Tulisan ini berangkat dari tiga pertanyaan pokok perihal pekerja rumah tangga. Pertama, seberapa penting PRT dilindungi seturut dengan hak-haknya? Kedua, kurangkah undang-undang di Indonesia melindungi PRT sampai harus ada undang-undang khusus perlindungan PRT? Ketiga, apa yang terjadi jika RUU PRT tidak kunjung disahkan?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, saya akan memulainya dengan asumsi umum yang keliru dan berbahaya bahwa PRT adalah seorang pembantu. Sekilas tidak ada yang salah dengan kata pembantu.
Banyak orang menganggap pembantu adalah orang yang bekerja membantu pekerjaan tertentu dalam suatu rumah tangga. Dari situ, bukan kebetulan kita akan diarahkan ke dua penyebutan lazim yang menunjukkan perbedaan antara “pembantu” dan “yang dibantu”, yakni majikan. Jika diselami, makna serta implikasi kata pembantu dan majikan itu beririsan kuat dengan sejarah perbudakan Indonesia yang berlangsung selama abad 15 hingga 18.
Budak tidak punya posisi tawar sama sekali di tatanan sosial. Biasanya, budak adalah kelompok masyarakat yang tidak punya akses sumber daya maupun politik. mereka dipelihara dan dipekerjakan oleh kaum menengah atas yang, dengan bentuk dan kekuasaan mereka masing-masing, terselip segala bentuk kekejaman di dalamnya.
Banyak hal menyebabkan seseorang menjadi budak kala itu, misalnya hukuman pengadilan dan kekalahan dalam perang. Di saat yang sama pula, mengutip Tania Murray Li dalam buku The Will to Improve: Perencanaan, Kekuasaan, dan Pembangunan di Indonesia (2012), perbudakan juga terjadi dikarenakan orang tidak mampu membayar utang atau denda. Mereka kemudian menjadi budak upahan, alih-alih manusia merdeka yang memutuskan menjual tenaga secara bebas.
Pada tahun 1859, rilis kebijakan Ind. Stb. No. 46-47 sebagai implementasi Pasal 115 Regeringsreglement 1856 yang berisikan perintah untuk meniadakan perbudakan di Hindia Belanda selambat-lambatnya pada 1 Januari 1860. Namun, nyatanya, perbudakan tidak lantas berhenti setelahnya. Praktik perbudakan tetap ada, bahkan kian bertambah karena liberalisme ekonomi di Hindia Belanda membutuhkan lebih banyak tenaga kerja murah. Pada momen inilah istilah pembantu mulai menggantikan istilah budak, tetapi pada intinya sama saja.
Baca juga:
Baik pembantu maupun budak tidak memiliki standar upah, standar pekerjaan yang layak, maupun perlindungan hukum. Mereka dilucuti hak kemanusiaannya, dibatasi gerak-geriknya, dan disiksa jika melakukan kesalahan.
Kekosongan Perlindungan Hukum bagi PRT
PRT—atau pembantu—terjerat perbudakan modern. Mereka termasuk kelompok rentan yang perlu diakui keberadaanya sehingga dapat memperoleh perlindungan hukum.
Namun, PRT belum kunjung beroleh perlindungan hukum karena beberapa hal. Pertama, mereka tidak didefinisikan sebagai pekerja, melainkan pembantu. Hal ini berkaitan dengan UU No. 13 Tahun 2013 Tentang Ketenagakerjaan yang selanjutnya diperkuat melalui UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Bab IV tentang Ketenagakerjaan. Dalam peraturan itu, tak ada sama sekali penyebutan spesifik bahwa PRT adalah pekerja yang perlu dilindungi hak-haknya. Di saat yang sama, PRT tidak dikategorikan sebagai pekerja.
Kedua, ada semacam eliminasi struktural dalam upaya perlindungan kelompok rentan. Menurut Donald Black dalam buku The Behavior of Law: Perilaku Hukum (2020), kondisi ini adalah wujud nyata dari stratifikasi hukum yang berpihak pada aktor tertentu yang mampu mengondisikan kepentingannya melalui ranah politik. Aktor ini pula biasanya lebih berpunya dari segi kepemilikan sumber daya material serta berkedudukan sosial tinggi.
Indonesia sebenarnya sama sekali tidak kekurangan batu uji untuk memastikan perlindungan hukum bagi PRT. Mengutip laporan ILO, Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO No. 105 Tahun 1957 tentang Penghapusan Kerja Paksa, Konvensi ILO No. 100Tahun 1951 tentang Kesetaraan Pendapatan, dan Konvensi ILO No. 111 Tahun 1958 tentang Diskriminasi Pekerjaan dan Jabatan. Di samping itu, Indonesia juga telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), Kovenan Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Hanya saja, sampai hari ini, belum ada titik terang apakah PRT akan segera mendapat perlindungan hukum di Indonesia. Usulan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU-PPRT) tak kunjung dibahas, apalagi disahkan.
Patriarki dan Relasi Kuasa
Diskriminasi PRT dalam perlindungan dan kepastian hukum di Indonesia adalah wujud dominasi patriarki, serta kekerasan yang terlembaga dan sistematis. Dalam siaran pers Komnas Perempuan pada 15 Februari 2022, jumlah PRT di Indonesia mencapai 4,2 juta orang dan mayoritas adalah perempuan. Banyak di antaranya menjadi korban kekerasan di lingkungan kerja mereka.
Dengan melihat fakta itu, sangat mungkin alasan terhambatnya pengakuan kepastian hukum bagi PRT adalah dominasi laki-laki di kalangan pembuat kebijakan. Bersamaan dengan itu, masih adanya pembagian kerja di ranah privat dan publik mengindikasikan bahwa perempuan PRT secara nyata terisolasi dari lingkungan sosial dan politik.
Adanya pembatasan kerja privat dan publik antara laki-laki dan perempuan dirawat oleh negara. Sebab, menurut Natalie Sedacca dalam tulisannya yang bertajuk Domestic Workers, the ‘Family Worker’ Exemption from Minimum Wage, and Gendered Devaluation of Women’s Work (2022), pembiaran pembagian ruang privat dan publik itu adalah tindakan negara untuk menyembunyikan kekuasaannya.
Baca juga:
Hak-hak PRT terus dimutilasi. Tidak hanya oleh para majikan, tapi juga oleh negara. Tanpa adanya undang-undang yang mengatur soal PRT, tak ada kebijakan yang menjembatani PRT untuk memperoleh kelayakan hidup, akses publik, jaminan pekerjaan, kebebasan hidup bersama, jaminan kesehatan, dan jaminan sosial.
Editor: Emma Amelia