seorang biasa yang punya hobi belajar menulis dan sedang iseng membantu riset di Pusat Kajian Otonomi Daerah

Putusan MK: Konfirmasi Busuknya Pengesahan UU Cipta Kerja

Daniel Pradina Oktavian

2 min read

Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 mengenai uji formil UU 11/2020 tentang Cipta Kerja atau dikenal juga sebagai Omnibus Law. Putusan ini bisa dibilang bersejarah dan memberi kelegaan bagi masyarakat secara umum. Dengan putusan ini, MK sekaligus mengonfirmasi adanya kesalahan prosedur dalam proses perumusan UU Cipta Kerja.

Poin–poin dalam putusan tersebut antara lain;

Pertama, UU Cipta Kerja dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Kedua, UU tetap berlaku sampai adanya perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak pembacaan putusan. Ketiga, memerintahkan kepada Pemerintah dan DPR untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sejak pembacaan putusan. Apabila tidak dilakukan, maka UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional permanen. Keempat, bila dalam waktu 2 tahun tersebut tidak dapat menyelesaikan perbaikan, maka semua peraturan perundang-undangan atau materi atau muatan di dalamnya yang telah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali. Terakhir, menyatakan menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas serta tidak dibernarkan menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.

Baca juga: Editorial: Fight Another Day

MK, dalam pertimbangannya, menyatakan adanya fakta hukum bahwa tata cara pembentukan UU Cipta Kerja tidak memenuhi asas kejelasan tujuan dan asas kejelasan rumusan. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 huruf a, hurf e, huruf f, dan huruf g UU Nomor 12 tahun 2011 yang mengharuskan terpenuhinya seluruh asas secara kumulatif. MK menilai, adanya fakta bahwa pembentuk undang-undang tidak memberikan ruang partisipasi kepada masyarakat secara maksimal. Sulitnya masyarakat untuk mengakses membuat tak banyak yang tahu secara pasti materi UU yang beberapa kali mengalami perubahan secara mendadak itu.

Meskipun dinyatakan cacat formil, putusan ini dinilai hanya sebagai jalan tengah. Sebab, adanya perbedaan pendapat (dissenting opinion) diantara hakim-hakim MK. MK pun menambahkan, menghindari adanya ketidakpastian hukum, maka diberikan status inskonstitusional bersyarat yaitu dengan kesempatan perbaikan. Namun, lamanya waktu yang diberikan dan tidak dibenarkannya ada peraturan turunan baru, menurut hemat saya, juga menimbulkan ketidakpastian hukum.

Putusan MK terkesan tidak konsisten. Sebab, dalam jangka waktu maksimal 2 tahun dari pembacaan putusan, Pemerintah masih dapat menggunakan secara sah UU tersebut. Artinya, UU Cipta Kerja masih mengikat, meskipun dinyatakan cacat formil. Padahal di lain sisi, MK juga menyatakan menangguhkan penerbitan peraturan pelaksana yang baru terakit UU Cipta Kerja.

Hal ini akan berdampak kepada kebingungan di level pelaksana seperti Pemerintah Daerah. Praktis hanya di peraturan pelaksanalah Pemerintah Daerah (Pemda) dapat turut berpartisipasi dan memegang kendali pembangunan di daerahnya. Pun jika UU tersebut harus dilaksanakan, ketiadaan peraturan pelaksana membuat substansi UU Cipta Kerja menjadi lumpuh.

Sebelum adanya putusan MK saja, Pemda sebenarnya sudah dilarang menerbitkan peraturan perundangan yang bertentangan dengan UU Cipta Kerja. Seluruhnya harus harmonis. Ini menandakan peran kewenangan Pemda sudah terkebiri. Apalagi dengan tidak dibenarkannya pembuatan peraturan pelaksana baru, Pemda hanya akan gigit jari dengan tetap diberlakukannya UU yang secara tata negara bukan menjadi produk hukumnya.

Selain itu, penerapan asas-asas pembentukan kebijakan tidak dijelaskan secara terperinci dalam proses perbaikan UU Cipta Kerja. Tentu dikawatirkan Pemerintah dan DPR hanya akan mengulangi kesalahan yang sama. MK pun tidak menerangkan lebih lanjut mekanisme pengawasan pelaksanaan putusan. Mengingat aroma politis yang sangat kuat, publik tetap ragu Pemerintah dan DPR akan mengakomodasi aspirasi masyarakat secara utuh.

Dua tahun adalah waktu yang lebih dari cukup bagi perbaikan UU Cipta Kerja. Tapi sekaligus menjadi waktu yang sangat lama bagi ketidakpastian hukum sebagai konsekuensi putusan MK. Beragam spekulasi mucul, terutama Pemerintah akan memaksimalkan waktu yang diberikan sebelum memutuskan perbaikan. Padahal, di level daerah, pelaksanaan UU Cipta Kerja banyak menuai kontroversi dalam pelaksanaannya, misalnya terkait izin investasi dan tenaga kerja.

Dampak yang dihasilkan pun bukan main-main, mulai dari konflik sosial sampai kerusakan lingkungan yang masif. Lagi-lagi, yang harus menanggung kerugian secara nyata adalah masyarakat dan Pemda, bukan Pemerintah. Lalu, apa yang mau diharapkan dari pembangunan model seperti ini?

Meskipun berawal dari kekecewaan Presiden mengenai berlipatnya proses perizinan investasi di daerah, bukan berarti UU Cipta Kerja bisa melangkahi otonomi daerah. Otonomi daerah yang menjadi amanat reformasi menjadi jalan terbaik bagi berdaya gunanya potensi-potensi daerah yang diusahakan oleh Pemda bersama-sama dengan masyarakat.

Pemerintah perlu mengembalikan marwah dari otonomi daerah. Bukan lagi dengan melangkahi secara ugal-ugalan, Pemerintah perlu mengedepankan asas partisipasi masyarakat dalam perbaikan UU Cipta Kerja. Sebab, pembangunan haruslah menggunakan teropong dari masyarakat, bukan Pemerintah semata.

Putusan MK telah memperlihatkan kepada kita semua bahwa UU yang selama ini dibangga-banggakan Pemerintah memang tidak melewati proses-proses yang semestinya. Sejatinya, putusan MK tersebut haruslah juga membatalkan UU Cipta Kerja dan memberlakukan kembali peraturan perundangan yang dicabut dan diubah oleh UU Cipta Kerja.

Namun, putusan MK ini patut dihormati dan ditaati. Sama seperti pernyataan Menko Perkonomian Airlangga Hartanto, pemerintah pun menghormati putusan tersebut. Masyarakat perlu lebih teliti mengawal Pemerintah dan DPR, dalam hal ini pembentuk undang-undang, dalam melaksanakan putusan MK itu. Selain harus dilibatkan dalam proses-proses perbaikannya, masyarakat perlu turut memberi masukan kritis mengenai materi atau ketentuan-ketentuan di dalam UU Cipta Kerja mengingat MK hanya mengabulkan permohonan uji formil.

Daniel Pradina Oktavian
Daniel Pradina Oktavian seorang biasa yang punya hobi belajar menulis dan sedang iseng membantu riset di Pusat Kajian Otonomi Daerah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email