Mahasiswa yang hanya ingin menyampaikan apa yang dia ketahui dalam bentuk tulisan

Penjajahan, Perbudakan, dan Mahalnya Permintaan Maaf

Agus Pratama Damanik

4 min read

Ketika kasus perbudakan modern terkuak di Langkat, Sumatra Utara, saya langsung ingat pada kisah perbudakan yang terjadi 150 tahun lalu di provinsi serta latar tempat yang sama, yaitu sebuah perkebunan di provinsi Sumatra Utara.

Perbudakan bukanlah fenomena baru di Indonesia. Berdasarkan pernyataan Duarte Barbosa, geographer Portugis, perbudakan telah hadir di Indonesia sejak tahun 1518 seiring kehadiran VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie). Salah satu alasan kenapa isu perbudakan di Indonesia jarang dibicarakan adalah karena upaya Belanda menghapus sejarah perbudakan Indonesia. Sampai saat ini di Belanda, VOC masih dianggap sebagai bentuk wiraswasta dari bangsa Belanda. Padahal, VOC berperan besar dalam sejarah perdagangan budak Atlantik.

Komposisi budak yang diperdagangkan terdiri dari warga Asia, seperti India, Sri Lanka, Malaysia, Flipina serta Indonesia yang berasal dari Bali, Sulawesi dan Sumatra. Kisaran harga budak yang diperdagangkan pada saat itu sangat beragam, tergantung jenis kelamin, asal dan usia. Berdasarkan Daghregister pada abad 19, harga per budak senilai 90 real yang bila mengacu pada History of Java yang ditulis Raffles, 1 pikul beras berharga 2 real, maka satu budak bernilai 45 pikul beras.

Namun, Adolf Heuken menulis di dalam bukunya Historical Sights of Jakarta, bahwa perempuan Bali dan Nias bisa mencapai harga 100 dollar yang lebih mahal dari laki-laki Bali dengan harga termahal hanya menyentuh 30 dollar. Bila melihat harga yang cukup tinggi ini, maka dapat diperkirakan seberapa besar keuntungan yang dimiliki Belanda karena menjual hampir satu juta manusia di Hindia Belanda.

Para budak yang diperdagangkan oleh Belanda tersebar hampir di seluruh daerah di Hindia Belanda. Menurut statistik pada tahun 1683, dari 14.259 orang Bali yang tinggal di tempat ini, hanya 981 orang yang merdeka.  Selain perdagangan yang terjadi di Batavia, J.U.U lontaan dalam bukunya Menjelajah Kalimantan melaporkan bahwa ada 4000 budak yang dikirimkan ke Kalimantan Selatan oleh Raffles ke koleganya, Alexander Hare, dalam rangka menggarap lahan yang dimiliki oleh Hare. Pengiriman dan perdagangan budak ini pun akhirnya tiba di Sumatra Utara, tepatnya di Deli, yang juga menjadi latar novel berjudul Tropic fever: the adventures of a planter in Sumatra karya Ladislao Szekely dan Berjuta-Juta dari Deli – Satoe Hikajat Koeli Contract karya Emir W. AuliaDi Deli, budak-budak ini disebut sebagai “kuli”.

Kuli Deli

Perbudakan Deli bermula saat Said bin Abdullah bin Umar Bilfagih, seorang Arab dari Surabaya yang pulang dan bertemu mitra dagangnya. Dia menceritakan kepada mitra dagangnya tentang kualitas tembakau yang dia temui di Labuhan dan mengajak mereka melakukan survey ulang di sana. Karena tergiur atas cerita ini, para mitra ini pun berangkat bersama Bilfagih, mengendarai kapal Josephine selama dua bulan untuk menyewa tanah sebagai lahan tembakau. Salah satu dari mitra dagangnya adalah Jacob Nienhuys, pedagang tembakau dari Belanda yang menjadi perwakilan perusahaan Firma Van den Arend. Akhirnya, mereka tiba di Labuhan pada tanggal 7 Juli 1863.

Berkat pendekatan yang dilakukan oleh Bilfagih kepada Sultan Deli yang juga merupakan kakak iparnya, Nienhuys mendapatkan sewa tanah seluas 4000 Bau (2.670 ha). Tanah ini dikonsesikan selama 20 tahun dengan harga 200 gulden yang bebas sewa selama 5 tahun pertama.

Nienhuys membuka perkebunannya dengan 88 orang migran Tiongkok dari Fu Kien dan Kwang serta 23 orang Melayu pada tahun 1863. Panen tembakau pertama Nienhuys gagal dan dia meminta modal tambahan kepada Van den Arend. Akhirrnya, Van den Arend memberikan 5.000 poundsterling karena diberi jaminan bahwa Matthieu & Co di Singapura berani membayar 25 florence tiap pikul tembakau. Meskipun pada akhirnya, usaha tembakau ini tetap gagal memenuhi permintaan Van den Arend karena hanya menghasilkan 50 bal tembakau.

Percobaan penanaman tembakau Nienhuys pun terus gagal sehingga Nienhuys membuka kebun percobaan seluas 75 ha di Tanjung Sepassai yang diawasi Haji Jawa dan muridnya dari Penang. Kebun ini menghasilkan panen 25 bal tembakau yang dihargai f 0,48 per ½ kilogram yang diapresiasi pasar di Rotterdam. Dari percobaan ini, Nienhuys mendapati masalah tenaga kerja saat mengurusi kebun tembakau dengan sistem borongan.

Karena orang Melayu menolak kerja borongan dan Batak menganggap itu pekerjaan tidak layak, Nienhuys mencari pengganti tenaga kerja dengan menyewa 120 migran Tiongkok dari Penang. Selain itu, Nienhuys juga meluapkan kekesalan atas penolakan warga setempat dengan berkata: “Penduduk setempat bukanlah tenaga kerja yang cocok karena tak punya disiplin dan malas. Orang Batak adalah bangsa yang umumnya bodoh.”

Percobaan kali ini sukses besar menghasilkan 189 bal tembakau dengan harga 2.51 florence per setengah kilogram tembakau, sehingga Deli dijuluki sebagai “Dollar Land”. Penjualan tembakau yang menguntungkan tidak turut mempertahankan posisi Nienhuys di Van den Arend sehingga dia pun mundur dan mencari pemodal baru. Dia berhasil mendapatkan modal dari G.C. Clemen dan P.W. Janssen, pedagang tembakau Amsterdam dengan modal $10.000. Bersama mereka berdua dan Jacob Theodor Cremer, nantinya Nienhuys membentuk perusahaan NV Verenigde Deli Maatschappij pada tahun 28 Oktober 1869 dan secara resmi berdiri pada tanggal 1 November 1869 dengan modal 300.000 gulden.

Perusahaan ini akhirnya mengelola tanah yang dikonsesikan selama 99 tahun pada 1867 dengan tambahan 900 migran Tiongkok untuk membantu pekerjaan. Tidak hanya migran Tionghoa, pada tahun 1880, 150 kuli kontrak Jawa didatangkan dari Bagelan, Sampai pada tahun 1930, kuli kontrak yang berkerja di tempat ini terdiri dari 26 ribu orang Tiongkok, 230 ribu orang Jawa, 1000 orang India, dan lebih dari 200 ribu buruh Tiongkok. Dari hasil pekerjaan kuli kontrak ini, perusahaan Deli Maatschappij diperkirakan pada tahun 1913 saja mampu mencapai lebih dari 3 juta florence.

Kebrutalan dan Kekejaman

Setelah perusahaan Deli Maatschappij dibentuk, Nienhuys mulai meniadakan sistem borongan dan menggantinya menjadi sistem kontrak dengan isi kontrak hanya berisi durasi kontrak, ancaman pelanggaran kontrak, dan hukuman. Selain itu, pekerja juga diwajibkan membayar ongkos transportasi yang dikonversi menjadi masa kontrak. Kontrak ini semakin mencekik setelah Koeli Ordonantie dan Undang-Undang Kuli dikeluarkan pada tahun 1881 yang juga mengandung Poenale Sanctie (sanksi pidana).

Hukuman yang biasa mereka alami berupa dipukul di depan para buruh lain dengan hukuman terberat bagi buruh perempuan adalah ditelanjangi serta diarak mengelilingi tempat tinggal buruh laki-laki. Sedangkan, buruh laki-laki akan digantung terbalik, dicambuk, bahkan sampai diseret kuda. Akibat siksaan ini, banyak para buruh yang meninggal dan memilih bunuh diri.

Salah satu kejadian meninggalnya para kuli akibat perlakuan buruk dicatat dalam sebuah artikel di Sumatra Post pada edisi 30 Mei 1913. Artikel ini menyatakan bahwa ada 7 kematian kuli asal Tiongkok sekitar tahun 1867-1868 karena dicambuk oleh Nienhuys. Akibat perlakuannya ini, Nienhuys diusir oleh Sultan Deli dan tidak diizinkan kembali. Meskipun, Nienhuys menyatakan kepergiannya karena alasan kesehatan.

Pada akhirnya Koeli Ordonantie dihapus pada tahun 1915 dan membuat sebagian kuli dari Cina pulang ke kampung halaman. Akan tetapi, Poenale Sanctie baru dihapus hingga Husni Thamrin atau Koesoemo Oetojo membawa peristiwa penindasan ini ke sidang Volksraad pada tanggal 27 Januari 1930. Berkat usaha mereka, Eropa dan Amerika Serikat pun melakukan pengancaman boikot terhadap tembakau dari Deli hingga akhirnya peraturan dihapus. Akibat semua perlakuan penindasan ini, Breman memperkirakan bahwa ¼ dari para buruh meninggal dunia sebelum kontrak berakhir.

Politik Maaf

Pada 17 Februari 2022, Perdana Menteri (PM) Belanda, Mark Rutte, menyampaikan permintaan maaf atas kekerasan ekstrem terhadap rakyat Indonesia selama perang 1945-1950. Permintaan maaf itu didasari oleh hasil penelitian bertahun-tahun yang menghabiskan dana 4,1  juta Euro. Yang perlu digarisbawahi adalah, PM Belanda meminta maaf atas satu periode spesifik, yaitu selama perang 1945-1950. Hingga kini, tak ada permintaan maaf atas penjajahan, lebih-lebih atas perbudakan yang terjadi selama penjajahan.

Pada tanggal 1 Juli 2021, Amsterdam meminta maaf melalui walikotanya, Femke Halsema. Dia meminta maaf atas keterlibatan kotanya dalam perdagangan budak yang ia nyatakan bahwa 40% dari mereka menerima keuntungan atas praktik perbudakan ini. Permintaan maaf resmi ini pun juga membuat berbagai pihak mendorong Belanda melakukan hal yang sama di tingkat nasional. Akan tetapi, PM menolak dorongan ini dengan mengatakan bahwa sejarah ini sudah terlalu lampau terjadi dan hanya akan membuat ketegangan.

Kisah menghindari permintaan maaf yang dilakukan pihak Belanda ini bukan pertama kali terjadi. Tepat pada kunjungan Ratu Belanda pada tanggal 21 Agustus 1995, kejadian sama terjadi saat permintaan maaf yang ingin dilakukan Ratu Beatrix ditolak oleh PM Wim Kok. Kok mengatakan permintaan maaf ini hanya akan mencederai perasaan warga Belanda.

Kunjungan kedua anggota kerajaan ke Indonesia pun tidak jauh berbeda karena Raja Willem Alexander hanya meminta maaf atas kekerasan yang terjadi pasca proklamasi, tanpa menyinggung kejadian masa kolonial. Kejadian-kejadian ini sungguh memberikan kenyataan bahwa Belanda tidak pernah mau mengakui kejahatan kolonisasi mereka, apalagi membahas perbudakan.

Padahal bila saja Belanda minta maaf secara resmi dan mengakui kesalahan mereka, hal ini tentu saja akan menjadi langkah awal dalam proses rekonsialisasi sejarah yang selama ini terlihat abai. Menurut Michael Murphy, permintaan maaf resmi merupakan langkah dalam mengenali dan memperbaiki secara simbolis ketiadaan sisi kemanusiaan yang terjadi pada para korban. Lagipula, hal ini juga akan membantu mengurangi penderitaan serta membantu para korban dan keturunannya, sampai ke tahap closure yang pastinya akan meningkatkan harmoni dan hubungan kedua pihak. Bila permintaan resmi saja sulit untuk terjadi, bagaimana bisa mencapai harmoni?

Agus Pratama Damanik
Agus Pratama Damanik Mahasiswa yang hanya ingin menyampaikan apa yang dia ketahui dalam bentuk tulisan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email