Pendek cerita, perjuangan Presiden ke-16 Amerika Serikat, Abraham Lincoln, untuk menghentikan praktik perbudakan di wilayah yuridisnya tak pernah menemui jalan yang mulus. Pertentangan antara kubu utara (Union) yang ia pimpin dengan kubu selatan (Konfederasi) menambah runcing persoalan ini. Lincoln bahkan dituduh memiliki niat menguasai wilayah Konfederasi.
Niat Lincoln cukup beralasan, perbudakan manusia yang dilakukan ratusan tahun itu telah menimbulkan jutaan korban nyawa dan harus dihentikan.
Sayangnya, banyak yang tak sepaham. Bagi mereka, perbudakan harus tetap ada demi perekonomian yang terus berjalan. Bagi Lincoln, itu alasan yang bodoh. Untuk apa mengorbankan nyawa demi kekayaan?
Akhirnya, setelah berkali-kali gagal menggalang kekuatan politik, Lincoln bertemu juga dengan nasib baik. Andrea Williams, dalam catatannya berjudul American Slavery : A Very Short Introduction (2014), menyebutkan bahwa dukungan moral terhadap Lincoln terus menguat dan mencapai puncaknya pada 1865 saat Lincoln berhasil mengamandemen undang-undang perbudakan. Perbudakan pun resmi dihentikan.
Penting untuk mengilustrasikan ini ketika kita dihadapkan dengan isu dibolehkannya mantan narapidana tindak pidana korupsi (tipikor) mencalonkan diri menjadi anggota DPR. Sebagai wacana, ini bukan barang baru. Sebelumnya, pernah ribut juga mengenai wacana mantan narapidana tipikor mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Substansi polemiknya sama: mereka yang pernah terjerat pidana korupsi dinilai tak layak karena diragukan kapabilitas dan integritasnya. Secara moral pun tak pantas.
Polemik dan Acuan Hukum
Kekhawatiran ini cukup valid. Mantan Bupati Kudus, Muhammad Tamzil, pernah dua kali terjerat kasus korupsi. Pertama, ia terbukti melakukan tindak pidana korupsi dana bantuan sarana prasarana pendidikan dan bebas pada 2015. Kedua, pada 2018 ia terpilih lagi menjadi Bupati Kudus dan terjerat kasus suap pengisian jabatan. Lalu, ada Ajay M Priatna, mantan Wali Kota Cimahi yang dua kali ditangkap KPK atas kasus gratifikasi dan pemberian suap.
Pada 2019 lalu, terdapat 49 mantan napi tipikor yang maju menjadi caleg pada Pemilu 2019. Sembilan di antaranya mencalonkan diri menjadi anggota DPD RI.
Demokrasi politik Indonesia memang telah jelas menjamin hak politik untuk dipilih dan memilih secara sederajat, kecuali terdapat ketentuan lain yang menguranginya. Ini dapat dipahami bahwa hak setiap orang untuk maju dalam pemilihan umum, meskipun dia bekas narapidana, tetaplah sama dengan masyarakat lain pada umumnya. Namun, terdapat beberapa ketentuan yang dibuat untuk membedakankannya.
Baca juga:
Pasal 7 UU Nomor 10 Tahun 2016 mengatur tentang calon kepala daerah tidak pernah menjadi terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap atau mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan merupakan mantan narapidana. Ketentuan tersebut diuji dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 56/PUU-XVII/2019 bahwa ketentuan tersebut memiliki beberapa syarat yaitu: (1) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana penjara lima tahun atau lebih, kecuali tindak pidana yang akibat kealpaan dan tindak pidana politik. (2) mantan terpidana telah melewati jangka lima tahun setelah selesai menjalani masa penjara. (3) kejujuran dan keterbukaan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana. (4) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Putusan tersebut menjadi acuan hukum untuk tetap membolehkan mantan narapidana, termasuk tipikor, untuk mengajukan diri menjadi calon kepala daerah ataupun calon anggota legislatif.
Gerakan Masyarakat Sipil
Rasanya saya sulit membayangkan ketentuan hukum tersebut diubah untuk mencegah mantan narapidana, terutama pidana korupsi, maju dalam pemilihan umum. Namun, belajar dari kisah Abraham Lincoln, gerakan masyarakat sipil mampu melampaui instrumen hukum dan politik sehingga suatu perubahan undang-undang dapat dilakukan.
Sidney Tarrow (1988) mengungkapkan gerakan masyarakat sipil atau lebih umum disebut gerakan sosial mampu mengatasi kebuntuan-kebuntuan teoretis. Kita punya pengalaman yang cukup mengenai gerakan sosial yang dapat mencegah atau mendorong penerapan sebuah kebijakan.
Kita tak boleh lupa bahwa hak politik masyarakat tidak berhenti sebatas hak untuk memilih, melainkan juga berhak memilih calon-calon potensial yang memiliki kompetensi dan reputasi yang baik. Pengetahuan moral mendorong masyarakat untuk memperjuangkan hal tersebut di ruang-ruang publik. Apalagi, atas dasar moral jugalah sebuah instrumen hukum dirumuskan dan diterapkan.
Peran Partai Politik
Partai politik sejatinya memiliki peran penting dalam pusaran persoalan ini. Partai politik berperan melahirkan kader-kader politik. Selain itu, partai politik pulalah yang memiliki akses terhadap hak legislasi.
Persoalannya, sering kali terjadi fragmentasi politik dalam tubuh partai. Hal ini yang membuat partai seringkali tidak terukur dalam memberikan mandat kepada kadernya untuk mencalonkan diri, baik dalam pilkada maupun pileg. Kesangsian terhadap konsistensi partai politik untuk memproduksi demokrasi yang baik muncul akibat sifatnya yang cenderung transaksional. Maka dari itu, gerakan sosial hendaknya ditujukan juga kepada partai politik untuk menagih konsistensinya dalam mencalonkan kader-kader yang memiliki kompetensi dan bereputasi baik. Ini juga untuk memastikan bahwa partai politik memiliki sistem kelembagaan yang terpercaya.
Dalam bukunya berjudul How Democracies Die (2018), Steven Levitsky dan Daniel Zinblatt mengungkapkan harus ada upaya kontrol diri seluruh instrumen politik untuk tidak turut serta merusak tatanan demokrasi. Pada titik ini, seluruh hak politik sebagai hak asasi harus dirawat secara rasional tanpa saling mengorbankan. Moral menjadi benteng terakhir, baik bagi mantan narapidana tipikor, civil society, dan partai politik, dalam memberikan peran bagi demokrasi.
Editor: Prihandini N