Pulau Run dan Sejarah Monopoli Rempah

Bagas Nugroho Pangestu

3 min read

Pulau Run: Magnet Rempah-Rempah Nusantara yang Ditukar Dengan Manhattan merupakan buku terjemahan yang ditulis Giles Milton dengan judul aslinya Nathaniel’s Nutmeg yang terbit pada 1999. Buku ini diterjemahkan ke beberapa bahasa termasuk bahasa Indonesia, karena menjadi buku dengan penjualan terlaris—menurut testimoni di buku ini. Dari tesmoni yang turut di buku ini, semuanya memuji keberhasilan Milton menuturkan sejarah kelam imperialisme Eropa saat itu.

Walaupun bukan sejarawan, Milton mampu menuliskan sejarah di buku ini secara berimbang. Penggunaan sumber-sumber sezaman seperti surat kerajaan dan jurnal para pedangang dan pelaut membuat ceritanya sangat hidup dan kredibel. Seolah-olah kita sedang didongengi sebuah kisah yang asyik untuk diikuti.

Ekspedisi Rempah: Bisnis, Ilmu Pengetahuan dan Perebutan Jalur

Milton mampu menyajikan perintilan yang banyak tidak kita sadari ketika membaca tema sejarah abad pertengahan (abad ke 15-17). Mulai dari bisnis yang fluktuatif, gairah berkembangnya ilmu pengetahuan hingga jalur ekspedisi rempah yang penuh darah akibat konflik.

Perihal bisnis, para kerajaan ini baru mencium keuntungan dari aroma rempah semenjak Portugis pertama kali menjelajah lautan untuk mencari daratan bernama India. Kemudian pelayaran ini disusul oleh Spanyol, Inggris dan Belanda.

Buku ini sendiri memulai ceritanya ketika Inggris baru berlayar ke timur. Inisiasi para pedagang ini pertama dilakukan oleh Mystery, Company and Fellowship of Mercant Adventurers for the Discovery of Unknown Lands pada 1553.

Para pedagang ini menginvestasikan uangnya untuk berlayar mencari jalur dan sumber rempah yang baru. Mereka menyewa para pelaut pemberani dan sarat pengalaman, dengan iming-iming gaji yang besar menanti di kemudian hari. Para pedagang ini rela merogoh kocek dalam untuk membentuk satu armada yang diyakini bisa menemukan jalur baru dan membawa rempah-rempah langsung ke Britania Raya.

Ribuan hingga jutaan euro rela dibayarkan untuk ongkos ekspedisi. Selain untuk menyewa para pelaut, uang ini juga diinvestasikan untuk membangun kapal-kapal terbaik dengan kekuatan dan kemampuan yang mumpuni dalam berlayar.

Berkembangnya ilmu pengetahuan juga turut mendorong tercapainya kapal-kapal Eropa untuk sampai di kepulauan rempah. Dalam buku ini cerita para ilmuwan dan pemikir seperti Petrus Plencius juga dinarasikan.

Plencius merupakan seorang teolog Calvinis yang nyatanya tidak terjebak dalam hal-hal dogmatis yang lazim pada saat itu. Pikirannya melayang-layang soal tuhan dan perbintangan. Minatnya soal ilmu georafi menjadikan Plencius bisa menggambar peta (kartograf) termasuk peta Hindia Timur. Pada saat itu, informasi sekecil apa pun yang ada kaitannya soal Hindia Timur menjadi topik yang menarik bagi para pebisnis di Eropa.

Selain Plencius, juga disebutkan dua tokoh lainnya seperti Abraham Ortelius dan Gerardus Mercator di buku ini. Upaya yang dilakukan keduanya untuk memperjelas bentuk muka bumi, khusunya di daerah antah berantah di timur jauh, mendorong berkembangnya ilmu pengetahuan—juga eksploitasi di Hindia Timur.

Kemajuan ilmu pengetahuan (georafi, kartografi dan astronomi) membuat para pelaut semakin lebih percaya diri untuk mencari Hindia Timur. Mereka berlomba-lomba menemukan jalur alternatif untuk mendapatkan rempah-rempah.

Pada saat itu Inggris dan Belanda memilih jalur ekspedisi yang berbeda dengan Portugis juga Spanyol. Selain didorong oleh gairah perkembangan ilmu pengetahuan, memilih jalur yang berbeda merupakan cara untuk menghindari bertemunya armada kerajaan lainnya yang tak jarang berujung kekerasan dan perampasan. Pasalnya dalam beberapa ekspedisi, Inggris pernah membajak kapal-kapal Belanda dan Portugis yang sarat muatan termasuk rempah-rempah. Begitu juga sebaliknya, Belanda, Portugis dan Spanyol ikut-ikutan bertarung untuk saling berebut pengaruh dan komoditas di sepanjang jalur ekspedisi atau hanya untuk membalas dendam satu sama lainnya.            

Rempah-rempah dalam Kubangan Darah

Rempah-rempah pada abad ke-15 sudah menjadi barang yang paling dicari. Khasiatnya yang “dianggap” sebagai obat multifungsi paling mujarab. Permintaannya yang tinggi di masyarakat daratan Eropa membuat persediaan rempah-rempah jadi terbatas. Akhirnya dengan iming-iming keuntungan yang besar, para pedagang ini berlomba-lomba merencanakan ekspedisi langsung mencari kepulauan penghasil rempah-rempah.

Di balik ekspedisi rempah, kekerasan menjadi salah satu cara utama bagi orang-orang Eropa agar bisa sampai di Hindia Timur. Kapal-kapal yang mumpuni dengan persenjataan lengkap membuat ekspedisi ini terkesan punya niatan untuk melakukan penaklukan.

Anggapan tera incognita menjadi dalih paling nyaring dari bibir orang-orang Eropa untuk menjajah wilayah yang baru itu—menurut mereka. Alhasil sebagian amis darah juga menciprati aroma dari rempah-rempah yang diboyong ke eropa itu.

Dalam episode yang panjang, rempah-rempah menjadi benang merah untuk cerita-cerita soal monopoli, penjajahan hingga pembunuhan. Barang yang kecil itu nyatanya mampu mengubah sejarah suatu tempat menjadi kubangan darah. Contohnya yang terjadi di Kepulauan Banda dan sekitarnya.

Peristiwa seperti Pembantaian Amboyna pada 1623 juga menjadi bagian penting dalam cerita di buku ini. Para aktornya seperti Herman van Speult—yang saat itu menjadi Gubernur Belanda di Ambon—menjadi tokoh antagonis yang melakukan pembunuhan terhadap orang-orang Inggris. Bahkan setelahnya kekerasan juga menyasar ke orang-orang lokal yang diduga punya kerjasama dengan Inggris. Bahkan sekadar mendengar desas-desus saja akan langsung dibayar dengan pembunuhan oleh Belanda. Alhasil kontrol semakin ketat pasca peristiwa itu. Perdagangan rempah diatur lewat satu pintu yang dijaga oleh VOC. Bahkan deforestasi sempat dilakukan VOC terhadap pulau-pulau kecil penghasil rempah-rempah untuk menjaga monopoli.

Peyorasi Bangsa Belanda dalam Historiografi

Dalam historiografi indonesiasentris, Belanda menjadi tokoh yang paling dibenci. Mulai dari zaman VOC hingga revolusi fisik—contohnya yang dilakukan Westerling. Penilaian secara hitam-putih itu, masih tertanam di benak kita. Pasalnya Belanda punya rekam jejak jelek soal keberadaan mereka di Indonesia, mulai sejak penyebutannya Nusantara sampai Hindia Belanda. Cerita-cerita soal kekerasan yang dilakukan para meneer terhadap orang-orang lokal memenuhi kisah di historiografi kita.

Akan tetapi, pada kenyataannya peyorasi bangsa Belanda juga terjadi dalam historiografi Inggris contohnya dalam buku ini. Milton seperti menampilkan kelicikan serta kekejaman orang-orang Belanda dalam periode bisnis rempah-rempah. Bahkan dalam buku ini sampai dimuat satu bab khusus untuk memperlihatkan ketidakmanusiawian Belanda yang berjudul “Siksaan Api dan Air”.

Dengan penggunaan sumber catatan para pelaku sejarah, Milton dengan mudah membumbui sejarah  jadi lebih tragis dalam pembataian itu. Detail-detail penyiksaan seperti telapak kaki, ketiak dan siku yang dibakar dibarengi dengan kepala dibungkus kain kanvas sembari diisi air sampai seluruh kepala tenggelam menjadikan kisah ini lebih memilukan.

Kisah kejam itulah yang nantinya mengubah sejarah antara Inggris dengan Belanda ke depannya dan menempatkan Inggris yang disimbolkan Nathaniel Courthope sebagai tokoh protagonis. Dalam buku ini Inggris menjadi tokoh yang tersakiti akibat kekerasan yang dialami orang-orang Inggris di Pemberontakan Amboyna serta konfliknya dengan Belanda pada masa kepemerintahan J.P. Coen.

Dari penderitaannya itu Inggris “seolah-olah” mendapatkan berkah atas kesabarannya menghadapi Belanda yang kejam dan mendapatkan New Netherland (sekarang Manhattan) dengan ditukar Pulau Run.

Kesan protagonis itu juga didapat dari narasi Milton yang menceritakan perdagangan Inggris dengan orang-orang lokal. Lewat perjanjian yang disetujui itu (menapilkan kesan demokratis) membuat Inggris di buku ini dirias Milton sebaik mungkin. Dari narasi-narasi inilah Milton mencoba menjelek-jelekan Belanda sembari menceboki Inggris.

Judul Buku: Pulau Run: Magnet Rempah-Rempah Nusantara yang Ditukar Dengan Manhattan
Penulis: Giles Milton
Tahun Terbit: Juni 2015
Penerbit: PT Pustaka Alvabet

***

Editor: Ghufroni An’ars

Bagas Nugroho Pangestu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email