Siang itu saya sedang scrolling Instagram sampai mentok. Ternyata, saya menemukan postingan lucu dari sastrawan Eka Kurniawan. Postingan itu hanya jepretan ala kadarnya yang berisi foto kaos terbaru Eka, kaos itu lucu dan keren. Pada kaos itu tertulis sebuah kalimat dengan sablon berwarna terang: “Apapun masalahnya, teori pascakolonial solusinya.”
Teori pascakolonial memang sedang populer, seperti sebuah trending topic yang cukup viral di kampus-kampus. Terutama dalam jurusan kesusastraan hingga kajian budaya, teori-teori pascakolonial menyebar dan menjerat seperti demam. Teori ini dianggap teori tercanggih untuk membaca ulang era kegelapan dalam sejarah Indonesia, yaitu era kolonialisme.
Teori dan kajian pascakolonial sebenarnya sangat kompleks, ia berusaha menggugat produksi pengetahuan yang konvensional dan Eropasentris. Dalam kajian pascakolonial, penjajahan tidak dilihat sebagai fakta sejarah saja, tetapi juga sebagai sistem atau siklus kuasa yang dilanjutkan, dilanggengkan, dan dipelihara. Teori dan kajian pascakolonial memakai pendekatan pascastrukturalis dan pascamodernis untuk membaca kolonialisme — bahkan apa yang terwariskan hingga kini.
Memang, kajian pascakolonial dianggap mampu menembus persoalan pelik dan berlapis soal penjajahan. Gagasan Gayatri Spivak, Edward Said, dan Homi Bhabha muncul secara populer sebagai kiblat baru dari kajian humaniora kontemporer. Tetapi, kajian dan teori pascakolonial juga memiliki batasan hingga berbagai permasalahan yang mendasar.
Grosfoguel dan Kritiknya terhadap Pascakolonialisme
Dalam situasi ketika kajian pascakolonial menjamur seperti demam, tampaknya kajian ini jarang dilihat batasannya. Apalagi jika ia dipandang sebagai kajian tercanggih dan terhebat untuk menjelaskan segalanya. Dalam hal itu, kajian pascakolonial rentan untuk sekadar diimitasi secara terburu-buru untuk melihat realitas di Indonesia. Segala bentuk pemakaian kajian ini tanpa menimbang batasannya, hanya menimbulkan kerentanan.
Ramon Grosfoguel setidaknya adalah satu dari beberapa pemikir yang membaca tanda-tanda itu. Kita perlu waspada jika dekolonisasi pengetahuan dipandang sesederhana pengaplikasian, pemakaian, dan utak-atik teoritis saja. Terkait kritiknya pada kajian pascakolonial, Ramon Grosfoguel mengingatkan dengan waspada bahwa kajian ini rawan terjebak pada ketergantungan teoritis. Kritik mendasar Grosfoguel terhadap kajian subaltern adalah soal ketergantungan yang fundamental pada ide-ide pascamodernisme dan pascastrukturalisme.
Baca juga:
Terutama bagi Grosfoguel, ketergantungan kajian pascakolonial pada Gramsci, Derrida, dan Foucault adalah masalah penting. Dampaknya, seakan-akan tak ada kajian pascakolonial tanpa bersandar sepenuhnya pada Gramsci, Derrida, dan Foucault. Perihal ini, Grosfoguel dengan keras menulis:
“They (Latinamericanist/Subalternist) underestimated in their work ethnic/racial perspectives coming from the region, while giving privilege to Western thinkers. This is related to my second point: they gave epistemic privilege to what they called the ‘four horses of the apocalypse’ that is, Foucault, Derrida, Gramsci and Guha. By privileging Western thinkers as their central theoretical apparatus, they betrayed their goal to produce subaltern studies.” (2007: 211).
(Terjemahan bebas: Latinamericanist dan Subalternist meremehkan perspektif etnik/ras yang berasal dari daerah, sambil memberikan privilese pada para pemikir Barat. Ini terkait dengan poin kedua saya: mereka memberikan privilese epistemik pada Foucault, Derrida, Gramsci dan Guha. Dengan mengistimewakan para pemikir Barat sebagai perangkat teoritis utama, mereka gagal mencapai tujuan untuk menghasilkan kajian subaltern)
Apa yang Grosfoguel kritik adalah sentralitas, pemujaan teoritis, dan kebergantungan pada kanon intelektual progresif kontemporer. Kanonisasi itu berdampak pada tersisihnya pemikir-pemikir lokal yang memiliki teori yang tak kalah canggih. Dalam kajian Amerika Latin misalnya, Enrique Dussel memiliki konsep soal “historiografi baru” yang tak kalah canggih dari arkeologi pengetahuan Michel Foucault. Anibal Quijano memiliki konsep soal “matriks kuasa kolonial” (colonial matrix of power) yang tak kalah canggih dengan teori kuasa Foucault atau Gramsci. Dalam konteks Asia Tenggara, nampaknya Syed Husein Alatas dan Syed Farid Alatas memiliki teori “relasi kuasa dan pengetahuan” hingga “orientalisme” yang lebih kontekstual dalam situasi Asia Tenggara dibanding kanon pascakolonialisme. Kecenderungan untuk selalu bersandar pada “raksasa Eropa” yang dikanonisasi perlu dilampaui.
Sepintas kritik Grosfoguel ini sangat anti Barat, anti Eropa, seperti ceramah-ceramah di mimbar keagamaan yang fundamentalis, di mana Barat selalu ditampilkan sebagai “yang jahat” sehingga semua “intelektual Barat” diklaim sepihak sebagai “orientalis”.
Tetapi Grosfoguel justru menekankan hal penting, bahwa ia dalam upaya kritisnya menggugat Eropasentrisme, fundamentalisme Dunia Ketiga (Third World fundamentalisms), kolonialisme, dan nasionalisme. Dekolonisasi pengetahuan perlu menggugat siapa saja yang berhasrat menjadikan rancangan epistemiknya sebagai “jalan tunggal” untuk meraih kebenaran dan universalitas, karena hasrat itu akan menjebak kita pada belenggu-belenggu pemikiran:
“What all fundamentalisms share (including the Eurocentric one) is the premise that there is only one sole epistemic tradition from which to achieve Truth and Universality.”
Bagi Grosfoguel, dekolonisasi pengetahuan tak bisa bergantung pada satu kerangka pemikiran yang tunggal. Muara dari dekolonisasi pengetahuan adalah kemandirian, otonomi, dan gagasan yang kontekstual dengan situasi dan lokalitas. Jika sebuah produksi pengetahuan dengan teori-teori tercanggih gagal menjadi kontekstual, justru ia perlu dicurigai sebatas imitasi dan peniruan. Terkait pentingnya gagasan yang kontekstual dengan lokalitas, Grosfoguel menekankan pentingnya gagasan “dari” dan “bersama” subaltern.
Tentang “Dari” dan “Bersama” Subaltern
Teori subaltern dianggap sebagai teori yang paling berpengaruh dalam kajian pascakolonial. Secara umum, subaltern dipilih sebagai konsep untuk menggambarkan golongan yang marjinal dan paling kalah dalam sebuah struktur sosial, ekonomi, politik, dan budaya.
Sebagai teori dan konsep, istilah subaltern ini berkembang dalam berbagai disiplin kajian. Grosfoguel memiliki kecurigaan bahwa popularitas kajian subaltern membuat para peneliti cenderung untuk “mengkaji” kaum subaltern. Sementara hal yang lebih penting justru memproduksi pengetahuan “dari” dan “bersama” subaltern, bukan menjadikannya objek kajian dengan teori tercanggih sekali pun.
Memproduksi kajian subaltern perlu berangkat “dari” dan “bersama” subaltern itu sendiri, kaum subaltern bukan data dan objek dari laboratorium ilmiah para subalternist. Penting untuk menyadari bahwa produsen pengetahuan memiliki privilese dan perlu peka pada upaya solidaritas, sebab aktivitas produksi pengetahuan tak pernah netral dan benar-benar objektif, ia selalu rentan dikekang oleh struktur kuasa dominan.
Baca juga:
Grosfoguel berargumen bahwa tak mungkin seorang produsen pengetahuan (termasuk pemikir pascakolonial) bebas nilai dan terlepas dari realitas kelas, seksual, gender, spiritual, linguistik, geografis, dan hierarki rasial dari sistem dominan. Dalam tulisannya, Grosfoguel sering memakai pengistilahan seperti ini: “modern/kolonial/kapitalis/patriarkal”. Istilah itu cukup merangkum proyek intelektualnya, di mana ia melihat sebuah sistem penindasan dalam world-system.
Gagasan menyeluruh soal sistem dunia (world-system) ini melampaui pendekatan Marxis konvensional tentang infrastruktur dan suprastruktur, karena bagi Grosfoguel, siklus kuasa merupakan struktur historis-heterogen atau heterarki (heterarchy). Dengan melihat siklus kuasa sebagai heterarki, kita dapat melihat lapisan-lapisan yang menghimpit subjek secara hierarkial, dari penindasan berbasis kelas, seksual, gender, spiritual, linguistik, geografis, rasial, dan lainnya.
Lapisan-lapisan heterarki itu yang kemudian dilanggengkan dalam struktur sistem dunia kini dan lalu. Grosfugoel memang mengembangkan Anibal Quijano soal matriks kuasa kolonial, bahwa kuasa kolonial itu bekerja pada seluruh sistem dalam berbagai lini, dari soal domestik harian hingga ekonomi-politik makro. Untuk itu pemisahan antara kajian budaya dan kajian politik-ekonomi dalam kajian pascakolonial perlu dilampaui, karena kekuasaan itu sendiri bekerja melampaui kotak sempit soal budaya dan ekonomi-politik.
Sementara itu, kajian pascakolonial arus utama (misalnya, Gayatri Spivak, Edward Said, Stuart Hall, dan lain-lain) melihat sistem dunia kapitalis terbentuk utamanya melalui konstruksi budaya. Sementara kebalikannya, kajian ekonomi-politik menempatkan fokus kajiannya semata-mata pada struktur ekonomi saja. Dua jenis kajian ini seakan-akan pasti berlawanan dan jauh berbeda. Tetapi bagi Grosfoguel, pemisahan dua aspek itu ibarat dilema telur ayam: antara ayam dan telur mana yang lebih dulu ada? Dilema itu mengaburkan kompleksitas sistem dunia dan kolonialitas yang sangat multidimensional.
Jelas bagi Grosfoguel, dekolonisasi pengetahuan harus merespons hal yang utuh dari soal hierarki seksual, gender, spiritual, epistemik, ekonomi, politik, bahasa, dan ras. Pemetaan Grosfoguel soal cara kerja kuasa kolonial memberi kita pantikan untuk berpikir tentang perubahan yang utuh dan tidak reduksionis. Perspektif ini juga dapat membantu kita merancang moda produksi pengetahuan yang radikal, mengakar, dan tidak dibebani kanon-kanon yang mengekang.
Bagi Grosfoguel, produksi pengetahuan yang melawan totalitas dan himpitan sistem dunia itu perlu dilakukan pada garis batas, pada margin, dan pada subalternitas. Dengan begitu, subaltern dan marginalitas bukan sekadar jargon, slogan, atau omong kosong teoritis saja, melainkan sebuah landasan untuk melakukan produksi pengetahuan. Untuk mengupayakan dekolonisasi pengetahuan, kita perlu melampaui penggunaan teori pascakolonial semata-mata sebagai teori baru.
Teori subaltern, perspektif “dari pinggir”, atau berbagai macam kritisisme ini bukan sekadar teori. Dalam kritik Grosfoguel, subalternitas tak bisa dilihat sesederhana perspektif atau teori baru untuk memproduksi pengetahuan. Ketika menjadi populer, kajian pascakolonial sangat rentan untuk dimaknai sekadar “teori” dan perspektif baru saja. Bahkan, ironisnya ia hanya ditiru, diimitasi, atau dipakai sebagai cocokologi untuk menganalisis kaum marjinal.
Hanya dengan melebur pada subjek di garis batas, marginalitas, dan subalternitas, maka dekolonisasi pengetahuan bisa dimungkinkan. Jika Gayatri Spivak percaya bahwa kajian pascakolonial “memberi suara pada yang dibungkam” (giving voice to the voiceless), maka Grosfoguel memikirkan perlunya peleburan dan solidaritas kepada yang dibungkam itu sendiri. Bukan memberi suara, bukan mewakili, atau menjadi intelektual yang memantau ketertindasan dari jauh. Lagipula, dekolonisasi pengetahuan mustahil terjadi tanpa proses “dari” dan “bersama” subaltern.
***
Tulisan ini merupakan bagian kedua dari seri kolaborasi Omong-Omong Media dan Lingkar Studi Sejarah Arungkala.
Tulisan sejarah LSS Arungkala juga dapat dibaca dalam buku Pengantar Dekolonisasi Pengetahuan yang dapat diakses melalui tautan berikut.
Editor: Prihandini N