Mahkamah Konstitusi di berbagai negara mengalami serangan dan intervensi politik terhadap independensi yang dimilikinya. Indonesia jugalah kontributor dalam fenomena ketatanegaraan ini.
Belum lama ini, DPR RI memberhentikan Hakim Konstitusi Aswanto secara sepihak dan tanpa dasar konstitusional dalam Rapat Paripurna Ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2022-2023 yang diselenggarakan pada Kamis, 29 September 2022. Dalam rapat tersebut, Guntur Hamzah. sebelumnya menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, ditunjuk secara tiba-tiba untuk menggantikan posisi Aswanto sebagai Hakim Konstitusi.
Baca juga:
Apabila merujuk keterangan resmi dari beberapa anggota DPR di media massa, terdapat dua alasan utama yang dijadikan justifikasi atas pemberhentian Hakim Aswanto. Pertama, Aswanto dianggap kerap membatalkan undang-undang yang disahkan oleh DPR. Menurut DPR, sebagai Hakim Konstitusi yang mereka tunjuk, Aswanto seharusnya berperan sebagai “wakil” DPR di Mahkamah Konstitusi.
Kedua, adanya surat yang dikirimkan oleh Mahkamah Konstitusi berisikan konfirmasi atas pemberitahuan dampak Putusan Nomor 96/PUU-XIII/2020 yang pada pokoknya menjelaskan bahwa jabatan Hakim Konstitusi yang sedang menjabat tidak lagi mengenal periodisasi masa jabatan 5 tahunan, melainkan berdasarkan batas umur.
Kedua alasan tersebut tidaklah valid secara konstitusional maupun secara hukum. Sebab, DPR sama sekali tidak memiliki wewenang untuk memecat maupun mengangkat Hakim Konstitusi melalui mekanisme apa pun secara sepihak.
Merujuk UUD 1945, selaku hukum tertinggi di Indonesia, sangat terang Pasal 24C ayat (3) melimitasi kewenangan DPR sebatas mengusulkan tiga orang anggota Hakim Konstitusi yang nantinya akan ditetapkan oleh Presiden. Ditambah lagi, DPR RI ternyata salah menafsirkan maksud dari surat yang dikirimkan oleh Mahkamah Konstitusi. Maksud surat tersebut justru memberitahukan bahwa jabatan para Hakim Konstitusi berakhir ketika mereka menginjak umur 70 tahun.
Mengingat pengangkatan Hakim Konstitusi merupakan pintu masuk independensi dan imparsialitas cabang kekuasaan kehakiman, pemberhentian sewenang-wenang terhadap Aswanto tentu termasuk serangan serius terhadap fondasi demokrasi konstitusional di Indonesia. Demokrasi konstitusional pada prinsipnya mensyaratkan adanya checks and balances agar tidak ada satu cabang kekuasaan, individu, maupun institusi yang dapat memonopoli pengaruh atas sistem politik secara keseluruhan.
Padahal, desain pemilihan Hakim Konstitusi Indonesia tergolong cukup baik dalam menetralisir kepentingan politis tiga cabang kekuasaan yang ada. Sebab, terdapat pembagian merata bagi Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung untuk masing-masing menominasikan tiga calon anggota Hakim Konstitusi.
Indonesia juga termasuk negara yang memberikan jaminan kuat terhadap kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Ini dapat dilihat, misalnya, pada Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 maupun dalam produk hukum seperti UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Apabila dibaca secara menyeluruh, sudah jelas persepsi yang menganggap bahwa Hakim Konstitusi menjadi subordinat lembaga pengusungnya dan oleh karenanya harus selalu menyukseskan produk hukum yang disahkan merupakan penafsiran yang sangat keliru.
Secara konseptual, pemecatan Aswanto oleh DPR umumnya dikenal sebagai salah satu bentuk court capture atau pembajakan pengadilan. Taktik ini kerap digunakan oleh rezim-rezim illiberal hingga pemerintahan otokratis untuk mengintervensi kerja-kerja para hakim yang seharusnya independen dari intervensi politik. Tujuannya agar dapat melancarkan proyek-proyek, legislasi, maupun kebijakan para elit penguasa. Dengan kata lain, sistem separation of powers atau pemisahan kekuasaan yang seharusnya mendudukkan Mahkamah Konstitusi sebagai penyeimbang terhadap pemegang mayoritas kekuasaan malah dijadikan alat bagi untuk memajukan kepentingan penguasa.
Meski caranya sedikit berbeda, kita dapat melihat bagaimana court capture dilangsungkan oleh pemimpin sejumlah negara dengan indeks demokrasi dan kebebasan sipil yang kian merosot ke jurang otoritarianisme. Misalnya, limitasi kekuatan Mahkamah Konstitusi Hungaria secara substansial oleh Viktor Orbán pasca partainya meraih kemenangan pada tahun 2010. Limitasi tersebut menekan kemampuan Mahkamah Konstitusi Hungaria untuk melakukan pengujian terhadap undang-undang. Tak cukup sampai situ, court capture dilanjutkan dengan menambah dan mengisi kursi jabatan hakim konstitusi dengan para loyalis Orbán.
Di Polandia, partai mayoritas Law and Justice (PiS) menolak menerapkan sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi. PIS juga mempolitisasi pemilihan para hakim konstitusi sehingga jabatan tersebut diisi oleh kandidat yang mendukung kepentingan PIS.
Baca juga:
Serangan-serangan terhadap independensi Mahkamah Konstitusi merupakan upaya untuk memudahkan legislasi yang serampangan, baik itu proses maupun substansinya. Terlebih, menjelang Pemilu 2024, segalanya tidak akan lepas dari persoalan kontestasi kepentingan politik para elit.
Independensi pengadilan merupakan hal yang tidak dapat ditawar apabila Indonesia ingin mencapai penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan akuntabel. Apabila Presiden mempunyai iktikad yang sejalan dengan keinginan ini, sudah sepatutnya ada tindakan tegas darinya. Sebagai cabang kekuasaan yang berwenang menetapkan Hakim Konstitusi, Presiden hendaknya mengusahakan agar keputusan DPR mencopot Hakim Konstitusi Aswanto secara sepihak dan sewenang-wenang tidak ditindaklanjuti.
Editor: Emma Amelia