Selaras dalam Karya: Petualangan Mata dan Avatar 2

Mina Megawati

4 min read

Sejatinya tak ada karya yang lahir begitu saja. Mereka terbentuk dari proses dan upaya panjang, melewati perjalanan riset yang bisa saja menghabiskan waktu bulanan hingga tahunan. Meski melampaui proses yang berbeda, karya-karya itu bisa saja selaras. Tertaut bak mata rantai.

Itulah yang saya rasakan ketika menikmati film Avatar: The Way of Water dan membaca novel Mata dan Manusia Laut karya Okky Madasari.

Kedua karya tersebut sama-sama terinspirasi dari suku Bajo Indonesia. Sebagai etnis asal Asia Tenggara, suku Bajo memiliki karakteristik kemaritiman, memiliki kearifan tradisi, dan menjalani aturan kuat bersifat turun-temurun dengan sumber daya alam laut menjadi sumber kehidupannya. Paduan itulah yang kemudian menjadi daya tarik utama film dan novel tersebut.

Membahas keselarasan antara kedua karya tersebut adalah bentuk apresiasi atas lahirnya cipta karsa apik sebagai bentukan akhir dari riset panjang. Ini juga menjadi bukti bahwa karya-karya berlatar budaya lokal dilirik banyak mata dari penjuru dunia.

Baca juga:

Perjalanan sebagai Penggerak Cerita

Pergerakan plot dalam novel dan film tersebut makin terasa dinamis ketika tokoh-tokohnya melakukan perjalanan. Perpindahan dari satu tempat ke tempat lain diwarnai dengan ketegangan. Kepayahan tokoh dalam beradaptasi dinilai mampu menyentuh sisi emosional pembaca dan penonton.

Dalam film Avatar: The Way of Water,  Jake Sully (Samuel Worthington) bersama istrinya Neytiri (Zoe Saldana) dan empat anaknya, Neteyam (Jamie Flatters), Lo’ak (Britain Dalton), Tuk (Trinity Jo-Li Bliss), dan Kiri (Sigourney Weaver) yang merupakan anak angkat keluarga Sully, terpaksa meninggalkan wilayah gunung dan hutan sebagai habitat utama klan Omaticaya. Mereka pergi menuju daerah pesisir dengan maksud menyelamatkan keluarganya dari pasukan manusia yang berusaha menambang mineral unobtanium pimpinan Kolonel Miles Quaritch (Stephen Lang). Konolel Quaritch dihidupkan lagi dalam bentuk avatar Na’vi, ia berambisi membunuh Jake dan Neytiri.

Keempat anak Jake-Neytiri sempat berontak, ingin kembali ke rumah mereka di hutan. Ternyata beradaptasi di tempat baru membutuhkan upaya ekstra bagi mereka yang notabene makhluk darat.

Sullys stick together,” ucapan Jake selaku kepala keluarga menjadi kalimat penguatnya.

Mereka kembali berusaha membiasakan diri dengan air, hewan laut, terik matahari, dan mulai menerima segala bentuk ketidaknyamanan untuk saling menyemangati.

Pada novel Mata dan Manusia Laut, Matara (anak perempuan berusia dua belas tahun) dan mamanya juga melakukan perjalanan dari pulau Jawa hingga ke pulau kecil di ujung Sulawesi bagian tenggara. Mereka datang demi misi mama Matara yang hendak menulis cerita tentang kisah manusia-manusia laut itu.

Konon manusia di sana memiliki limpa dengan ukuran jauh lebih besar dibanding manusia pada umumnya. Mereka berevolusi sampai memiliki kemampuan bertahan lama di dalam air. Jauh lebih lama dari manusia pada umumnya. Mereka bak manusia ikan dengan kemampuan bernapas di dalam air. Matara dan mamanya pun bejibaku dalam penyesuaiannya dengan terik matahari, hiruk-pikuk nelayan, belum lagi ketika keduanya terpisah ketika pergi ke pasar malam.

Saat itulah Matara melalui petualangan panjang dengan Bambulo si manusia laut. Sang mama berupaya mencari meski akhirnya harus menunggu anaknya datang dengan selamat pasca terjangan tsunami.

Mempunyai ibu seorang penulis membawa Matara mereguk perjalanan dan pengalaman paling menegangkan di lautan lepas. Satu hal yang hanya disuguhkan alam buat mereka dengan jiwa kuat bak pelaut.

Latar Cerita Laut

Dalam novel Mata dan Manusia Laut, latar cerita berada di Desa Sama/Bajau/Bajo, sedangkan dalam film Avatar: The Way of Water ada Desa Awa’atlu sebagai penduduk asli suku Metkayina (klan karang).

Desa Sama mengapung di tengah laut, terpisah dari daratan. Meski begitu, ia bagian dari daratan di seberang mereka, Kecamatan Kaledupa sebagai pusat daratan. Sedangkan Desa Awa’atlu berada di tepian pantai tepatnya di jalur air dengan menggunakan arsitektur pepohonan lokal.

Orang Desa Sama dan Awa’atlu tinggal di atas rumah panggung dengan atap anyaman.

Saudara di Samudera

Dalam film Avatar 2 ini James menghadirkan Tulkun, sejenis paus raksasa yang hidup dan berkembang biak di laut dalam. Mereka tak pernah diburu apalagi dimakan, diposisikan sebagai saudara spiritual para klan karang itu. Para Tulkun dan orang-orang desa itu dapat saling berkomunikasi, saling memahami emosi, dan melindungi satu sama lainnya.

Pada novel Mata dan Manusia Laut, Okky Madasari menyebut Lummu (lumba-lumba). Mereka pun tak pernah diburu apalagi dilukai. Lummu adalah makhluk suci untuk orang Sama yang merupakan utusan Dewa Laut. Mereka memberi tanda rezeki, mengantarkan orang desa ke tempat ikan bisa ditangkap dalam jumlah banyak. Namun, ada kalanya Lummu memperingati tanda bahaya, termasuk ketika bencana tsunami meluluhkan Desa Sama dan sekitarnya.

Orang Sama sangat mencintai lautnya. Mereka tak pernah menggunakan racun apalagi bom ikan saat melaut. Mereka menangkap ikan dengan jaring dan kedo-kedo (sejenis pancing dari serabut kelapa) dan rumpon (semacam jala yang terbuat dari tumpukan bambu).

Atol menjadi tempat mereka jika ingin mendapat hasil tangkapan berlimpah. Atol adalah karang. Ia karang yang panjang, melingkar serupa cincin, membentuk semacam danau atau laguna raksasa. Di laguna itulah ikan dan berbagai hewan laut hidup. Jumlahnya melimpah, tak habis walau semua orang Sama mengambilnya setiap hari.

Dalam film Avatar 2, ada sebuah tempat serupa dengan batas karang-karang runcing. Di sanalah tempat Payakan (seekor Tulkun) diasingkan kaumnya karena dianggap pemberontak yang menyebabkan kematian Tulkun lainnya. Salah satu scene paling emosional adalah ketika Lo’ak (seorang Na’vi) ternyata dapat berinteraksi dan merasakan emosi hewan ber-IQ tinggi itu.

Tsahik/Tasik (Pemimpin Spiritual)

Kampung Sama punya Sanro, seorang perempuan tua berambut putih. Sosok ini kerap dipercayai dapat melihat gejala alam dan juga sebagai pemimpin ritual.

Dalam film Avatar, mereka menyebutnya Tsahik/pemimpin spiritual. Ibu Neytiri dari klan Omaticaya dan Ronal (Kate Winslet) klan Metkayina adalah pemimpin ritual klan mereka. Ada juga sosok Kiri dengan kemampuan berkomunikasi dengan Eywa, dikenal sebagai All-Mother atau Great Mother, kekuatan biologis penuntun kehidupan dan dewa Pandora dan Na’vi.

Sisi spiritual menjadi bagian penting bagi dua suku maritim tersebut. Mereka diklaim memercayai gejala dan bahasa alam sebagai pesan Dewa Laut, dapat berkomunikasi dengan hewan laut.

Kendaraan dan Daya Selam

Dalam novel Mata dan Manusia Laut, orang Desa Sama menggunakan kendaraan laut berupa sampan, katingting, dan bodi. Sedangkan dalam film Avatar mereka menggunakan hewan serupa kuda laut saat ingin menyelam dan mengitari lautan dengan kecepatan tinggi.

Orang-orang Sama dapat menyelam dalam waktu lama tanpa memerlukan bantuan oksigen buatan, begitu pun orang Desa Awa’atlu klan karang (Metkayina). Ciri fisik tubuh orang Sama seperti manusia pada umumnya, sedangkan klan karang dalam film berciri khas tubuh berwarna hijau dan mempunyai ruas jari seperti sirip dan ekor yang berfungsi sebagai dayung untuk membantu mereka saat berenang dan menyelam.

Orang Sama/Bajau/Bajo dikenal sebagai pengembara lautan. Mereka bisa bertahan lebih lama saat menyelam di dalam air. Mereka disebut-sebut bisa tahan sampai 13 menit di kedalaman 60-70 meter tanpa alat bantu nafas atau oksigen. Rata-rata manusia awam hanya bisa bertahan 30 sampai 60 detik di dalam air tanpa alat bantu napas.

Inspirasi Karya dan Jalan Panjang Riset

Mata dan Manusia Laut ditulis Okky Madasari sebagai bentuk ketertarikan dan keingintahuannya pada suku Bajo. Ini bermula ketika ia membaca artikel di New York Times yang berisi penelitian perubahan genetik suku Bajo karena kebiasaan mereka menyelam di lautan.

Data jurnal ilmiah Biologi ‘Cell’ menyebut ukuran limpa warga suku Bajo empat kali lebih besar dan membuat mereka bisa menyelam tanpa menggunakan alat. Dari situlah kemudian Okky Madasari menggali lebih dalam dan menarasikannya melalui novel ketiganya yang bernuansa fiksi petualangan.

Selain riset bacaan, Okky Madasari juga mengunjungi Wakatobi. Selama dua minggu ia menjalani riset lapangan, berbincang, dan mengamati kebiasaan penduduk sekitar. Beberapa saat setelah kepulangannya dari riset di Wakatobi, tsunami melanda Palu dan Donggala. Kejadian itu kemudian turut memengaruhi jalan cerita perjalanan Bambulo dalam Mata dan Manusia Laut.

Begitu pula dengan Avatar: The Way of Water, James Cameron menyebut dirinya terinspirasi dari orang-orang Indonesia (suku Bajo) yang tinggal di rumah-rumah panggung dan di atas rakit dengan jalur air yang menggunakan arsitektur pepohonan lokal. Mereka mampu menyelam tanpa bantuan alat, dan dapat hidup berdampingan dengan hayati laut.

Dua karya itu mengajak kita untuk lebih dekat dengan alam, mengenali kemudian memahami bahwa alam juga punya bahasanya yang kadang disampaikan dengan caranya sendiri.

 

Editor: Prihandini N

Mina Megawati

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email