Ketika banyak masalah menyelubungi pengerjaan skripsi, mulai dari plagiasi hingga joki, masih relevankah skripsi dipertahankan sebagai syarat kelulusan?
Kasus pencurian karya akhir menggemparkan warga kampus Universitas Negeri Semarang pada tahun 2021 lalu. Tak tanggung-tanggung, plagiat skripsi menjadi disertasi ini dilakukan oleh calon rektor UNNES, Prof. Fatkhur Rohman. Fatkhur memplagiat skripsi mahasiswa bimbingannya untuk memuluskan jalannya menjadi rektor. Kasus Rektor UNS ini adalah gambaran nyata bagaimana proses penulisan karya ilmiah di pendidikan tinggi kita penuh dengan masalah dari level mahasiswa hingga guru besar.
Laporan investigasi Kompas Februari 2023 menguak bahwa profesor pun menggunakan jasa joki untuk menulis karya ilmiah. Masih menurut laporan tersebut, dosen-dosen di berbagai universitas di seluruh Indonesia juga menggunakan praktik-praktik yang tidak etis dalam menerbitkan karya ilmiah, mulai dari joki hingga nebeng nama di penelitian mahasiswa.
Baca juga:
Di level mahasiswa, sebagai mahasiswa tingkat akhir, saya melihat sendiri bagaimana skripsi menjadi momok yang menakutkan. Teman-teman sesama mahasiswa akhir banyak yang sudah merasa stuck sejak proses mencari judul. Ketika judul sudah didapat, mereka kerap tak bisa melanjutkan penelitian dengan berbagai alasan. Mulai dari hambatan yang berasal dari diri sendiri seperti perasaan malas, terganggu kegiatan lain, tak bisa membagi waktu dan konsentrasi, hingga faktor dosen pembimbing.
Dosen yang terlalu perfeksionis membuat mahasiswa merasa trauma dan ketakutan untuk menemui dosen pembimbing. Beberapa teman saya hilang semangat ketika berulang kali judul yang mereka ajukan ditolak dengan berbagai macam alasan. Tugas akhir, yang seharusnya menjadi ajang pemanfaatan ilmu yang telah didapat selama duduk manis menyimak dosen, malah menjadi penghambat mahasiswa meraih gelar yang dinantikan.
Tugas akhir mahasiswa sebenarnya bermacam-macam bentuknya. Bisa ditempuh melalui skripsi, membuat jurnal ilmiah, atau melaksanakan proyek dengan melampirkan laporannya. Adanya alternatif lain sebagai syarat kelulusan ini membuat banyak yang bertanya: apakah skripsi betul dibutuhkan?
Ada dua pendapat yang berbeda dalam melihat pentingnya skripsi. Pendapat pertama, skripsi bukan lagi satu-satunya penentu kelulusan mahasiswa. Mahasiswa yang sudah memiliki karya ilmiah lain seperti artikel ilmiah ataupun sudah memenangi perlombaan nasional dapat lulus tanpa perlu mengerjakan skripsi.
Pendapat kedua, skripsi adalah satu-satunya cara untuk mengukur apakah mahasiswa layak mendapatkan gelar yang telah ditempuh selama empat tahun. Apakah mahasiswa sudah berhasil mengelaborasikan ilmu yang telah didapatkan dengan keadaan sebenarnya di masyarakat. Pembuktian itu hanya bisa diukur melalui skripsi.
Dengan kata lain, skripsi sebagai syarat kelulusan adalah sebuah keharusan. Sebab, skripsi adalah ajang pembuktian apakah seorang mahasiswa layak menyandang gelar yang ditempuhnya selama 4 tahun. Apabila mahasiswa merasa tidak siap mengikuti dan menjalani rangkaian skripsi, maka dapat dipertanyakan apa yang dilakukannya di kelas. Untuk apa menghabiskan waktu memasuki kelas, duduk mendengarkan dosen, dan membayar UKT jika mahasiswa tidak siap dengan fase skripsi?
Memang, tidak semua mahasiswa bisa dengan cepat menyerap seluruh ilmu yang diberikan oleh dosen selama 7 semester. Ada yang tidak fokus karena kelelahan akibat harus bekerja memenuhi kebutuhan sehari-hari dan membayar UKT. Ada pula yang sebenarnya masih belum terlalu paham metode penelitian. Terlebih, kebingungan dan tidak memiliki teman yang berbaik hati menjelaskan. Atau, ada yang sebenarnya paham, tetapi bingung harus memulai penelitian dari mana.
Banyak beban psikologis dan mental pada mahasiswa yang menempuh skripsi karena melihat teman-temanya lebih cepat darinya. Tak jarang, mahasiswa tingkat akhir mengambil jalan pintas, entah dengan joki skripsi atau—karena sudah tidak kuat—memutuskan meninggalkan dunia sebelum waktunya.
Banyak cara untuk mengatasi hal-hal yang ditakuti ketika menulis skripsi. Mahasiswa bisa membentuk kelompok belajar untuk mendiskusikan kebuntuan dalam menyusun tugas akhir. Bisa juga dengan memperkaya wawasan melalui membaca ulang skripsi atau tugas akhir kakak tingkat terdahulu yang terpajang rapi di perpustakaan fakultas.
Dosen juga seharusnya tidak dibebani dengan tugas administratif berlebih sehingga bisa fokus mengajar dan memberikan ilmu kepada mahasiswanya. Beban kerja dosen yang berlebih menyebabkan dosen harus jumpalitan sana sini sampai-sampai mahasiswa tidak terlayani dengan sempurna ketika membutuhkan bimbingan skripsi.
Baca juga:
Dukungan psikologis dari kampus maupun keluarga sangatlah diperlukan mahasiswa tingkat akhir. Peduli dan tidak mengesampingkan keluhan mahasiswa akhir merupakan cara terbaik untuk mendukung mereka membuktikan laik tidak dirinya menyandang gelar tersebut.
Pada akhirnya, tugas akhir tidaklah menakutkan. Hindari mindset negatif tentang skripsi karena setiap orang memiliki pengalaman tugas akhirnya masing-masing. Jalani saja. Sebab, skripsi yang baik adalah skripsi yang selesai dan bisa dipahami oleh penulisnya sendiri.
Editor: Emma Amelia
One Reply to “Skripsi, Ajang Pembuktian Mahasiswa Tingkat Akhir”