Distopia Totalitarian yang Semakin Dekat dengan Kenyataan

Muhammad Taufiq Al-Ghifari

5 min read

Sepanjang hidupnya, tokoh Winston berusaha menjadi warga negara yang baik dengan mematuhi setiap aturan partai meski jauh di dalam hati dan pikirannya bersemayam antipati terhadap kediktatoran yang ada di negaranya. Walaupun begitu, Winston tidak berani melakukan perlawanan secara terbuka. Tidak mengherankan, karena ada polisi pikiran, teleskrin, dan mikrofon tersembunyi yang membuat privasi menjadi hanya serupa fantasi. Bahkan, sejarah ditulis ulang sesuai kehendak partai. Negara berkuasa mutlak atas rakyatnya. Yang berbeda atau bertentangan akan segera diuapkan.

Kilasan cerita di atas merupakan premis yang ditawarkan novel 1984 (Nineteen Eighty-Four) karya George Orwell. Nineteen Eighty-Four adalah sebuah novel distopia yang “meramalkan” masa depan. Alkisah ada sebuah negara totalitarian yang segala aspek kehidupan masyarakatnya dikendalikan oleh penguasa. Tak hanya menggambarkan Inggris pada tahun 1984, Nineteen Eighty-Four juga  menggambarkan situasi dunia dari masa ke masa, termasuk juga kondisi sosial politik di Indonesia.

Musuh Fiktif

Dalam Nineteen Eighty-Four terdapat pihak oposisi dari Bung Besar, yaitu Emmanuel GoldsteinGoldstein adalah sosok yang berani secara lantang melawan kekuasaan Bung Besar dan menuntut kebebasan bersuara, kebebasan pers dan sistem demokrasi di Oceania. Ia pun berani mempertanyakan kebijakan yang diterapkan oleh Bung Besar. Atas tindakannya tersebut, Goldstein dilabeli sebagai pengkhianat dan pembangkang partai.

Goldstein pernah menjadi salah seorang tokoh utama partai yang tingkatannya hampir setara Bung Besar, dan kemudian melakukan berbagai kegiatan antirevolusioner, dijatuhi hukuman mati, dan secara misterius lolos serta menghilang. Namun, wajah dari Goldstein selalu hadir pada Hate Week. Hate Week adalah sebuah waktu di mana anggota partai, termasuk Winston, berkumpul di suatu lapangan terbuka untuk menyimak segala pesan yang diberikan oleh Bung Besar melalui telescreen yang bertujuan ingin menanamkan nasionalisme. Selain menanamkan semangat nasionalisme, Hate Week juga bertujuan untuk menanamkan kebencian anggota partai terhadap Emmanuel Goldstein karena ia dianggap sebagai seorang pengkhianat. Bung Besar selalu mempropagandakan Goldstein sebagai musuh bersama atau The Enemy of The People. Pertanyaan utamanya bukanlah di mana keberadaan Goldstein sekarang. Namun, apakah sosok Emmanuel Goldstein memang benar ada atau sekadar rekaan?

Pada akhirnya diketahui bahwa Emmanuel Goldstein merupakan sosok fiktif atau karangan partai belaka. Ia tidak pernah ada. Ia tidak pernah nyata. Bahkan buku karangan Goldstein yang berjudul Teori dan Praktik Kolektivisme Oligarkis itu adalah karangan O’brien yang merupakan sosok pemimpin partai dan telah mengawasi Winston selama bertahun-tahun.

Munculnya sosok Emmanuel Goldstein ini mengingatkan saya pada Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ideologi komunisme di Indonesia. Partai Komunis Indonesia atau PKI adalah sebuah partai yang sempat berjaya di Indonesia pada masa penjajahan Belanda. PKI dikenal sebagai pengkhianat negara karena telah melakukan pembantaian pada tahun 1965, sehingga muncul hari G30S/PKI, dan sejak saat itu PKI sudah tidak lagi beroperasi di Indonesia karena telah dianggap berkhianat dan membangkang untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Soekarno.

Terlepas pro dan kontra mengenai cerita PKI yang merupakan pengkhianat bangsa, di zaman sekarang yang sudah jauh dari zaman penjajahan, hantu-hantu PKI masih berkeliaran. Masyarakat selalu dibuat takut oleh kebangkitan PKI  yang kenyataannya partai ini sudah lama bubar dan ideologi komunis sendiri sudah tidak relevan dengan kondisi sekarang. Berbagai isu-isu kerap dilemparkan kepada masyarakat tentang bahaya laten PKI ataupun ideologi komunisme. Tak jarang isu PKI juga digunakan para politikus untuk menyerang lawan politiknya. Situasi Indonesia hari ini nyatanya tak jauh berbeda dibanding realitas fiksi yang dibangun Bung Besar dalam novel Nineteen Eighty-Four.

Menghapus dan Mendaur Ulang Sejarah

Pada cerita Nineteen Eighty-Four, masyarakat tak lagi mengetahui sejarah secara jelas. Alasannya tak lain karena partai membolak-balik realitas sejarah itu sendiri dengan mengubah dan membentuk kebenaran sesuai dengan kehendak partai. Semua orang dipaksa menerima kebohongan yang dipaksakan oleh partai karena semua arsip, catatan, buku, puisi, film telah didaur ulang untuk kepentingan partai. Sebagaimana slogan partai, yaitu “yang mengendalikan masa kini mengendalikan masa depan: yang mengendalikan masa kini mengendalikan masa silam”. Ini juga dijelaskan dalam kutipan:

Every record has been destroyed or falsified, every book rewritten, every picture has been repainted, every statue and street building has been renamed, every date has been altered. And the process is continuing day by day and minute by minute. History has stopped. Nothing exists except an endless present in which the Party is always right.

Selanjutnya ketika Winston berada di bar, ia bertemu dengan seorang lelaki tua dan menanyakannya, “within twenty years at most, was life better before the revolution than it is now?”. Akan tetapi, lelaki tua itu tidak dapat menjawabnya karena tidak dapat mengingatnya secara substantif. Winston menyadari bahwa karena ingatan individu yang tidak dapat diandalkan, pengaruh propaganda, dan terutama kematian orang-orang yang mengingat kehidupan sebelum revolusi, partai berhasil menggunakan kendalinya atas masa lalu.

Sama seperti halnya di Indonesia, banyak sekali sejarah-sejarah yang ditutupi atau bahkan ‘didaur ulang’. Padahal banyak sekali forum-forum diskusi yang membahas mengenai peristiwa-peristiwa sejarah di Indonesia seperti Gestapu, Supersemar, dll., yang kerap kali mendapatkan ancaman pembubaran dari aparat. Dilansir dari BBC Indonesia, sejumlah diskusi sejarah dibubarkan dalam beberapa tahun terakhir, termasuk pemutaran film Pulau Buru Tanah Air Beta yang mengungkap kehidupan tahanan politik Orde Baru dan dalam setahun terakhir (2017), diskusi dan seminar sejarah, terutama yang berkaitan dengan Tragedi 1965 kerap menjadi polemik.

Hasilnya, masyarakat hidup terombang-ambing antara masa lalu yang keji dan tantangan perubahan yang silih berganti dengan cepat. Kita hidup di negara yang tak dapat memberikan kejelasan sejarah masa lalu, dipaksa menghadapi ketidakjelasan di masa sekarang, tersesat dan dikendalikan nasibnya oleh negara.

Tidak Ada Lagi Privasi

Di setiap sudut kota Oceania ataupun rumah anggota partai terdapat telescreen. Telescreen adalah alat semacam CCTV yang mengawasi gerak-gerik kehidupan masyarakat Oceania. Adapula tugas lainnya adalah untuk memberikan pengumuman-pengumuman, menyetel musik, ataupun digunakan oleh kepolisian rahasia untuk mencegah adanya upaya perlawanan terhadap Bung Besar. Pemasangan telescreen yang difokuskan di setiap rumah anggota partai bermaksud untuk mencegah adanya perlawanan dari internal partai itu sendiri. Hal tersebut dikarenakan anggota partai memiliki cukup pengetahuan terhadap sistem yang dijalankan Bung Besar. Karena Winston adalah anggota partai, ia tidak bisa bebas dari pengawasan negara. Kebebasan privasi Winston yang telah hilang tergambar pada kutipan berikut:

Winston kept his back turned to the telescreen. It was safer; though, as he well knew, even a back can be revealing.

Telescreen bukan hanya alat yang bisa merekan segala hal, tapi juga bisa mengganggu ranah privasi seseorang. Telescreen juga menyala selama 24 jam nonstop, dan selama rentang waktu itu pula telescreen akan terus merekam seluruh kegiatan individu dan masyarakat Oceania. Dampak lainnya dari pengawasan telescreen adalah memberikan rasa takut kepada masyarakat karena banyak kasus di Oceania yang telah menangkap orang yang dianggap melawan terhadap kekuasaan Bung Besar. Bagi Bung Besar dengan menunjukan ekspresi wajah yang tidak suka atau berbicara dengan tidak sengaja mengecam Bung Besar merupakan suatu bentuk tindakan melanggar hukum.

Di Indonesia sendiri, privasi sudah tidak lagi menjadi privasi. Kemajuan teknologi yang pesat  memberikan makna bahwa informasi dapat diolah secara lebih efisien, mudah dikumpulkan, disimpan, dan dipertukarkan, bahkan untuk data yang mungkin dianggap sensitif oleh individu yang bersangkutan. Peran database yang cukup besar dan informasi seperti catatan internet tentang sejarah keuangan dan kredit perorangan, catatan medis, pembelian, dan sebagainya sangat rentan untuk dilihat dan dibaca oleh individu yang tidak memiliki kewenangan terhadap hal tersebut.

Kasus-kasus penjualan data secara online di Indonesia sudah sering terjadi. Dilansir dari Katadata, pada tahun ini BPJS membocorkan 279 juta data peserta dan KTP juga terkena imbasnya yang bahkan merugikan negara hampir 600 triliun. Lalu pada tahun lalu, 91 juta data juga bocor lewat aplikasi Tokopedia dan dijual seharga US$5.000 (Rp74,3 juta) di sebuah situs jual beli dark web. Perlindungan privasi merupakan hak setiap warga negara yang harus dihormati dan diberikan perlindungan. Rentannya perlindungan atas data pribadi di Indonesia tak ubahnya melihat masyarakat Oceania yang hidup dalam pengawasan telescreen yang dikendalikan partai.

Doktrin Slogan Partai

WAR IS PEACE
FREEDOM IS SLAVERY
IGNORANCE IS STRENGTH

Kata-kata tersebut merupakan slogan resmi partai dan tertulis besar di piramida Ministry of Truth. Kata-kata itu diperkenalkan di awal buku pada chapter 1. Slogan itu terus hidup untuk melemahkan kemandirian dan pemikiran individu serta memaksa mereka untuk hidup dalam ketakutan yang terus-menerus dipicu oleh propaganda. Partai dengan segala kuasa dan instrumen politiknya dapat memaksa rakyatnya untuk menerima keputusan apa pun, bahkan jika itu sama sekali tidak logis. Misalnya, tugas dari masing-masing kementerian yang bertolak belakang dengan fungsi sebenarnya. Ministry of Peace yang kerjanya mengobarkan perang, Ministry of Love yang menyiksa tahanan politik, Ministry of Truth yang merekayasa informasi dan membangun propaganda.

Slogan War is Peace menjadi slogan umum yang dapat dijumpai pada poster ataupun acara pemerintahan di Oceania. Pada slogan tersebut, Bung Besar bermaksud untuk membuat keyakinan bersama pada masyarakat Oceania bahwa perang yang sedang berlangsung dengan Eurasia dan Eastasia adalah semata-mata demi kebaikan masyarakat Oceania.

Freedom is Slavery juga menjadi slogan yang disebarkan kepada masyarakat Oceania. Slogan ini digunakan untuk merekonstruksi konsep ‘kebebasan’ di Oceania. Konsep yang ingin disebarkan oleh Bung Besar adalah bahwa kebebasan sama halnya dengan perbudakan. Oleh sebab itu, Bung Besar ingin menegaskan bahwa kebebasan individual adalah hal yang seharusnya disingkirkan.

Pada slogan Ignorance Is Strength, partai ingin memastikan bahwa warganya tidak berpikir kritis dan tidak meragukan keputusan partai. Bahkan ketika keputusan partai bertentangan langsung dengan kenyataan. Dalam hal ini, partai dapat dengan leluasa mengontrol serta memanipulasi masa lalu, perasaan dan pemikiran masyarakat Oceania.

Slogan-slogan propaganda di Oceania nyatanya tak jauh berbeda dengan situasi kita hari ini, di mana pasal-pasal karet dirancang dan digunakan untuk menghukum siapa pun yang berani berpikir kritis dan menentang keputusan penguasa. Melalui novel Nineteen Eighty-Four, kita bisa melihat kritik tegas Orwell terhadap totalitarianisme. Meskipun tahun 1984 sudah lama berlalu, novel ini masih terus relevan, terutama di Indonesia.

***

Editor: Ghufroni An’ars

Muhammad Taufiq Al-Ghifari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email