Hannah Rambe meracik perjalanan panjang rempah Nusantara dalam bentukan fiksi. Ia menjadikan perkebunan pala sebagai latar sekaligus benang merah yang menggerakkan cerita. Hannah Rambe seorang jurnalis yang menyukai dunia rempah sejak masih anak-anak. Pantas saja, pada 1986 ia pernah menulis buku berjudul Riwayat Hidup Pelopor Petani. Sedangkan, Mirah dari Banda menjadi buku ketiga Hannah Rambe yang lahir tahun 1988.
Pala Banda: Simbol Rempah Nusantara
Pala merupakan simbol sejarah panjang peristiwa pembantaian di Nusantara. Pembantaian oleh Jan Pieterszoon Coen tahun 1621 telah menewaskan seluruh penduduk Banda asli. Pulau Banda kemudian diisi oleh pendatang yang berasal dari Pulau Buton, Sulawesi.
Pada masa penjajahan, pala tidak dikenal sebagai bahan campuran supaya makanan terasa lezat seperti yang dapat kita temui sekarang. Akan tetapi, pala masif dilestarikan karena berfungsi sebagai bahan pengawet hewan ternak sebelum mesin pendingin hadir. Selain itu, kandungan pala bisa diramu oleh industri kecantikan dan pabrik minuman beralkohol.
Pembungkus biji pala yang disebut fuli, bisa disulap menjadi minyak untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Itu sebabnya Belanda kaya. Mereka mengambil alih paksa habis-habisan kepemilikan pala dari penduduk Banda.
Perempuan di Kepulauan Banda
Perkebunan pala menjadi tempat pertama kali Mirah dan Yu Karsih menginjakkan kaki di Banda. Mereka terjebak kontrak kerja dalam misi perdagangan manusia era penjajahan. Episode kehidupan Mirah dan Yu Karsih berdampingan dengan peristiwa tragis Jepang-Belanda.
Novel ini bermula ketika tokoh Wendy berkunjung ke Kepulauan Banda. Ia bertemu Mirah yang tidak lain neneknya sendiri. Meski keduanya memiliki ikatan batin, mereka tidak pernah tahu jika darah mereka terhubung sebagai keluarga.
Mirah Dari Banda mengemas sejarah rempah di Banda dengan kalimat-kalimat sederhana. Ketika membaca, perasaan saya tumbuh bersama rasa luka yang menyebabkan Mirah berpikir dewasa. Mirah tak pernah bergantung pada siapapun dan apa pun selain dirinya sendiri.
Mirah harus berpisah dengan orangtuanya sejak usia 6 tahun. Bersama Yu Karsih, Mirah tinggal di antara pagar-pagar perkebunan yang mengerikan. Kehidupan Mirah saban hari tentu bergantung pada Yu Karsih. Yu Karsih sudah seperti orangtua yang menemani Mirah dengan welas asih.
Menginjak usia remaja, Mirah tumbuh menjadi perempuan khas Jawa. Tuan Besar Belanda melirik dan menjadikan Mirah sebagai Nyai. Bagi Belanda, kedudukan Nyai sangatlah rendah. Akan tetapi, pemikiran Mirah tidak sama sekali. Proses yang ia terima selama menjadi Nyai menandaskan kepercayaan bahwa hakikat melawan adalah kuat dalam menerima kekalahan.
Kisah Mirah dan sejarah rempah di perkebunan pala dirangkai dalam takaran yang pas. Meski Mirah dan Wendy tidak akan pernah tahu jika mereka memiliki hubungan nenek dan cucu, buku ini menyelipkan cerita bagaimana Wendy tumbuh dan menjelma sebagai darah Mirah yang terpisah dari perkebunan pala tempat Mirah menjahit usia. Keduanya merupakan potret korban kekejaman Belanda di tanah Nusantara.
Baca juga:
- Mengintip Sejarah dari Jembatan Rempah-Rempah
- Pulau Run dan Sejarah Monopoli Rempah
- Merawat Keluarga dengan Bumbu Dapur
Perempuan Bukan Mahluk Lemah
Selama hidupnya, Mirah tidak pernah meninggalkan kebaya meski bertahun-tahun menjadi Nyai. Menurutnya, kebaya merupakan warisan terakhir sebelum berpisah dengan orangtuanya.
Kenyataan hidup Mirah menyuguhkan kisah yang melampaui stigma. Perempuan sering menanggung beban lebih besar dalam peristiwa pembantaian. Kekejaman tidak boleh mengisi hawa nafsu manusia seperti yang dilakukan Belanda kepada Nusantara. Bagi Mirah, kehidupan perempuan harus bersumber pada jalan kemanusiaan yang direstui Tuhan.
***
Editor: Ghufroni An’ars