IG: @kang.jojo

Dari Tempe Sampai Dangdut Koplo: Berpihak Pada Pangan Lokal Berbasis Nabati

Joshua Pradipta

3 min read

Suatu hari, ketika saya masih di bangku sekolah dasar, seorang guru pernah memaki saya karena tak mampu mengerjakan soal matematika yang ia berikan di papan tulis. Bola matanya melotot tajam ke arah saya, lalu berteriak, “Bodoh banget sih kamu! Dasar anak tempe!”

Momen itu sangat sulit saya lupakan. Teriakan keras suaranya masih terngiang-ngiang hingga saat ini, menggiring saya pada rasa penasaran yang sepertinya mengandung kejanggalan. 

Kenapa ia mencaci-maki saya dengan istilah “anak tempe”? Mengapa tempe dipandang begitu rendah? Mengapa tempe dipandang sebagai olok-olokan? Lebih buruk lagi, tempe digunakan untuk menghina seseorang yang dinilai miskin, hanya karena tak mampu membeli daging sapi atau ayam.

Memori kolektif tentang kemiskinan yang tersemat dalam tempe seolah-olah menjadi keyakinan sistemik dan membentuk suatu konstruksi sosial. Mirisnya, pandangan demikian juga kerap kali diamini oleh subyek terhakimi itu sendiri. Mengapa kita begitu berjarak dari tempe sebagai pangan lokal kita sendiri?

Baca juga:

Setelah mencari tahu mengenai keragaman pangan nabati yang ada di Indonesia, akhirnya saya memutuskan untuk mengadopsi pola makan nabati (tepatnya, vegan) sekitar 8 tahun yang lalu. Kesehatan dan spiritualitas merupakan dua motivasi umum yang melandasi seseorang mengadopsi pola makan nabati (plant-based), sebuah gaya hidup yang menitikberatkan pada konsumsi pangan yang berasal dari tumbuhan. Masyarakat meyakini pola makan ini dapat memberikan manfaat kesehatan dan pengembangan kesadaran spiritualitas.

Gaya Hidup Vegan dan Ekslusivitas

Sayangnya, di balik fenomena ini, label “eksklusif” sering kali menjadi stereotipe yang terpatri dalam benak masyarakat. Mungkin saja, stereotipe ini muncul karena banyaknya pelaku usaha kuliner (vegan atau vegetarian) yang dengan bangga “menggoreng” harga makanan ini. Melalui embel-embel “healthy lifestyle”, penampilan “estetik”, dan gaya “westernisasi”, bineritas sekat-sekat status ekonomi telah dibangun oleh mereka.

Sebagai seorang vegan yang berkecimpung langsung dalam lingkungan ini, beberapa kali saya menjumpai teman-teman sesama vegan yang enggan untuk makan satu meja dengan orang lain yang masih memakan daging. Perasaan superior nampaknya mengakar kuat dalam isi pemikiran mereka, seakan-akan pola makan nabati (vegan atau vegetarian) menjadi tren yang begitu “seksi” di kalangan anak muda.

Apakah benar gaya hidup plant-based, vegan, atau vegetarian hanya milik kaum elitis? Padahal, pola makan ini bukanlah sesuatu yang mewah, ia sangat mudah ditemui dalam ruang keseharian rakyat. Misalnya saja di warung Tegal (warteg) dan warung nasi Sunda yang menyajikan berbagai menu makanan berbahan dasar nabati, seperti tumis sayuran, tempe orek, dan lain sebagainya, dengan harga yang juga merakyat. Banyak sekali kuliner khas Indonesia dengan bahan-bahan lokal yang murah dan memungkinkan untuk dimodifikasi ke dalam bentuk versi nabati. Bahkan, tak sedikit juga kuliner lokal yang sudah dari sananya tidak mengggunakan unsur hewani sama sekali.

Vegan dan Musik Koplo

Salah satu bukti kecilnya adalah lagu ciptaan Masmus berjudul “Vegan Vegetarian”, yang dinyanyikan ulang oleh Nella Kharisma dengan irama dangdut koplo, sebuah realitas yang dapat dimaknai sebagai upaya mengenalkan pola makan nabati kepada masyarakat luas. Ini bisa diartikan sebagai upaya untuk mendobrak stigma elite dan eksklusif yang konon katanya hanya milik golongan papan atas. 

Kangkung, selada, sawi, brokoli, dan bayam

Tomat, timun, terong, la-labu siam. Apa yang aku tanam, itu yang aku makan. Hidup yang menyehatkan, vegan vegetarian

Jagung, ketela, singkong, ubian dan kentang. Tanah, panjang, polong, berbagai macam kacang. Apa yang aku tanam, itu yang aku makan. Hidup yang menyehatkan, vegan vegetarian

Melalui lirik yang ia nyanyikan dengan tabuhan gendang khas Pantura, Nella Kharisma tampak ingin mengenalkan berbagai pangan nabati yang murah meriah. Alih-alih menyebutkan sayuran mewah seperti paprika yang umumnya dijadikan topping pizza, ia justru menyebutkan jenis-jenis sayuran yang umum ditemukan dalam ruang keseharian rakyat dengan pesan edukatif “menyehatkan”.

 Baca juga:

Homogenisasi sumber karbohidrat masyarakat Indonesia yang masih bergantung erat pada beras direspons dalam baris lirik berikutnya, yang menyebutkan berbagai alternatif karbohidrat pengganti nasi.

Potasium, magnesium, vitamin A-B-C-D-E

Kudapat dari sayuran, buah, tahu, dan tempe

Lempuyang, temulawak, kunyit, asam, dan jahe

Berkebun toga menyenangkan, we-e-e-e-e-e

Sebagai bagian paling menarik, lirik ini memberi pesan edukasi tentang kelengkapan nutrisi yang diperoleh dari keragaman pangan nabati. Pertimbangan keseimbangan gizi pun tersusun dengan piawai dalam lirik lagu ini, mulai dari sayuran, buah-buahan, tahu-tempe, dan tanaman apotek hidup seperti lempuyang.

Secara tidak langsung, lagu ini berupaya menghancurkan tembok-tembok yang memberi sekat stigmatisasi kelas ekonomi terhadap pola makan nabati dalam masyarakat. Lagu ini pun memaknai ulang cara pandang gaya hidup ini bagi siapa pun, melebur dengan semua golongan ekonomi, menikmati warna-warni cita rasa tanah air tercinta dalam kebhinekaan.

Jika kita kembali melihat tempe dan semua stigma negatifnya, ada hal mengejutkan yang sangat memperlihatkan sebuah oposisi. Ternyata, tempe justru diakui dunia sebagai “superfood”. Bukankah itu sebuah kebanggaan? Kekayaan nutrisi yang terkandung dalam tempe mampu berperan sebagai sumber protein nabati, alternatif pengganti daging yang harganya lebih mahal. Bukankah kenyataan ini dapat dimaknai sebagai sebuah perayaan bagi masyarakat menengah ke bawah? Bagi saya, berpihak pada pangan lokal berbasis nabati merupakan salah satu bentuk perayaan keadilan, di mana setiap manusia berhak memperoleh asupan gizi yang baik.

Lagi-lagi, apa yang sebenarnya menciptakan rasa suatu masakan menjadi lezat? Apa yang membuat daging yang kamu masak terasa nikmat? Bumbu dan rempahnya atau daging itu sendiri? Bayangkan, jika kamu memasak daging tanpa bumbu dan rempah, apakah akan selezat itu? Lalu, bagaimana dengan tumis kangkung tanpa daging yang rasanya tetap lezat?

Jadi, bukankah rahasia di balik cita rasa masakan lezat adalah bumbu dan rempahnya? Bukankah itu berarti ada banyak sekali kuliner khas Indonesia yang dapat dimodifikasi menjadi versi nabati? Lebih lagi, peringkat ke-16 dunia telah diberikan kepada Indonesia sebagai negara yang ramah vegetarian. Keragaman rempah-rempah dari Sabang sampai Merauke dan kehadiran santan dalam pola-pola kuliner khas Nusantara merupakan sambutan hangat sebagai alternatif pengganti susu sapi yang lebih ekonomis. 

 

Editor: Prihandini N

Joshua Pradipta
Joshua Pradipta IG: @kang.jojo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email