Stoikisme merupakan ajaran, aliran, atau pandangan hidup yang didasarkan pada keselarasan dengan alam. Keselarasan alam tersebut merujuk pada kondisi menyeluruh kosmos berserta relasi yang terdapat di dalamnya.
Gagasan stoikisme menjadi populer ketika wabah Covid-19 menyebar di seluruh dunia. Perubahan kondisi sosial dan kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat menyebabkan kesenjangan sosial semakin lebar dan tingkat kemiskinan naik. Angka kemiskinan di Indonesia tercatat sebesar 26,50 juta orang pada tahun 2021. Tingginya angka kemiskinan tersebut ironis mengingat Indonesia merupakan negara dengan sumber daya alam yang melimpah dan faktor pendukung produksi yang optimal.
Covid-19 menyebabkan berbagai sektor usaha melakukan restrukturisasi secara menyeluruh. Alhasil, banyak tenaga kerja yang dirumahkan. Tekanan pada sektor kenegaraan dan kehidupan masyarakat, khususnya ekonomi—mikro maupun makro—mendorong terjadinya depresi perekonomian yang ditandai dengan tingkat bunga yang meningkat, serta kemampuan produksi yang terbatasi angka permintaan yang rendah. Restrukturisasi secara menyeluruh berarti pula beban kerja yang harus ditanggung oleh para pekerja yang masih aktif bertambah dalam kerangka penindasan terstruktur dan laten.
Baca juga:
Dihadapkan pada banyaknya penderitaan dan kekecewaan, orang akan mencari cara untuk menyelesaikan masalah dan berdamai dengan penderitaan. Dalam situasi ini, stoikisme mencuat ke permukaan hingga berhasil menarik perhatian masyarakat yang berupaya mengimplementasikan cara hidup “stoik”.
Stoikisme Kapitalis
Salah satu prinsip yang diajarkan dalam aliran filsafat stoikisme adalah dikotomi kendali. Dikotomi kendali berupaya untuk menafikan manusia sebagai makhluk absolut yang memiliki kemampuan untuk mengendalikan setiap aspek kehidupan yang ada di sekitarnya. Dikotomi kendali membagi dua aspek penting dalam kehidupan manusia dalam kategori hal yang dapat dikendalikan dan tidak dapat dikendalikan.
Stoikisme menganjurkan manusia menerapkan cara hidup yang selaras dengan alam agar dapat menerima keadaan yang tidak sesuai dengan perkiraan seseorang sebagai hal yang tidak dapat dikendalikan. Manusia perlu menerima setiap hal yang terjadi dengan melepaskan pemaknaan buruk atas suatu keadaan. Keselarasan yang perlu diciptakan mengedepankan prinsip natural agar manusia tidak menjadi seseorang yang agresif dan tamak terhadap lingkungan di sekitarnya.
Namun, tepatkah dikotomi kendali stoikisme seperti itu? Apakah stoikisme mendorong seseorang untuk melakukan “bunuh diri” eksistensial? Dalam perspektif saya, stoikisme justru merupakan sintesis kapitalisme dan kepasrahan yang menghasilkan kekacauan dan penindasan struktural. Stoikisme bertendensi menciptakan manusia yang pasrah, tidak suka protes, penurut, anti revolusi, dan berkeinginan untuk menjadi pribadi yang disayangi oleh bos.
Tentu saja, pekerja yang penurut sangat disanjung oleh perusahaan karena mereka tidak melayangkan protes atas jam kerja berlebih, lembur yang tidak dibayar, insentif kerja yang cuma sebatas wacana, cakupan pekerjaan yang tidak sesuai posisi, dan banyak lagi problem ketenagakerjaan. Dalam konteks ini, stoikisme mengajak seseorang menjadi entitas yang merasa nyaman sehingga enggan mengubah kondisi kerja dan hidupnya di bawah kapitalisme modern.
Tiga tokoh paling masyhur dalam aliran stoikisme adalah Marcus Aurelius sang Kaisar, Seneca sang negarawan, dan Epictetus sang budak. Sejauh mata memandang, stoikisme merangkum peran penting tokoh-tokoh itu dalam membawa suatu agenda pelemahan prinsip dan nalar kritis seseorang agar mereka dapat dengan mudah diperdaya oleh kapitalisme dalam rangka mempertahankan efektivitas dan stabilitas kapital komersial.
Ketiga tokoh tersebut merupakan alegori genealogi kapitalisme. Marcus Aurelius, orang yang berkuasa penuh atas entitas dalam negara, mencoba mendorong sistem kendali secara utuh atas masyarakatnya dengan menumbuhkan rasa ketergantungan masyarakat terhadap dirinya. Seneca, seorang negarawan, berupaya menciptakan narasi kepasrahan bahwa setiap fenomena yang terjadi adalah respons alami sehingga manusia harus menerimanya. Epictetus, seorang budak yang membutuhkan pertolongan dari atas, berpikir bahwa manusia harus senantiasa “sabar”. Kesabaran manusia, khususnya kelas bawah ini, merupakan kunci utama agar sistem penindasan struktural dapat terjadi. Penggambaran tiga tokoh itu menunjukkan bagaimana kapitalisme di era modern cenderung bercorak “stoik” dalam rangka mengejar keuntungan sirkular secara implisit.
Tulisan lain oleh Angga Pratama:
Paradoks Stoikisme
Sebagai aliran filsafat, stoikisme mengkaji kehidupan manusia yang erat dengan etika dan keselarasan. Selain berangkat dari kisah tiga tokoh sebelumnya, kajian stoikisme juga berkaitan dengan pandangan Cicero tentang hukum dan nilai etis dari pelaksanaan hukum itu sendiri sebagai bentuk independensi lembaga.
Stoikisme ala Cicero berbeda dengan stoikisme sebelumnya yang erat dengan kepasrahan, pewajaran, penerimaan, dan kesabaran. Dalam memahami stoikisme ala Cicero, kita perlu melacak bagaimana hukum kodrat bekerja.
Pembahasan mengenai hukum kodrat dapat dilacak hingga ke abad ke-5 sebelum Masehi dalam bentuk naskah drama Yunani Kuno berjudul Antigone karya Sophokles. Di situ, ditunjukkan pertentangan antara hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Hukum tidak tertulis mengandung klaim moral yang kedudukannya lebih tinggi daripada hukum tertulis karena berdasarkan pada diri manusia sebagai faktor umum yang dimiliki oleh semua orang.
Kemudian, muncul pertanyaan, apakah sebutan bagi segala sesuatu yang menjadi dasar dari kewajiban moral? Apakah itu kodrat manusia atau kebiasaan semata? Pertanyaan serupa juga kerap diajukan oleh para sofis.
Menurut tradisi etika stoikisme Cicero, jawaban atas pertanyaan tersebut dapat dirunut dari pembahasan mengenai landasan moral yang objektif—bukan sekadar faktor kekuasaan atau pengaruh sosial-politik—sebagai dasar yang paling tepat untuk mengatasi suatu masalah. Hukum dan moralitas bertaut, tak dapat dipisah-pisahkan. Moralitas tidak lain dari apa yang dengan benar ditemukan oleh akal budi, lalu diaplikasikan menjadi perintah dan larangan. Peraturan yang sesuai dengan hukum kodrat (moral) dapat disebut sebagai hukum dalam konteks yang sejati.
Dengan demikian, terdapat paradoks dalam stoikisme itu sendiri. Stoikisme dengan dikotomi kendali mencoba untuk membagi dua aspek kehidupan, yakni yang dapat dikendalikan dan tidak dapat dikendalikan. Asumsi ini tidak dapat kita terima seutuhnya karena prinsip hukum stoikisme menuntut moralitas yang murni dan sebetulnya menguntungkan diri manusia sebagai upaya pencapaian kesetaraan.
Perhatikan, bagaimana bisa hukum dikatakan sesuai dengan moralitas ketika kita masih mendapati penindasan yang harus dimaklumi? Bagaimana mungkin seseorang menemukan nilai etis tertinggi dari keselarasan dengan alam ketika manusia masih dipaksa untuk menerima kehendak orang lain? Bagaimana mungkin keselarasan dengan alam dapat tercipta ketika manusia tidak selaras dengan nilai-nilai dalam dirinya sendiri? Bagaimana bisa seseorang menjadi manusia yang utuh ketika terdapat upaya pemusnahan eksistensial?
Stoikisme membawa kita pada permasalahan ekonomi yang sulit untuk diselesaikan. Permasalahan tersebut terus dilanggengkan demi keuntungan pihak tertentu. Manusia lantas terus bekerja dengan didorong oleh rasa penerimaan, ketergantungan terhadap pertolongan dari atas, dan kematian eksistensial sampai-sampai terbentuk kekuasaan berlebih pada pihak yang mengambil untung dari kondisi tersebut. Para kapitalis menyanjung fenomena “demam stoik” ini. Sebab, mereka bisa semakin leluasa menindas tanpa mendapat perlawanan dari orang-orang yang mereka tindas.
Editor: Emma Amelia