Amnesti untuk Saiful Mahdi tinggal selangkah lagi. Setelah Jokowi mengirimkan Surat Presiden ke DPR pada 29 September 2021, sekarang bola panas pemberian amnesti berada di tangan para legislatif.
Apakah DPR akan menanggapi dengan cepat dan menjalankan perannya sebagai wakil rakyat untuk mengikuti suara masyarakat yang menginginkan amnesti untuk Saiful Mahdi?
Amnesti merupakan hak prerogatif presiden di bidang hukum yang diatur serta dijamin oleh Undang-undang Dasar 1945 dan dan Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1954 (UU Amnesti dan Abolisi). Berdasarkan peraturan itu pula, Presiden perlu mendapatkan pertimbangan dari DPR sebelum mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) atas pemberian amnesti.
DPR seharusnya merespons dengan cepat pertimbangan amnesti terhadap Saiful, sama seperti ketika menangani kasus Baiq Nuril yang akhirnya disetujui amnestinya pada Juli 2019. Sayangnya, sudah lebih dari tujuh hari sejak Presiden berkirim surat, DPR belum juga merespons, padahal mereka memasuki masa reses dan pemberian amnesti untuk Dosen Universitas Syiah Kuala itu belum masuk dalam agenda pembahasan sidang paripurna.
Gelombang desakan untuk segera memberikan pertimbangan atas amnesti Saiful Mahdi juga terus berdatangan dari berbagai kelompok akademisi dan masyarakat sipil. Pasalnya DPR hanya punya sedikit waktu agar satu-satunya harapan membebaskan Saiful Mahdi dari jerat kriminalisasi UU ITE dapat terlaksana.
Sebelum amnesti yang diberikan Jokowi untuk korban pelecehan seksual dan kriminalisasi UU ITE, Baiq Nuril pada 2019, enam presiden sebelumnya juga mengeluarkan amnesti setidaknya sekali sepanjang periode kepemimpinannya. Berdasarkan data dari Kesekretariatan Kabinet, sepanjang 1959 hingga 2005 ada 31 Surat Keputusan Presiden tentang pemberian amnesti yang dikeluarkan oleh presiden. Mayoritas amnesti diberikan kepada terpidana dengan tujuan beragam, mulai dari menyelesaikan pemberontakan daerah, pembebasan oposisi, hingga perdamaian.
Persetujuan pemberian amnesti tercatat paling banyak pada periode kepresidenan Gus Dur yang mengeluarkan 10 Keppres dalam kurun waktu 1999 hingga 2000. Amnesti tersebut diberikan kepada para tahanan politik selama orde baru, misalnya kepada sejumlah anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Presiden Dewan Perlawanan Nasional Rakyat Timor (CNRT) Xanana Gusmao, dan mantan Ketua Partai Rakyat Demokratik (PRD), Budiman Sudjatmiko.
Sementara itu, Habibie tercatat mengeluarkan sembilan Keppres tentang pemberian amnesti selama periode Mei-Desember 1998, Soekarno sebanyak delapan Keppres, Soeharto menerbitkan dua keputusan amnesti, sedangkan Megawati dan SBY masing-masing satu Keppres tentang pemberian amnesti.
Persetujuan DPR atas langkah Jokowi menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24 Tahun 2019 tentang amnesti untuk Baiq Nuri cukup menggegerkan masyarakat dan dianggap sebagai peristiwa tonggak sejarah dalam sistem hukum Indonesia. Pasalnya, karena baru kali itu amnesti diberikan kepada masyarakat sipil atas pertimbangan dasar kemanusiaan. Namun di sisi lain, sebagian ahli hukum menganggap pemberian amnesti tersebut kurang tepat karena tidak sesuai dengan ‘prosedur’.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, memaparkan penyebab penolakan amnesti setidaknya berangkat dari tiga argumen. Pertama, amnesti hanya diberikan ke mereka yang tengah dituntut dalam proses penuntutan di pengadilan, bukan yang telah dijatuhkan vonis. Kedua, amnesti hanya dapat diterapkan pada masalah politik, sedangkan kasus Baiq Nuril bukanlah masalah politik. Ketiga, amnesti tak bisa diberikan ke orang per orang, melainkan kelompok politik.
Padahal, dalam teori dan praktik hukum internasional, amnesti bukan hanya dapat diberikan kepada pihak-pihak yang terlibat kasus politik dan sedang dituntut pidana, melainkan juga yang telah dijatuhi pidana. Lebih lanjut lagi, pendekatan amnesti juga dianggap bisa mengatasi masalah marginalisasi, eksklusi, dan kerentanan dari sebuah kelompok, dengan membangun struktur sosial dan politik yang setara.
Kasus Saiful Mahdi
Saiful Mahdi merupakan seorang dosen di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh yang dilaporkan dengan pasal 27 ayat 3 UU ITE tentang pencemaran nama karena dianggap telah menghina dekan Fakultas Teknik dalam chat di grup internal kampus pada 2018. Dalam pesan tersebut Saiful Mahdi mengkritisi sistem tes CPNS untuk dosen Fakultas Teknik Unsyiah pada akhir 2018.
Sayangnya, proses hukum terus berlangsung dan berujung pada vonis hukuman tiga bulan penjara dan denda Rp10 juta subsider 1 bulan, setelah upaya hukum berupa banding dan kasasi ditolak oleh Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung (MA). Saiful Mahdi pun ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II A Banda Aceh sejak 2 September 2021.
Keputusan ini banyak ditentang dan disayangkan oleh banyak pihak karena dianggap telah mencederai kebebasan akademik. Bahkan dalam eksaminasi terhadap putusan pidana Saiful Mahdi oleh Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) disebutkan bahwa terdapat nalar hukum yang buruk dalam putusan MA yang ikut serta meruntuhkan marwah kampus sebagai tempat yang seharusnya melindungi sikap dan pandangan kritis.
Peristiwa yang dialami Saiful Mahdi juga dianggap menjadi pukulan berat bagi kalangan akademisi di Indonesia karena siapapun di kampus atau di lembaga riset berpotensi mengalami hal serupa. Hal ini semakin menegaskan merosotnya kebebasan sipil yang semakin melemah di Indonesia termasuk kebebasan akademik.
Selain itu, Koalisi Masyarakat Sipil menilai kebebasan berpendapat seharusnya dilindungi oleh negara karena selain sudah tertuang dalam konstitusi, juga diperkuat dengan adanya Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Pemenjaraan Saiful Mahdi juga dianggap sebagai bukti bahwa negara telah gagal menjalankan fungsinya untuk memastikan warga dapat menikmati haknya tersebut dan bebas dari ancaman warga lain.
Lebih lanjut, penggunaan pasal bermasalah UU ITE dalam kasus Saiful Mahdi juga tidak sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan tafsir Pasal 27 ayat (3) UU ITE berpijak pada Pasal 310 KUHP, serta dipertegas dalam Pedoman Implementasi UU ITE, di mana ekspresi yang disampaikan Saiful Mahdi yang tidak merujuk secara personal perseorangan tidak bisa dikategorikan sebagai pencemaran nama perseorangan seperti yang diatur dalam UU ITE.
Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI) juga menganggap Saiful Mahdi layak mendapatkan amnesti karena merupakan akademisi dan orang yang memperjuangkan kejujuran dengan menyoroti prinsip akuntabilitas dalam rekrutmen dosen/PNS di lingkungan kampus. Sehingga, pendidik yang mengungkap kebenaran tidak layak meringkuk di penjara, meski sehari sekalipun.
Berbagai macam pandangan dan pertimbangan soal dukungan pemberian amnesti ini sudah banyak disampaikan. Bahkan kasus Baiq Nuril telah menjadi preseden baik bahwa penegakan dan perlindungan hak asasi manusia (HAM) dapat menjadi salah satu alasan pemberian amnesti, sehingga Saiful Mahdi yang merupakan korban ketidakadilan sistem hukum Indonesia sekaligus korban pembungkaman kebebasan berekspresi dan akademik patut untuk mendapatkan penghapusan hukuman.
Selain itu, jika DPR berani meyetujui keputusan presiden Jokowi untuk memberikan amnesti kepada Saiful Mahdi, hal ini dinilai akan memperbaiki reputasi Indonesia di Internasional yang belakangan terus merosot karena praktik-praktik pembungkaman kebebasan berekspresi, salah satunya dengan penggunaan pasal-pasal karet UU ITE.
Presiden telah menyepakati untuk memberikan amnesti dan gelombang dukungan dari masyarakat juga masih terus berdatangan. Sekarang saatnya kita melihat, apakah DPR akan memprioritaskan nilai keadilan dan kemanusian, tak hanya untuk Saiful Mahdi tapi juga untuk kebebasan berekspresi dan akademik di Indonesia.