Akhir tahun lalu, impor beras sebanyak 500 ribu ton menggegerkan tanah air. Tak cukup dengan itu, pada tahun 2023 ini pemerintah juga menambah impor beras dengan target 2 juta ton. Fakta itu menunjukkan tantangan besar yang sedang kita hadapi sebagai negara dengan potensi agraris yang besar. Impor pangan menunjukkan dengan jelas bahwa kita tidak berdaulat, dan seiring dengan waktu semakin terjelembab pada putaran impor.
Putaran impor pangan selalu ada hampir pada setiap periode pemerintahan, bahkan sudah menjadi rutinitas tahunan. Kita bisa memaklumi bila impor dilakukan atas pangan yang tidak bisa diproduksi di negera tropis seperti Indonesia, tetapi hal itu justru berlaku pada pangan yang secara massal kita tanam. Oleh karena itu, wajar saja bila ada perbandingan makna kedaulatan terhadap pangan antara negara ini dengan wilayah masyarakat hukum adat yang ada di dalamnya. Sebut saja masyarakat hukum adat Baduy di Banten Selatan yang memanen padi huma sekali dalam setahun, kemudian menyimpannya ke dalam lumbung (leuit) untuk disimpan sebagai cadangan pangan bertahun-tahun ke depan untuk seluruh penduduk. Sementara Indonesia sendiri, dari segi luasan, produksi, dan produktivitas dinilai selalu tak cukup memenuhi kebutuhan pangan dalam satu tahun. Pendapat demikian boleh jadi terkait erat dengan perbedaan data antarinstansi, permainan importir/rente, penguasaan pasar pangan dalam negeri oleh korporasi, atau bahkan kepentingan perdagangan bebas dan faktor politik. Apa pun itu, yang jelas jalan impor selalu dijadikan dalih menutupi keringkihan pangan kita.
Menyisihkan Keluarga Petani
Jeratan impor pangan di Indonesia mengacu pada ketergantungan terhadap impor yang mengancam keberlanjutan produksi pangan dalam negeri, serta merusak keberpihakan negara kepada petani kecil, dan tentu saja ketidakpastian harga dari hasil panen yang diperoleh. Impor pangan yang dipermudah oleh UU Cipta Kerja mengubah ketentuan, sehingga tidak lagi mengutamakan pangan hasil produksi petani dalam negeri. Pada konteks ini, keluarga petanilah yang dikorbankan.
Baca juga:
Padahal, pertanian keluarga telah menjadi tulang punggung pertanian Indonesia berpuluh-puluh warsa lamanya. Petani keluarga terbukti berperan penting dalam menjaga ketersediaan pangan. Akan tetapi, jeratan impor pangan kini membuat petani dipaksa bersaing dengan produk pertanian luar negeri yang lebih murah, yang diproduksi dengan skala besar di negara-negara lain lewat teknologi modern dan subsidi yang besar. Hal ini membuat keluarga petani kecil sulit bersaing, memperparah kesenjangan, dan ketidakadilan yang curam.
Selain itu, kegagalan food estate juga melatari jeratan impor pangan di Indonesia. Pada satu sisi, food estate dinilai menjadi solusi meningkatkan produksi pangan dalam negeri, tetapi di sisi lain program ini bekerja untuk menyisihkan pertanian keluarga secara perlahan. Karena itu, food estate yang digagas pemerintah telah menuai kritik keras. Alih-alih jadi solusi untuk mengurangi impor, program ini justru menjadi biang keladi ketergantungan pangan. Kegagalan food estate dalam mencapai target produksi menunjukkan lemahnya perencanaan dan pengelolaan sedari awal. Perencanaan yang kurang matang, pengelolaan yang tidak efektif, dan kurangnya keterlibatan petani lokal menjadi sebab latar kegagalan food estate yang coba diterapkan berkali-kali.
Dampak yang sangat terasa dari ketergantungan terhadap impor pangan ialah meningkatkan kerentanan negara terhadap fluktuasi harga komoditas dunia. Ketidakstabilan politik di negara pemasok, dogma perdagangan bebas, perang dagang, jeratan korporasi pangan, dan krisis iklim bisa membuat negara ini kehilangan kontrol atas ketersediaan dan harga pangan di dalam negeri. Pada situasi ini, tidak lagi kedaulatan pangan yang digagalkan, melainkan sudah pada tahap ancaman terhadap kedaulatan nasional.
Menghentikan Putaran
Impor pangan bak roda yang berputar. Dimulai dari keyakinan terhadap kecukupan produksi pangan dalam negeri, ada kesalahan penentuan target produksi pangan, perbedaan data, penguasaan tanah petani semakin sempit, pengurangan bahkan peniadaan subsidi kepada petani, isu krisis pangan dan krisis iklim, kegagalan kampanye diversifikasi pangan, ancaman kelaparan, bantuan pangan dari negara lain, penawaran kerjasama antara pemerintah atau dengan korporasi, kemudian keputusan impor di tengah-tengah panen dan tahun-tahun politik. Putaran ini terkadang tidak selalu berjalan secara gradual, melainkan bisa saja acak. Namun, yang pasti hal ini menunjukkan jeratan telah merugikan keluarga petani dalam negeri.
Sebagai upaya menghentikan jeratan impor pangan dan menggapai kedaulatan pangan, diperlukan tindakan nyata dan berkelanjutan. Pertama, kedaulatan pangan dan pertanian keluarga harus menjadi prioritas dalam platform partai politik. Partai politik harus mengakui pentingnya mendukung pertanian keluarga dan menciptakan kebijakan yang berpihak pada petani lokal.
Kedua, perubahan kebijakan yang mendukung pertanian keluarga dan pertanian berkelanjutan harus diterapkan. Pemerintah memastikan tanah untuk petani, permodalan yang mudah, teknologi pertanian tepat guna, pasar yang adil, dan insentif lainnya seperti bantuan teknis untuk membantu keluarga petani meningkatkan produktivitas dan tingkat perekonomian. Selain itu, infrastruktur pertanian yang memadai juga sangat penting dalam mendukung petani. Pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur pertanian tersebut antara lain irigasi, jalan usaha tani, jaringan jalan pedesaan, dan pasar.
Ketiga, perlu ditingkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam penganekaragaman pangan dan mendukung produk pangan lokal. Pemerintah perlu mendorong petani dan produsen lokal untuk mengembangkan produk pangan yang beragam, berkualitas, dan berkelanjutan. Kampanye untuk menghargai dan mengonsumsi pangan lokal harus ditingkatkan sehingga permintaan akan produk impor dapat ditekan.
Keempat, evaluasi menyeluruh terhadap program food estate, bahkan jika perlu patut dihentikan. Program-program serupa semestinya didesain agar dapat mendukung pertanian keluarga dan mengurangi ketergantungan impor, bukan justru menimbulkan masalah baru.
Baca juga:
Selanjutnya yang kelima, menerapkan proteksionisme terkendali. Mengimplementasikan kebijakan proteksionisme terkendali dapat menjadi solusi untuk menghentikan jeratan putaran impor pangan. Dalam hal ini, pemerintah dapat memberlakukan kebijakan tarif dan hambatan non-tarif yang bertujuan untuk melindungi petani lokal dan mendukung produksi pangan dalam negeri. Kebijakan jenis ini akan ditentang oleh negeri industri dan isntansi bermazhab pasar bebas. Oleh karena itu, program dijalankan dengan startegi dan tatktik yang terukur, dilakukan dengan bijaksana, mempertimbangkan aspek keberlanjutan, keadilan, dan kepentingan produsen dan konsumen.
Keenam, penguatan kerja sama internasional. Indonesia dapat memperkuat kerja sama internasional dalam sektor pertanian dan pangan untuk menghentikan jeratan putaran impor pangan. Kerja sama ini dapat meliputi pertukaran pengalaman dari petani ke petani, tukar teknologi tepat guna, pertukaran pengetahuan, dan bantuan pengembangan kapasitas dalam bidang pertanian. Melalui jalan kerjasama dengan negara-negara mitra, Indonesia dapat mengembangkan kemampuan pertanian dalam negeri dan meningkatkan keberlanjutan produksi pangan. Secara geo-politik, yang paling memungkinkan ialah melanjutkan kerjasama selatan-selatan yakni Afrika, Asia, dan Amerika Latin.
Meskipun demikian, mengatasi jeratan putaran impor pangan yang sudah berlangsung hampir setengah abad tentu tak semudah membalikan telapak tangan. Hal yang harus terpatri yaitu komitmen jangka panjang dan sinergi antara pemerintah, petani, masyarakat yang bekerja di perdesaan, dan rakyat secara umum. Kita perlu belajar dari pengalaman gagal masa lalu dan mengambil langkah-langkah yang berani dan inovatif ke depan.
Langkah yang utama adalah menetapkan kedaulatan pangan sebagai garis besar pembangunan pertanian Indonesia dan harus menjadikan hal tersebut sebagai prioritas nasional, bukan lagi bersemayam di bawah bayangan ketahanan pangan. Dengan begitu, kita dapat memastikan ketersediaan pangan yang mencukupi, keberlanjutan produksi lokal, dan kesejahteraan petani, serta kedaulatan NKRI secara bersamaan.
Editor: Prihandini N
One Reply to “Melepaskan Jerat Impor Pangan”