Kadang nulis, kadang Twitteran

Siasat Menghadapi Ancaman Badai Resesi 2023

Bogi Y. Rachman

2 min read

Menjelang pergantian tahun, pemerintah mewanti-wanti masyarakat untuk bersiap menghadapi ancaman badai resesi ekonomi. Permasalahan global seperti pandemi Covid-19 hingga konflik Rusia-Ukraina menjadi pemicunya. Masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah menjadi kelompok paling rentan terkena dampaknya. Andai badai resesi benar terjadi, bagaimana dengan nasib mereka?

Pandemi Covid-19 yang merebak di Indonesia pada awal April 2020 mengajarkan kita banyak hal. Selain ekonomi dunia yang direset, kebijakan gaya hidup sehat, dan lockdown, masyarakat awam mulai mendapat asupan kosakata baru. Perbendaharaan mereka makin kaya dengan istilah semacam resesi, quantitive easing, hingga investasi.

Katastropi yang telah berlangsung dua tahun ini tak bisa dipungkiri bukan hanya soal bagaimana pemerintah mengupayakan kesehatan masyarakat melalui beragam produk dan kebijakan, tetapi juga hal fundamental yang tidak jauh dari ekonomi dalam skala lokal hingga transnasional: uang.

Bencana Ekonomi

Uang adalah hal utama yang muncul di pikiran saat pandemi merebak di samping hal “sakral” semacam sanitasi, masker, dan pola hidup bersih. Uang menyangkut pekerjaan, penghidupan, dan gaji.

Saat pandemi, masyarakat bahkan lembaga negara bertarung dengan virus dan ketidakpastian untuk menyelamatkan uang (ekonomi) atau nyawa (kesehatan) terlebih dahulu. Krisis keuangan membawa dampak skala mega yang kita rasakan sampai sekarang, bahkan puluhan tahun mendatang,

Amerika terus printing money tanpa underlying emas. Tingkat inflasi naik tajam di negara-negara Eropa dan Amerika Latin. Muncul klaim dogma bahwa mata uang kripto seperti Bitcoin dan Etherum bakal menjadi mata uang masa depan, tanpa melibatkan birokrasi perbankan yang hanya memperkaya para bankir.

Uang memang bahasa komunikasi yang mempersatukan milyaran umat. Meski begitu, pemicu kebangkrutan dunia juga tak dipungkiri disebabkan oleh uang.

Pada 2008, terjadi krisis subprime mortgage. Bank-bank tua di Amerika Serikat lumpuh karena crashing housing market. Jutaan orang kehilangan pekerjaan, rumah, dan pensiun. Krisis tersebut menyebar ke Eropa di mana menyebabkan layoff besar-besaran di Yunani.

Pada saat itu, Indonesia relatif tidak terlalu terpengaruh karena konsumsi masyarakat kelas menengah. Mereka menyangga ekonomi nasional agar tidak ambruk dengan jajan di UMKM, pasar tradisional, butik, mall, dan konser. Pada 2020/2021, walaupun ekonomi nasional minus dalam dua kuartal, dampak resesi dalam negeri tidak separah negara maju.

Sebagai negara berkembang, kini kita dihadapkan pada prediksi “kiamat” yang sama pada tahun 2023. Hanya saja penyebabnya bukan karena manajer investasi tergiur return Credit Default Swap (CDS) atau ancaman mutasi virus baru, tapi perang Rusia-Ukraina yang kemudian ikut menyeret Amerika, Cina, dan Arab Saudi.

Baca juga:

Dunia adalah taman bermain orang-orang kaya di Barat, sebagian kecil Asia, dan Timur Tengah. Sepanjang sejarah mainan mereka tak jauh dari petro-dollar (minyak dan uang). Biarpun dibalut dengan pernik peninggalan Perang Dingin, disrupsi rantai pasok yang terjadi di Rusia dan Ukraina adalah soal ekonomi. Tentang siapa yang seharusnya jadi bos di taman bermain, tentu saja setiap bos selalu punya backing yang siap mempertahankan status quo.

Indonesia bisa jadi memang tuan rumah G20. Namun, untuk arena taman bermain ini kita hanyalah penonton. Posisi sebagai “penonton” ini adalah kenikmatan, dengan dalih kebijakan luar negeri politik bebas-aktif ciptaan Orde Lama yang tidak mewajibkan kita memihak Rusia atau Ukraina. Kebijakan ini mungkin terkesan “cari aman”, sementara pasar ekspornya diuntungkan dengan kenaikan harga komoditas selama setahun terakhir untuk memenuhi kebutuhan energi negara lain selama perang dan musim dingin.

Suka atau tidak, dalam konteks ini bahan baku energi fosil adalah juru selamat di tengah gaya masyarakat yang mulai menginginkan energi hijau. Infrastruktur yang dalam masa transisi dan besaran modal yang tidak kecil adalah jembatan yang harus dilalui. Saat ini di Eropa jembatan itu masih terputus.

Posisi politik luar negeri dan lonjakan komoditas adalah posisi tawar menuju 2023 yang kabarnya suram. Privilese sebagai pihak yang tidak terjun langsung ikut saling pukul di medan perang akan menyelamatkan negara ini, sebagaimana dulu kita berhasil bertahan dari krisis 2008. Kita tidak perlu panik, tetapi juga tidak boleh menyangkal. Jika boleh disebut “berkah dalam musibah”, begitulah posisi kita dalam krisis nonpandemi ini.

Narasi Resesi Influencer

Di dalam negeri, para influencer media sosial terkadang memiliki pandangan resesi yang apokaliptik. Entah demi sebatas konten atau narasi yang hiperbola. Hal tersebut teramplifikasi oleh kanal media sosial dan sampailah di meja makan kita. Ada yang tidak menyentuh, tetapi lebih banyak yang melahap mentah-mentah.

Pandemi telah melahirkan banyak “pakar” ekonomi era YouTube dan Instagram. Di tengah sengkarut masalah penegakan hukum yang penuh drama, masyarakat harus berhadapan dengan narasi-narasi resesi dan kiamat 2023 yang belum terjadi.

Sekali lagi, masalah perputaran uang dalam skala internasional tidak ditentukan para influencer. Pangeran Arab dan presiden negara majulah yang bikin aturan main. Jadi, stop membuat narasi kepanikan Eropa masuk ke kecamatan-kecamatan kecil di Jember dan Pekalongan.

Kelas menengah ke bawah selalu menemukan cara terbaik mereka untuk bertahan. Jauh sebelum pejabat negara meminta menanam cabe mandiri di pekarangan. Kelas menengah adalah lokomotif ekonomi. Jadi, kalau tidak bisa meningkatkan taraf ekonomi mereka, janganlah membuat panik.

Bogi Y. Rachman
Bogi Y. Rachman Kadang nulis, kadang Twitteran

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email