Era digital mengubah makna tubuh manusia. Selain menjalankan fungsi biologis, kini organ tubuh manusia harus bekerja memenuhi kepentingan ekonomi. Tubuh manusia telah berubah menjadi organ-organ kapital yang terus dikeruk demi nilai ekonomi. Tubuh manusia tidak lagi menjadi wadah bagi nurani, melainkan hanya menjadi gumpalan angka-angka kapital yang terus dipreteli untuk mencapai kekayaan.
Fakta ini menjadi riskan. Nilai moral, etika, kemanusiaan, dan cinta telah hancur lebur di era digital yang penuh ketamakan. Dari sini terlihat jelas bahwa kapitalisme telah menang telak dalam mengubah tubuh yang bersifat badaniah menjadi tubuh yang bersifat sosial ekonomi (Raditya, 2014).
Dalam kajian sosiologi tubuh, tubuh bukanlah badan. Tubuh tidak hanya berisi organ-organ biologis dan fungsi biologisnya semata, melainkan memiliki makna sosial di dalamnya yang akhirnya disebut dengan tubuh sosial (Budiawan dkk., 2015).
Pada kasus ini, tubuh sosial manusia menjadi sekadar satu dimensi, yaitu dimensi ekonomi (Marcuse, 2002). Tubuh manusia hari ini tidak lain hanyalah segumpal angka-angka kapital. Narasi demikian bukan tanpa dasar. Fakta digital menunjukkan secara terang-terangan bahwa tubuh manusia di era digital telah menjelma menjadi angka-angka kapital: sebuah angka yang dikeruk untuk keuntungan ekonomi.
Baca juga:
Apa Saja Dilakukan Demi Konten
Fenomena Nikita Mirzani dengan berbagai konten obrolan seksualitasnya menunjukkan bahwa bagian tubuh yang merangsang dapat dioptimalkan dan diubah menjadi uang. Dinar Candy menjadi viral di Podcast Deddy Corbuzier karena mengaku berhasil menjual celana dalam bekas yang telah ia pakai. Marcel dan Celine menunjukkan relasi palsu dengan kontras kecantikan dan ketampanan untuk kepentingan konten dan industri hiburan berbasis kemunafikan.
Di media sosial dan televisi, nilai tubuh Bonge dan Jeje terus dikeruk karena sedang viral atas jasanya melambungkan Citayem Fashion Week. Pamela Duo Serigala mendapat berbagai ketenaran karena mengubah payudaranya sebagai komoditas industri yang menghasilkan banyak uang. Selebriti dan berbagai creator di dunia digital adalah pemeran utama tragedi reduksi tubuh manusia menjadi sekadar gumpalan angka-angka kapital.
Mengapa hal ini dapat terjadi? Jawabannya adalah karena perkembangan teknologi dan lahirnya kekuatan produksi digital di internet. Marx menjelaskan bahwa kekuatan produksi menjadi tonggak gerak kerja superstruktur sebuah masyarakat. Kekuatan produksi merupakan pondasi sejarah perkembangan kehidupan manusia (Singer, 2021). Singer menggambarkan pemikiran Marx dengan menjelaskan bahwa kekuatan produksi materi alat penggiling akan menghasilkan relasi antara tuan dan budak pekerja. Relasi antara tuan dan budak menciptakan superstruktur feodal yang mengekang dan otoriter. Sedangkan kekuatan produksi materi alat industri modern menghasilkan relasi antara kapitalis dengan pekerja. Relasi antara kapitalis dan pekerja akan menghasilkan superstruktur yang membebaskan, namun terus berorientasi pada akumulasi kapital.
Kerja-kerja buruh diefektifkan untuk terus menggandakan modal para kapitalis yang berujung pada ketamakan (Widodo, 2005). Begitu pun pada era digital saat ini. Ketamakan dan tereduksinya tubuh manusia menjadi sekadar angka kapital dalam bentuk konten merupakan akibat dari teknologi internet, seperti YouTube dan media sosial dengan sistem adsense dan endors-nya.
Awalnya teknologi komunikasi bertujuan untuk mempermudah komunikasi manusia. Kemudian teknologi berkembang dan bergerak begitu dinamis hingga akhirnya muncul YouTube, Instagram, TikTok, dan media lainnya yang hari ini menjadi lumbung konten dan adsense dengan menjadikan tubuh manusia sebagai ladang angka-angka kapitalnya.
Baca juga:
Esensi Tubuh yang Ditukar dengan Angka
Sistem keuntungan dari YouTube, endors, jumlah subscriber, viewers, dan followers secara terang-terangan mengandaikan tubuh sebagai angka-angka kapital. Di TikTok misalnya, tidak sedikit creator yang sengaja menyiksa dirinya, seperti makan pedas, memukul, menampar, hingga membenturkan dirinya sendiri ke tembok hanya untuk mendapat saweran secara virtual saat melakukan live. Di YouTube, bertebaran berbagai video prank, relasi palsu, pamer kekayaan, dan obrolan berbau seksual demi kepentingan konten dan mendapat angka kapital dari adsense atau endorse.
Inilah kapitalisme digital: kapitalisme yang semakin ahli mengubah esensi tubuh manusia menjadi gumpalan angka-angka kapital. Kapitalisme hadir sebagai konsekuensi kekuatan produksi digital, internet, teknologi, YouTube, dan media sosial. Parahnya, kekuatan produksi digital ini tidak hanya menghasilkan relasi yang menindas, seperti tuan dan budak, tetapi juga menghasilkan relasi yang penuh kepalsuan, setting-an, dan kebohongan yang dianggap normal.
Esensi tubuh yang sadar akan moral, kemanusiaan, dan cinta akhirnya hilang. Semuanya telah ditukarkan untuk kepentingan kapital yang mengasingkan (Singer, 2021). Akhirnya, manusia tidak lagi dinilai dari seberapa bermoral hidupnya atau seberapa bermanfaat ia bagi masyarakat, melainkan dinilai dari seberapa banyak pengikut media sosialnya, seberapa banyak subscriber kanalnya. Akhirnya, nilai-nilai tubuhnya bisa dikeruk menjadi angka-angka kapital untuk akumulasi ekonomi yang berujung pada ketamakan yang tak berkesudahan.
Editor: Prihandini N