Kehidupan rempah di Maluku Utara ibarat tabung oksigen yang kosong. Hanya terlihat tulisan saja, tetapi isinya tidak ada. Padahal, banyak elemen pengetahuan tentang sejarah rempah yang berakar panjang sejak masa Momole, masa ketika kerajaan di sana tumbuh dan besar dengan kepemimpinan monarki absolut, hingga saat ini.
Sejarah peradaban rempah di Ternate telah ditulis oleh bangsa-bangsa Eropa sejak abad ke-12. Perkembangannya sejurus dengan perkembangan agama dan kebudayaan. Sepanjang sejarahnya, Ternate seperti dua mata pisau yang tajam dan mencolok. Namun, sayangnya, kurang diasah dengan baik.
Pengetahuan akan adanya rempah bisa jadi dimulai di “negeri” ini—Ternate disebut negeri karena telah berkembang sejak abad ke-12 dan pernah melakukan kesepakatan bilateral dengan negara-negara Eropa pada masa itu. Hal ini dibuktikan dengan adanya cengkeh tertua di Indonesia, bahkan mungkin di dunia, yang bernama cengkeh Afo. Cengkeh yang berumur lebih dari 200 tahun tersebut adalah bukti sejarah penyelamatan ketika marak pemusnahan pohon-pohon cengkeh yang ada di Maluku Utara oleh VOC pada masa itu.
Catatan Jack Turner dalam bukunya yang berjudul Sejarah Rempah, dari Erotisme sampai Imperialisme menguak tentang berharganya rempah di mata orang-orang Eropa. Bahkan, Colombus saja berkali-kali tertipu oleh keadaan saat perjalanannya mencari emas hitam itu. Ia nyasar beberapa kali ketika berlabuh di beberapa pulau di Amerika dan membawa pulang tumbuhan yang dikiranya lada dan bunga pala. Kedatangan para navigator dunia pun mencuri perhatian sejarah. Mereka harus mengubah pusaran kemudi utama hingga 35 derajat hanya untuk memungut serpihan pala dan cengkeh sebagai modal kekayaan mereka.
Tidak mudah melupakan sejarah rempah Ternate. Nilai dan fenomena historisnya saat ini adalah imbas masa lampau. Konstruksi sejarah terus didaur ulang menjadi kenangan kebudayaan masa lampau lewat program-program kebudayaan menggunakan tema-tema menarik seperti jalur rempah, catatan rempah, dokumenter visual rempah, hingga yang lebih memukau lagi: sebutan Kota Rempah.
Padahal, upaya untuk mengonservasikan bukti sejarah saja tidak mampu diretas dengan baik. Itu sebabnya ada kalimat di akhir paragraf dua, “…kurang diasah dengan baik.” Diasah di situ berarti menghubungkan upaya menjaga, melindungi, dan melestarikan sejarah rempah dengan segala hal yang saat ini sedang dibicarakan.
Mengapa semua orang sibuk bicara rempah tiga tahun terakhir ini? Apakah dengan menyebut nama rempah di belakangnya kita sudah benar-benar peduli padanya? Sejauh mana esensi rempah bisa dimaknai sesuai dengan keberadaannya?
Baca juga:
Saya mengamati rempah dalam konteks yang berbeda—menghubungkan keberadaan rempah dengan perilaku kehidupan saat ini. Misalnya, bagaimana manfaatnya rempah bagi kehidupan atau bagaimana keberadaan rempah dalam sosial-budaya yang melibatkan dua unsur penting, yaitu petani dan perkebunan rempah itu sendiri. Pengamatan ini dimulai saat saya melakukan riset dan mendengar berbagai cerita yang dibagikan oleh rekan-rekan di kafe. Rempah-rempah seperti pala, cengkeh, kayu manis, dan kenari ternyata mengalami model eksploitasi bersama karena rekayasa segelintir pemangku kepentingan.
Perkebunan rempah yang ada di Halmahera adalah salah satu yang mengalami eksploitasi. Liputan Astuti N. Kilwouw untuk Project Multatuli menggambarkan bagaimana seorang Mama Yani harus melawan para diktator perusahaan kelapa sawit yang bekerjasama dengan pemerintah untuk merampas hak tanahnya. Mama Yani memperjuangkan tanah yang di dalamnya terdapat sejumlah pohon pala dan cengkeh, harta satu-satunya yang menghidupi keluarganya sejak berpuluh tahun lalu. Cerita Mama Yani ini baru satu kisah yang terungkap tentang perlakuan tidak adil bagi petani rempah.
Selain sawit, perkebunan rempah juga digusur untuk pelebaran lokasi tambang. Banyak petani rempah yang terpaksa kehilangan penghidupan dan akar mereka di seantero Halmahera. Entah kapan ketamakan ini berakhir.
Berbagai tulisan yang menyoal hak tanah warga di Halmahera kerap diabaikan para pemangku kepentingan. Slogan-slogan Kota Rempah tak selaras dengan nasib kebun rempah yang saat ini sedang tidak baik-baik saja.
Peradaban rempah terus mengalami disintegrasi. Karya saya itu merepresentasikan kehidupan ekologi di Halmahera saat ini yang seperti tinggal menunggu meletusnya bom waktu. Cepat atau lambat, semua akan berakhir, musnah. Kecuali, ada aksi nyata untuk menjaga, melindungi, dan melestarikan warisan peradaban negeri Ternate ini.
Jika peradaban rempah musnah, apa yang bisa kita banggakan dari slogan dan program serbarempah tadi? Tanggung jawab apa yang mesti kita sampaikan kepada generasi mendatang? Bagaimana nasib sejarah dan peradaban bangsa yang telah berabad-abad diperjuangkan oleh para leluhur kita?
Pertanyaan itu mungkin tidak perlu dijawab dengan suara yang menggelegar. Sebab, suara itu tak akan cukup menyaingi suara bom waktu yang terus berdetak maju. Tugas kita saat ini hanya perlu membangun kesadaran para pemangku kepentingan yang sudah jadi kewajibannya bertanggung jawab dan peduli terhadap sejarah dan nasib negeri ini ke depan.
Editor: Emma Amelia