Menempati posisi kedua–setelah Papua Nugini–sebagai negara dengan bahasa terbanyak di dunia adalah sebuah kebanggaan bagi Indonesia. Namun, apakah Indonesia mampu menjaga bahasa daerah di tengah perkembangan dan kemajuan teknologi digital ini? Jawabannya adalah iya atau tidak. Kemudian jawaban iya atau tidak itu hanya akan dibuktikan oleh langkah-langkah yang diambil untuk tetap menjaga bahasa-bahasa daerah. Menjaga bahasa daerah tidak semudah membalikkan telapak tangan. Jumlah bahasa daerah di Indonesia yang mencapai angka 718 memerlukan upaya yang ekstra untuk terus menjaganya. Menurut Kemendikburistek, di antara 718 bahasa daerah tersebut, ada banyak yang kondisinya terancam punah dan kritis.
Penyebab punahnya suatu bahasa ada banyak. Misalnya, menurut UNESCO, penyebab bahasa daerah mengalami kepunahan adalah penutur jati yang tidak lagi menggunakan dan mewariskan bahasanya ke generasi selanjutnya. Fenomena ini juga sering terjadi di Indonesia. Coba sejenak kita melihat lingkungan sekitar. Ada banyak anak muda yang memilih untuk menggunakan bahasa gaul dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, tidak sedikit dari mereka merasa malu ketika menggunakan bahasa daerah. Bukan hanya mereka, melainkan orang dewasa yang masih bisa berbahasa daerah juga sudah jarang menggunakan bahasa daerah dalam kehidupan sosial mereka. Namun, ini bukanlah perkara perbedaan usia dan generasi. Bukan pula perkara siapa yang benar dan siapa yang salah. Ini adalah perkara bagaimana masyarakat bisa memperlakukan bahasa daerah sebagai sebuah praktik baik dalam menjaganya.
Selain itu, faktor maraknya penggunaan bahasa asing di Indonesia juga bisa dilihat sebagai sebuah faktor penggerus bahasa daerah, bahkan bahasa Indonesia. Saat ini, tidak sedikit orang memilih untuk mencintai bahasa asing daripada bahasa daerah yang juga rata-rata merupakan bahasa ibu. Banyak juga orang yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial yang cenderung “xenoglosofilia”. Istilah ini merujuk pada kesukaan berlebihan terhadap bahasa asing. Lingkungan sosial yang seperti ini juga bisa disebut sebagai lingkungan penutur bahasa yang menggunakan campur kode. Artinya, antarsesama mereka sering mencampurkan bahasa asing dalam berkomunikasi. Fenomena ini tidak serta merta dinilai sebagai hal yang salah. Namun, apakah hal ini dapat menggeser peran bahasa daerah sebagai alat komunikasi antarsesama penutur bahasa tersebut? Yang paling penting adalah menguasai bahasa asing bukan berarti melupakan bahasa daerah.
Transformasi Pelestarian
Tidak ada cara terbaik untuk melestarikan bahasa daerah. Semua cara dapat dikatakan baik jika sama-sama berorientasi pada kemajuan bahasa daerah di tengah perkembangan teknologi digital. Digitalisasi saat ini memaksa semua orang untuk bergerak cepat dalam menyesuaikan diri. Digitalisasi bisa berdampak baik, bisa juga berdampak buruk. Lantas, dengan adanya digitalisasi inilah kita dapat menggunakan berbagai metode digital untuk menjaga, melestarikan, dan memajukan bahasa-bahasa daerah di Indonesia.
Yotowawa Media Center adalah salah satu bukti nyata pemanfaatan teknologi digital untuk pelestarian bahasa daerah di Indonesia. Kalau dibaca di website mereka bagian “tentang kami”, mereka mempunyai tujuan mulia untuk melestarikan budaya Yotowawa melalui revolusi pendidikan dan teknologi informasi. Pada tahun 2021, komunitas ini berhasil menciptakan kamus digital sebagai upaya pelestarian bahasa Meher dan Woirata di Maluku. Hal ini tentu sangat membanggakan. Adanya Yotowawa Media Center menjadi sebuah bukti bahwa masyarakat kita masih sadar akan nasib bahasa daerah di tengah digitalisasi. Ini juga menjadi semacam refleksi untuk mencintai bahasa daerah yang bagi banyak orang juga menjadi bahasa ibu.
Baca juga:
- Gegar Budaya: Bukan Sekadar Kecanggungan Berbahasa
- Penjajahan Bahasa
- Psikologi Indigenous: Dana Riset, Bahasa Ilmiah, dan Permasalahan Lainnya
Dokumentasi bahasa daerah adalah hal yang tidak boleh dianggap remeh. Kita perlu melakukan transformasi dalam pendokumentasian bahasa daerah. Selain menggunakan metode dokumentasi bahasa yang tidak sepenuhnya lepas dari hubungan antar manusia, kita juga dapat melakukan dokumentasi bahasa menggunakan bantuan teknologi.
Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia adalah salah satu program studi yang mengajarkan mahasiswa melakukan dokumentasi bahasa dalam bentuk kamus bahasa daerah. Proses pembuatan kamus yang mereka lakukan terbilang canggih karena menggunakan teknologi dalam proses penyusunan lema atau kosakata yang ada di dalam kamus. Proses wawancara informan dalam mengumpulkan kosakata pun cenderung menggunakan konferensi video. Walaupun hanya berbentuk kamus sederhana, tetapi langkah ini adalah bentuk konkret praktik pelestarian bahasa daerah di lingkungan pendidikan.
Bisa jadi bentuk dokumentasi bahasa melalui kamus digital atau translator machine (mesin penerjemahan) terlalu berat untuk dilakukan. Oleh karena itu, masih banyak cara untuk melestarikan bahasa daerah. Hal yang paling dekat dengan kita adalah media sosial. Dengan membuat akun khusus untuk berbagi kosakata bahasa daerah tentu sudah menjadi langkah yang baik dalam merawat bahasa daerah di tengah digitalisasi. Hal ini tidaklah berat. Cukup dengan mengunggah konten berbahasa daerah di media sosial, kita sudah berkontribusi bagi pelestarian bahasa daerah di Indonesia. Diperlukan konsistensi untuk melestarikan bahasa daerah melalui media sosial. Jika kita bisa konsisten, dampaknya pelan-pelan akan terasa. Tidak dapat dimungkiri penggunaan media sosial saat ini menjadi cara praktis dalam menyebarluaskan informasi.
Para akademisi dan pencinta bahasa tentu lebih tahu bagaimana cara melestarikan sebuah bahasa di tengah arus digitalisasi seperti saat ini. Ada banyak cara. Ada banyak jalan. Kita dapat pula menerapkan teori-teori linguistik komputasi dalam upaya pelestarian bahasa dengan menggunakan teknologi komputer. Walaupun linguistik komputasi ini terbilang sulit, tetapi sudah saatnya kita menggunakan keilmuan ini agar mampu mempertahankan ratusan bahasa daerah. Dengan itu, Indonesia akan diperhitungkan secara global dalam hal menjaga bahasa daerah di tengah digitalisasi yang kian pesat ini.
Perkara menjaga bahasa daerah bukan hanya urusan orang-orang yang bergerak di bidang bahasa saja, melainkan urusan kita semua. Banyak upaya lain yang bisa dilakukan mengingat kita semua hidup di zaman yang serba digital. Bahkan, peribahasa dunia tak selebar daun kelor menjadi aktual ketika kemajuan teknologi digital membuat dunia seakan dalam genggaman. Oleh karena itu, kesempatan inilah yang dapat sama-sama kita manfaatkan sebagai media untuk menjaga, merawat, dan melestarikan bahasa-bahasa daerah di Indonesia. (*)
Editor: Kukuh Basuki