Secara historis, pesantren memiliki sejarah panjang dalam mewarnai perjalanan bangsa ini. Bagaimana tidak, sebagai salah satu lembaga pendidikan tertua, pesantren sudah seperti museum hidup yang bisa mendeskripsikan serta mendokumentasikan corak sejarah sosial, budaya, dan politik Indonesia. Lalu, bagaimana dengan situasi pesantren hari ini?
Menurut Nurcholis Majid, pesantren pada awalnya memang didesain sebagai media walisongo untuk menyebarkan agama Islam di Nusantara. Sebagai pusat penyebaran agama Islam kala itu, pesantren turut memengaruhi terjadinya akulturasi budaya lokal dengan budaya Islam. Dan dalam perkembangannya, secara kultural pesantren sangat identik dengan nilai keislaman Indonesia. Pesantren adalah rahim. Dari sanalah banyak tokoh besar lahir. Sebut saja Abdurrahman Wahid (Gus Dur), KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy’ari, dan masih banyak lagi.
Pada masa kini, tujuan utama pesantren masih tidak jauh berbeda. Pesantren menjadi tempat seorang kyai mengajarkan dan membekali para santrinya agar mampu menguasai ilmu agama (tafaqquh fid din). Tidak berhenti sampai di situ, pesantren juga menjadi salah satu tempat dari apa yang dimaksud Clifford Geertz sebagai makelar budaya (cultural broker). Dengan meminjam istilah tersebut, secara singkat Geertz menjelaskan adanya eksistensi sebuah kelompok atau individu yang memiliki fungsi menjaring serta memfilter segala bentuk impor budaya, lalu memilah dan memilih mana budaya yang dianggap sesuai dengan nilai-nilai lokal.
Baca juga:
Sisi Jalan Kontrakultur
Sudah sejak lama kalangan akademisi mempopulerkan pesantren sebagai subkultur. Subkultur sendiri dapat didefinisikan sebagai keberadaan kelompok dengan nilai, norma, dan budaya berbeda dari kelompok pada umumnya. Gus Dur berpendapat setidaknya terdapat beberapa aspek agar pesantren dapat masuk dalam kategori tersebut. Mulai dari pola kepemimpinan yang mandiri tanpa ada campur tangan negara, pandangan nilai yang dianut, hingga adanya berbagai literatur yang khas sebagai cara hidup (life pattern). Namun, seiring modernisasi zaman, muncul kelompok tandingan yang merusak budaya yang telah mapan. Kelompok ini biasanya sering disebut sebagai kelompok kontrakultur.
Menurut Syamsul Arif, secara singkat kontrakultur ditandai dengan adanya penyebaran rasa takut serta norma pemisah diri yang berbeda dengan kultur utama. Contoh yang terjadi saat ini adalah maraknya kasus kekerasan seksual di lingkungan pesantren. Selain itu, beberapa pesantren telah bermetamorfosis menjadi pusat gerakan terorisme di Indonesia. Gerakan ini berkamuflase atas nama pesantren, padahal di dalamnya para santri disusupkan ideologi-ideologi radikal yang jauh dari nilai dan tradisi Indonesia. Munculnya pesantren kontrakultur adalah cerminan dari semakin masifnya pengaruh luar tanpa diimbangi dengan peningkatan kapasitas pesantren.
Bahtsul masail sebenarnya bisa menjadi sarana peningkatan kapasitas pesantren. Metode ini hanya perlu ditingkatkan lagi dengan memberikan porsi lebih kepada santri untuk berlatih bernalar dan berpikir kritis. Hanya saja metode ini belum ada di setiap pesantren, sehingga ada celah yang dapat dimanfaatkan oleh para kelompok ekstrimis untuk mengembangkan jaringan mereka. Mengutip data yang dikeluarkan oleh BNPT (Badan Nasional Pencegahan Terorisme) tahun 2022, setidaknya ada 198 pesantren terafiliasi jaringan teroris. Hal tersebut, tentunya menjadi ancaman sekaligus perhatian. Apabila terus dibiarkan, jaringan mereka semakin kuat dan tidak ada yang tidak mungkin mereka akan sulit diberantas.
Baca juga:
Sisi Jalan Modernisasi
Tantangan pesantren bukan lagi sebatas persoalan penyelesaian mengenai subkultur atau kontrakultur. Di sisi jalan yang lain, pesantren memiliki tantangan besar sebagai institusi pendidikan keagamaan yang dituntut untuk menjawab berbagai permasalahan modern. Pesantren harus menjadi katalisator perubahan sosial serta sumber jawaban dari berbagai permasalahan, seperti permasalahan masyarakat, terorisme, isu lingkungan di era perubahan iklim, kesetaraan gender, hingga manajemen kelembagaan.
KH Sahal Mahfudz berpendapat bahwa pesantren memang harus segera bertransformasi agar tidak semakin tertinggal oleh zaman. Transformasi yang dilakukan pesantren menurut Kiai Sahal tidak harus meninggalkan pola dan ciri khas aslinya. Melestarikan tradisi lama yang baik sekaligus mengambil tradisi baru yang lebih baik. Memasukkan pendidikan umum sebagai bagian dari kurikulum serta mengadakan pelatihan dan inkubasi merupakan salah satu langkah kecil pesantren dalam merespons modernisasi. Harapan akhirnya yakni agar pesantren tetap menjadi pilihan orang tua tanpa rasa takut.
Pemikiran dan bayangan kita tentang pesantren harus diubah, bahwa pesantren bukan lagi sekadar pencetak ahli agama, tetapi juga lembaga yang menyelenggarakan pendidikan untuk melatih keterampilan soft skill dan hard skill, juga kemampuan pemecahan masalah dengan perspektif agama. Dengan begitu, yang dimaksud Geertz mengenai pesantren sebagai agen filtrasi budaya akan tetap relevan dan selaras dengan modernisasi. Menyambung juang, merengkuh masa depan. Semoga menjadi refleksi harmonisasi pesantren sebagai tempat belajar para santri.
Editor: Prihandini N