Fresh graduated Psychology Scholar. Keen to read about feminism, and slowly learning about philosophy.

Melihat Sejarah Perspektif Pembagian Peran Rumah Tangga

Kamila El sabilla

2 min read

Pembagian peran antara istri dan suami wajib dibicarakan ketika akan membina rumah tangga. Sayangnya, lingkungan masyarakat kita masih sering mengotak-kotakkan pekerjaan perempuan dan laki-laki. Akibatnya banyak sekali laki-laki yang tidak cakap mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang harusnya bisa dilakukan setiap orang. Masyarakat memandang pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan perempuan, hal ini mengakibatkan banyak orangtua memasang standar tinggi kepada anak perempuan dalam hal pekerjaan rumah tangga, sementara anak laki-laki dibiarkan ongkang-ongkang kaki menikmati hasil kerja keras perempuan.

Ketika pasangan suami istri memutuskan untuk berganti peran, masing-masing dari mereka berhak mendapatkan kesetaraan pelayanan ketika pasangan mereka sudah menyelesaikan tugasnya. Ketika istri memutuskan untuk mencari nafkah, suami harus memastikan rumah yang mereka tinggali bersih dan segala pekerjaan rumah tangga sudah beres ketika istri pulang. Pembagian pekerjaan dan peran ini bukanlah hal yang rigid. Pasangan bisa menyesuaikan dan bermusyawarah demi kenyamanan pembagian peran rumah tangga.

Situasi pandemi Covid-19 dan setelahnya dapat menjadi momentum bagi para pasangan suami istri untuk saling memahami dan berbagi tanggung jawab mengurus rumah. Ketika suami istri ada di rumah, pembagian tanggung jawab pekerjaan rumah tangga perlu dipertimbangkan. Dengan begitu, ketika istri sakit atau tidak bisa mengerjakan pekerjaan rumah, suami bisa menggantikan pekerjaan domestik sehingga rumah tidak terlihat berantakan. Begitu pula sebaliknya.

Baca:

Feminisme Kulit Hitam dan Kulit Putih

Mengutip pandangan Bell Hooks dalam buku Ain’t I a Woman, polemik pembagian pekerjaan rumah tangga disebabkan adanya perbedaan pendapat antara feminis kulit putih dan kulit hitam. Menurutnya, perempuan kulit hitam merasa bahwa mereka sudah berdikari ketika berhasil punya andil penuh dalam urusan rumah tangga dan mengawasi anak-anak mereka. Sedangkan menurut feminis kulit putih, perempuan berdikari diartikan sebagai perempuan yang bisa bekerja di luar rumah dan memegang kendali atas uang yang mereka hasilkan.

Penyebab perbedaan pendapat antara feminis kulit putih dan kulit hitam ini adalah perbedaan sejarah perspektif kemandirian antara kulit putih dan kulit hitam. Perempuan kulit putih dikungkung stigma masyarakat ketika ia tidak cakap mengurus pekerjaan rumah tangga yang dibebankan kepadanya.

Simone de Beauvoir menjuluki perempuan yang sudah menikah, yang terkungkung beban pekerjaan dan terpaksa harus berhubungan hanya dengan perempuan bersuami lainnya sebagai perempuan yang terdomestifikasi. Domestifikasi membuat perempuan hanya mengenali lingkungan rumah tangganya dan tidak bebas meraih cita-cita. Perempuan yang terdomestifikasi ini melampiaskan dedikasinya untuk dekorasi rumah maupun mengoleksi benda yang membuatnya tampil cantik di hadapan suaminya.

Domestifikasi perempuan kulit putih setelah menikah inilah yang menyebabkan perspektif feminis Barat tentang kesetaraan adalah perempuan harus bisa bekerja di luar rumah serta memperoleh penghasilan, meskipun penghasilannya lebih kecil dari yang biasa suami dapatkan. Perempuan ingin merdeka dari pekerjaan rumah yang membosankan dan mengerjakan sesuatu yang tidak pernah ia kerjakan, seperti mencari nafkah dan bekerja di bidang yang terlihat menantang.

Sementara itu, feminis perempuan kulit hitam punya perspektif berbeda. Dalam sejarahnya, perempuan kulit hitam tetap harus bekerja meskipun sudah bersuami. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari sistem perbudakan yang menuntut perempuan dan laki-laki kulit hitam harus tetap bekerja, bagaimanapun keadaannya. Ketika perempuan kulit hitam yang diperbudak ini tidak bekerja, ia tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Perempuan kulit hitam juga diancam dengan hukuman yang lebih berat dari laki-laki ketika memutuskan berhenti bekerja dan mengurus secara penuh anak mereka. Bagi mereka, tidak bekerja sama saja dengan memutus kehidupan dan membiarkan anak mereka kelaparan.

Baca juga:

Perspektif itulah yang membuat perempuan kulit hitam merasa merdeka ketika bisa dengan tenang duduk di rumah atau mengerjakan pekerjaan rumah tangga tanpa perlu memikirkan kebutuhan hidup. Pekerjaan rumah tangga adalah sesuatu yang baru dan memerdekakan mereka, sebab mereka bisa meletakkan segala kebutuhan dalam tanggungan suami dan tidak perlu risau membuat anak mereka kelaparan. Bagi perempuan kulit hitam, kesetaraan adalah ketika mereka bisa bekerja penuh dan mendidik anak di rumah tanpa takut kelaparan.

Hanya Perbedaan Perspektif

Dari dua perspektif tersebut, sebetulnya tidak ada masalah jika perempuan ingin menjadi ibu rumah tangga atau bekerja di luar rumah. Kedua hal ini sama-sama menuju kesetaraan, hanya saja perspektif yang diberikan berbeda.

Perbedaan perspektif dalam feminisme tidak perlu dianggap sebagai sesuatu yang salah. Feminisme merangkul perbedaan perspektif pekerjaan rumah tangga. Tidak perlu melabeli seorang perempuan pro patriarki hanya karena ia ingin melibatkan diri secara penuh dalam urusan rumah tangga. Bukankah tujuan feminisme adalah kesetaraan? Ada banyak jalan mencapai kesetaraan, yang penting tujuan akhirnya sama: meniadakan ketimpangan antara laki-laki dan perempuan.

 

Editor: Prihandini N

Kamila El sabilla
Kamila El sabilla Fresh graduated Psychology Scholar. Keen to read about feminism, and slowly learning about philosophy.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email