Pernyataan Ketua DPR Puan Maharani bahwa Pemilu 2024 akan diselenggarakan 14 Februari 2024 sedikit memberikan kejelasan bahwa Pemilu tetap akan digelar. Meski demikian, masyarakat tentu harus tetap siaga dan mengontrol jalannya perencanaan gelaran pesta demokrasi tersebut, karena isu penundaan Pemilu yang digaungkan beberapa figur politik dan proposal perpanjangan masa jabatan presiden belum juga surut.
Baca juga:
Apabila benar dilaksanakan pada 14 Februari 2024, maka permasalahan terkait Pemilu belum selesai sampai di situ saja. Sebab, rentetan masalah Pemilu yang wajib menjadi catatan juga masih perlu diselesaikan, tak terkecuali adalah masa jeda pasca penetapan hasil hitung suara Pemilu hingga hari pelantikan anggota legislatif dan presiden.
Sebagaimana yang saya tulis dalam opini saya di Kompas.ID bertajuk ’Lame Duck’, Isu yang Tertinggal dari Diskursus Pemilu, 18 Oktober 2021, permasalahan ‘lame duck’ tak kunjung menjadi fokus bahasan untuk diselesaikan para pejabat negara. Padahal, isu ini sangat krusial dan akan terus terjadi setiap Pemilu diselenggarakan.
Lame duck adalah ketika pejabat petahana tetap pada jabatan mereka masing-masing, meski Pemilu telah selesai dan tak lagi terpilih, mereka masih dapat menggunakan kewenangan sebagai petahana sampai masa jabatan selesai. Mereka yang berdiam di jabatan-jabatan mereka masuk dalam periode lame duck session (Beerman & Marshall, 2006).
Hal ini berbahaya bagi demokrasi konstitusional kita, sebab apabila berkaca dari pengalaman penyelenggara Pemilu yang lalu, petahana yang telah selesai masa jabatannya di eksekutif dan legislatif masih bisa menduduki jabatan mereka selama kurang lebih 5 hingga 6 bulan, sampai anggota yang terpilih baru dilantik. Selama masa 5 sampai 6 bulan itu, para petahana bisa dengan bebas menggunakan kekuasaan mereka untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang tak berkarakter demokratis.
Bukan Pertama Kali
Ada dua kasus dalam sejarah demokrasi Indonesia sudah terjadi dan membuktikan adanya bahaya lame duck session ini. Kasus pertama adalah pasca Pemilu 2014, DPR mengeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mengatur pemilihan kepala daerah untuk dipilih oleh DPRD setempat dan tidak melalui pemilihan langsung. Hal ini dikecam karena bertentangan dengan prinsip demokrasi dan dipandang sebagai usaha menghambat Presiden Terpilih saat itu, Joko Widodo (Stefanus Hendrianto, “Indonesia’s Constitutional Conundrum: The Weak Presidency, the Strong Opposition and the Regional Elections Law”, 2021).
Kemudian, pasca Pemilu 2019 juga menjadi kasus kedua contoh fenomena ini. Disahkannya amandemen Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi sebelum dilantiknya para anggota DPR terpilih dan diundangkan tiga hari sebelum Presiden Joko Widodo dilantik kembali juga menjadi bukti bahwa lame duck mengancam demokrasi kita. Pemanfaatan momentum lame duck session oleh para politisi ini akan membuat preseden buruk, bahwa nantinya rancangan undang-undang yang belum tuntas bisa disegerakan tanpa membuka partisipasi publik karena mereka sudah tak lagi terpilih dan tidak memiliki tanggung jawab apapun pada konstituen. Hal inilah yang mendorong mereka untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan hukum yang tidak demokratis, hanya untuk merealisasikan agenda politik mereka.
Masalah ini berpotensi terulang pada Pemilu 2024 yang rencananya diselenggarakan pada 14 Februari 2024. Jika pelantikan tetap dilaksanakan pada bulan Oktober baik bagi DPR maupun Presiden, tentu masih dapat dipahami rentang waktu tersebut untuk keperluan logistik, penghitungan suara di pusat, antisipasi putaran kedua, dan penyelesaian perkara di Mahkamah Konstitusi. Namun, apabila tidak ada pengaturan mengenai bagaimana petahana dibatasi kekuasaannya hingga masa jabatan mereka habis, tentu ini akan berbahaya sebab jeda waktu mereka akan bertambah menjadi sekitar 8 bulan, maka makin besar potensi penyalahgunaan kekuasaan di jeda waktu itu.
Pilihan Solusi
Penghapusan, atau setidaknya pengaturan lame duck session ini wajib menjadi perhatian serius dan harus ada dorongan keinginan politik (political will) dari para penguasa untuk membatasi satu sama lain ketika mereka tak lagi terpilih namun menunggu masa jabatan mereka habis. Menurut John Copeland Nagle (2012), Upaya mempersingkat masa tunggu dengan memajukan tanggal pelantikan bisa menjadi salah satu solusi.
Sejauh ini, pelantikan DPR dan Presiden yang dilaksanakan pada 1 dan 20 Oktober tiap lima tahun hanyalah sebagai kebiasaan ketatanegaraan dan tidak ada pengaturan secara formal dalam sebuah teks undang-undang bahwa wajib dilaksanakan pada kedua tanggal itu. Dengan demikian, dapat diatur secara formal dalam Undang-Undang Dasar 1945 nanti atau jadwal Pemilu bisa lebih mendekati jadwal pelantikan, agar mempersingkat masa jeda sehingga memperkecil kemungkinan petahana memanfaatkan jeda waktu itu untuk mengesahkan undang-undang yang bertentangan dengan prinsip demokrasi.
Jika ternyata sulit untuk mempersingkat masa jeda itu dengan mendekatkan jadwal Pemilu ke tanggal pelantikan atau sebaliknya, akibat pertimbangan logistik, antisipasi putaran kedua, dan menunggu putusan MK, maka solusi selanjutnya yang digunakan adalah mengatur bagaimana petahana dibatasi kewenangannya saat masa jeda tersebut. Pembatasan yang dilakukan berupa pelarangan pengesahan rancangan undang-undang yang belum memasuki tahap tertentu di DPR dan wajib di-carryover ke DPR periode selanjutnya serta pembatasan penggunaan kewenangan lain yang melekat pada jabatan tersebut.
Pembatasan itu tentu sudah sejalan dengan prinsip konstitusionalisme yang menganut pembatasan kekuasaan, karena bukan berarti ketika tidak terpilih dan menunggu pejabat yang baru untuk dilantik, mereka dapat bebas berkuasa dengan tetap membawa ‘atas nama rakyat’. Padahal, Bruce Ackerman dalam “Lame Ducks vs. The Constitution” (2010) mengatakan justru dengan tidak terpilihnya mereka, rakyat telah menarik kembali mandat mereka dan tidak ada lagi kepentingan rakyat yang diklaim dibawa oleh para pejabat itu.
Masalah lame duck wajib menjadi fokus perhatian, demi terjaganya demokrasi selama pesta demokrasi itu sendiri.