesia saat ini merupakan situasi pasca-keadilan atau post-justice. Kita melihat bahwa situasi saat ini dipenuhi dengan praktik-praktik yang jauh dari kata adil dalam hukum kita. Aspek yang mewarnai ini semua tidak lepas dari kepentingan semata. Soe Hok Gie dalam artikel berjudul Generasi yang Lahir Setelah Tahun Empat Lima (Kompas, 16 Agustus 1969) menuliskan berbagai keresahan dan depresif yang terjadi di kalangan mahasiswa akibat idealisme mereka yang tak terpenuhi. Gie mengatakan bahwa mahasiswa hukum juga akan mengalami hal depresif bila kuat dalam idealisme mereka menjadi bagian dari penegak hukum. Sebab banyak hukum tidak tertulis dan praktik garong-garong yang memiliki koneksi di antara penegak hukum sehingga tak ada artinya lagi keadilan itu.
Keresahan lain juga dituliskan Gie dalam artikel Putra-Putra Kemerdekaan: Generasi Sesudah Perang Kemerdekaan (Indonesia Raya, 5 Januari 1970). Bagi Gie generasi yang lahir setelah perang kemerdekaan adalah generasi yang optimis dalam melihat segala sesuatu. Mahasiswa hukum pada saat itu juga demikian. Bagi Gie, mahasiswa hukum memiliki sifat optimis terhadap idealisme yang ia bangun yaitu menjadi seorang penegak hukum di tengah situasi bangsa yang kritis akan keadilan. Sayangnya idealisme mereka harus berhenti akibat praktik-praktik penegakan hukum sangat jauh dari nilai-nilai keadilan itu sendiri. Mereka tidak menyadari bahwa ada hukum tidak tertulis yang lebih superior daripada hukum tertulis yang sesungguhnya perlu praktik penegakan atas dasar keadilan.
Baca juga:
Kritik keras Gie terhadap mahasiswa hukum pun dituangkan dalam artikel berjudul Seorang Dosen, Seorang Pengacara, dan Seorang Mahasiswa (Mahasiswa Indonesia/Edisi Jabar, 7 Juli 1969). Dalam artikel tersebut Gie mengkritik dengan keras arti dan substansi dari mempelajari ilmu hukum di Indonesia. Gie melihat pengalaman kawan-kawannya yang berkecimpung di dunia hukum di mana realitas penegak hukum adalah menginjak-injak hukum itu sendiri. Ia mengatakan bahwa banyak orang-orang dipenjara atas alasan yang tidak jelas dan beberapa diantara mereka mati di penjara. Melihat situasi demikian Gie mengkritik praktik mahasiswa hukum yang dilakukan hanya sebatas untuk mempelajari rule of law saja. Gie juga memberikan saran agar mahasiswa hukum lebih baik membantu menyelesaikan masalah tukang sayur yang diperlakukan tidak adil oleh aparat ketimbang mengikuti seminar.
Dari tulisan-tulisan Gie, pembelajaran aktivisme mahasiswa hukum adalah sebagai generasi yang hidup di tengah situasi pasca-keadilan. Situasi demikian jelas membuat aktivisme atas dasar idealisme itu membuahkah frustasi yang tidak mudah. Namun, kita tidak perlu menyerah begitu saja di tengah situasi ini. Gie setidaknya telah memberikan kita pencerahan bahwa peran utama mahasiswa hukum adalah lebih banyak terlibat pada permasalahan sosial. Sehingga idealisme kita tidak sebatas belajar dan belajar, tetapi juga memahami situasi konkret kita saat ini yang dipenuhi tindakan rekayasa hukum demi kepentingan penguasa.
Aksi Nyata
Idealisme dan cita-cita mahasiswa hukum seperti apa yang diungkapkan sebelumnya. Meskipun demikian idealisme itu tidak selalu sama dengan realitas yang ada di masyarakat kita saat ini. Mahasiswa hukum generasi saat ini ditantang untuk terlibat melawan terhadap praktik-praktik busuk penguasa yang perlahan-lahan menindas rakyatnya. Perlu disadari bahwa saat ini rakyat benar-benar dininabobokan oleh penguasa terutama anak-anak muda untuk apatis terhadap situasi keadilan saat ini. Namun patut disyukuri pula bahwa saat ini masih banyak anak muda yang berjuang untuk keadilan di negeri kita melalui aksi nyata.
Kuliah hukum pada dasarnya merupakan landasan mahasiswa hukum melaksanakan aktivismenya. Maka yang diharapkan adalah ilmu yang diperoleh tidak sebatas berhenti pada pribadi seseorang, tetapi juga bermanfaat bagi orang-orang yang jauh dari nilai-nilai keadilan. Kiranya apa yang dicita-citakan oleh Soe Hok Gie benar-benar tercapai dan membuka mata hati mahasiswa hukum untuk bergerak dan tidak terbunuh pada frustasi idealisme mereka. Dengan kemudahan teknologi pula sesungguhnya partisipasi mahasiswa hukum juga semakin menyala melalui hal-hal yang edukatif dan hal ini mampu menarik rakyat pada wawasan keadilan yang luas dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Kiranya Gie telah memberikan banyak refleksi tentang situasi hukum kita. Maka sudah seharusnya pula mahasiswa hukum berani bersuara dan merealisasikan refleksi Gie. (*)
Editor: Kukuh Basuki