Menelusuri Jejak Wallace di Kota Rempah

Bare Kingkin Kinamu

2 min read

Sejak SD, saya tak pernah membaca buku sejarah yang menyebutkan tempat tinggal Alfred Russel Wallace secara detail dan apa yang ia temukan ketika berada di Indonesia Timur. Saya hanya mengetahui Wallace mengumpulkan berbagai spesies hewan mulai dari serangga dan burung. Selebihnya, saya tak mengerti secara detail bagaimana kebudayaan, alam, dan kehidupan masyarakat Indonesia Timur pada masa itu.

Dewasa ini, saya justru membaca narasi jejak Wallace melalui buku yang ia tulis, yakni The Malay Archipelago. Wallace sampai Ternate tepat pada tanggal 8 Januari 1858, kota yang sampai saat ini memiliki vegetasi tropis di area pegunungan Gamalama, yang mayoritas ditumbuhi tanaman cengkeh dan pala.

Apakah masyarakat Kota Ternate dan Bangsa Indonesia memiliki narasi sendiri tentang jejak Wallace yang dapat diakses oleh umum dengan mudah? Apakah masyarakat tahu letak rumah Wallace di Kota Ternate? Di mana jejak sejarah tersebut? Jangan sampai kita hanya memiliki rujukan tulisan yang ditulis oleh para antropolog asing.

Sebetulnya ada banyak kesempatan untuk menarasikan, meriset jejak, bahkan membangun “rumah Wallace” yang telah hilang. Sayang, ketika dibiarkan lambat laun, sejarah tersebut tahu-tahu tinggal menjadi sejarah lisan karena tidak ada bukti kebendaan yang bisa ditelusuri.  Sejarah yang tidak terpublikasikan dalam narasi baik tentunya berpotensi menjadi sejarah yang simpang siur.

Baca juga:

Riset dan penulisan menjadi salah satu penawar atas konsekuensi hampir hilangnya sejarah tersebut, tak terkecuali sejarah Ternate pada masa lalu yang jejaknya menipis dalam narasi Indonesiais. Kita seperti memiliki banyak bahan yang dapat ditulis di sebuah kertas, tetapi tintanya hampir habis.

Rumah Wallace

Dalam buku The Malay Archipelago, jejak tempat tinggal yang dideskripsikan Alfred Russel Wallace sendiri tergambar dalam bentuk peta. Tempat  tersebut ia tinggali selama tiga tahun. Ia memperoleh rumah tersebut atas bantuan Mr. Duivenboden. Disebutkan bahwa rumah tersebut dalam kondisi agak rusak, tetapi dekat dengan kota. Rumah tersebut merupakan rumah satu lantai, ditopang dengan tiang yang kuat untuk menyokong atap, kecuali pada bagian beranda yang merupakan daun dan batang dari pohon sagu dan sawit, sedangkan lantainya merupakan plesteran.

Di Kota Ternate ini, ketika menyusur jejak Wallace, ternyata saya hanya mendapati lorong dan tembok bergambarkan Alfred Russel Wallace di Santiong. Dari masyarakat sekitar dan pegiat Museum Ternate, saya mendapat informasi bahwa rumah Wallace yang ditempatinya selama tiga tahun itu sekarang menjadi tanah kosong yang dipagar tinggi dam terletak di dekat Benteng Font Oranje (sebelah Masjid Al-Hidayah).

Jejak rumah Wallace tersebut tidak terawat. Saya hanya bisa melihat dari buku yang Wallace tulis. Tidak ada dokumentasi yang memadai terkait kondisi setelah kepulangan Wallace dari Indonesia Timur. Nasib rumah tersebut tidak bisa ditelusuri, tidak bersisa. Padahal di rumah tersebut Wallace mengumpulkan koleksi spesies yang ia temui di Halmahera. Ada burung, kumbang, dan berbagai jenis serangga lainnya. Ia juga menggunakan rumah di Ternate itu sebagai tempat pemulihan selama pelayarannya dari Papua Nugini.

Baca juga:

Di Asia Tenggara, pengembara samudra tersebut telah menapaki Singapura, Malaka (Malaysia), Borneo (Kalimantan), Sumatra, Bali, Lombok, Timor-timor, Celebes, Sulawesi, Ambon (Kepulauan Kei, Buru), Maluku (Ternate, Bacan, Kayoa), Serang, Gorong, Watubbela,  Kepulauan Aru, Papua, dan Waigeo.

Hilangnya rumah asli Wallace tersebut seharusnya tidak membuat kita hilang akal untuk menarasikan sejarah dengan mengumpulkan data-data yang ada. Berdasarkan informasi dari pegiat Museum Ternate, ada yayasan Inggris yang hendak membangun rumah Wallace tersebut. Namun, hingga saat ini niatan itu belum terealisasi karena harga tanah yang mahal. Tanah tersebut telah dimiliki oleh warga.

Terdapat kesimpangsiuran pada awal mula penetapan letak Rumah Wallace. Namun, dari hasil penelitian atas sumur bor yang dimaksud Wallace dalam catatan hariannya, rumah tersebut merujuk ke daerah dekat kota seperti di gambaran denah dalam buku The Malay Archipelago. Kini kanan dan kiri tanah itu diapit oleh rumah warga setempat.

Jika begini, orang asinglah yang lagi-lagi akan menarasikan sejarah di Indonesia. Saya tidak anti terhadap orang asing, hanya saja saya menyayangkan masyarakat asli sini ataupun penulis Indonesia yang masih belum tergerak untuk membuat publikasi dengan akses mudah mengenai jejak Wallace. Saya khawatir, sepuluh atau dua puluh tahun ke depan, anak-anak generasi penerus bangsa akan lupa betapa gemah ripah loh jinawinya Indonesia Timur ini dari masa ke masa.

 

Editor: Prihandini N

Bare Kingkin Kinamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email