Seiring dengan krisis iklim, krisis pangan juga menjadi ancaman serius. PBB memperkirakan, akan ada defisit 70 juta ton pangan dengan perkiraan jumlah penduduk dunia sebanyak 8 miliar pada tahun 2025.
Tulisan terkait:
Indonesia pun tak luput dari ancaman krisis ini. Makin sempitnya lahan pertanian dan kencangnya laju deforestasi, membuat Indonesia juga menjadi salah satu negara penyumbang penurunan kualitas lingkungan hidup. Padahal, selama ini Indonesia adalah salah satu negara tropis dan penghasil pangan terbesar. Stabilitas pangan nasional pun terancam.
Ironisnya, sebagai negara penghasil pangan, Indonesia juga menyandang status negara pengimpor pangan terbesar. Indonesia tercatat menjadi negara papan atas pengimpor beras dan jumlahnya terus meningkat. Kenaikan kuantitas impor juga terjadi di komoditas lain seperti gula, kedelai, dan garam. Padahal, Indonesia dengan program Swasembada, pernah mampu swasembada beras di era Presiden Soeharto. Meskipun kini kebutuhan pangan mampu dipenuhi dengan alternatif impor, tetap saja masalah pangan di Indonesia belum sepenuhnya teratasi. Untuk menjamin adanya ketahanan pangan, perlu mendorong kedaulatan pangan dengan usaha dan produksi sendiri.
Sejak era Orde Lama upaya meningkatkan ketahanan pangan bukanlah hal yang baru. Ancaman krisis pangan juga bukan yang pertama bagi Indonesia. Misalnya saja kebijakan Soeharto dengan membuat lumbung pangan di Kalimantan Tengah di area lahan gambut. Begitu juga kebijakan era SBY yang membuka food estate di Merauke, Papua atau dikenal dengan program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Kedua program itu gagal. Sebab, tak ada perencanaan yang jelas dan tak memperhatikan aspek-aspek penting yang mendukung, seperti faktor tanah, faktor sosial budaya, dan faktor keekonomian.
Kebijakan serupa tapi tak sama coba diulang di era pemerintahan Presiden Jokowi dengan konsep food estate juga. Kini, program itu dilaksanakan persis di tempat di mana kedua program terdahulu itu dilakukan, yaitu di Kalimantan Tengah dan Papua bagian Selatan. Tentu program ini menuai beragam kritik. Bukan hanya dikawatirkan mengulang kegagalan serupa, program Jokowi ini juga ditakutkan justru merusak lingkungan dengan rencana pembukaan lahan besar-besaran.
Selain ancaman serius terhadap kelestarian lingkungan hidup, proyeksi manfaat yang didapatkan juga tak jelas. Misalnya saja, berdasarkan laporan Tempo, program MIFEE yang dilaksanakan di wilayah adat etnis Malind justru merusak banyak aspek tradisional dan sekaligus menjadi bencana sosial bagi mereka. Tak dilaporkan adanya keuntungan tertentu bagi etnis Malind.
Tentu pengulangan kegagalan itu tak diinginkan untuk terjadi. Alasan rasional mengenai kekawatiran kegagalan program, ditambah berbagai riset dari lembaga lingkungan hidup seperti CIFOR, Greenpeace, Walhi, Econusa, dan lain-lain membuat kekawatiran sangat beralasan. Apalagi keterlibatan beberapa pejabat tinggi dan banyaknya korporasi yang mendanai membuat ketidakpercayaan publik makin menjadi. Justru sikap Pemerintah yang terus bergeming malah membuat pertanyaan, untuk siapa program food estate ini?
Desentralisasi Pangan
Terlepas dari itu, program ketahanan pangan yang terpusat seperti food estate memang haruslah dikaji. Apalagi, persoalannya bukan hanya ketersediaan, melainkan tata kelola. Ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam mengatasi persoalan pangan. Pertama, akses yang merata dan terjangkau untuk seluruh lapisan masyarakat. Kedua, ketersediaan pangan yang cukup dalam kuantitas, cukup dalam kualitas, dan cukup dalam kurun waktu tertentu. Ketiga, kontrol pemerintah dan masyarakat haruslah seimbang. Maxwell menyebutkan ada empat hal yang harus dipenuhi dalam ketahanan pangan, yaitu kecukupan dalam kalori, pemerataan hak terhadap akses, adanya keseimbangan permintaan dan penawaran, dan terpenuhinya pangan dalam kurun waktu tertentu.
Tentu ini bukanlah perkara mudah jika dikerjakan secara terpusat. Pemerintah pusat perlu mengukur berbagai kemampuan sebelum melanjutkan megaproyek yang penuh dengan kritik tersebut. Ini seharusnya menjadi kerja-kerja bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan desentralisasi pangan.
Kita tahu, tiap daerah memiliki keunggulan komoditas pangannya masing-masing. Tiap daerah memiliki kecocokan pangannya masing-masing. Misalnya saja Papua dan Maluku dengan makanan pokok berupa sagu. Selain keunggulan komoditas, tiap-tiap daerah memiliki nilai historis dan sosiologis yang kuat dengan pangan yang dihasilkan. Nilai ini tak boleh diabaikan dalam upaya ketahanan pangan dengan memaksakan jenis pangan tertentu untuk diproduksi dan dikonsumsi.
Baca juga Kebudayaan Industrial dan Padamnya Kegairahan Petani
Desentralisasi pangan merupakan upaya kolaboratif dengan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan. Pemerintah pusat tentu memiliki kepentingan strategis yang dapat didelegasikan kepada daerah untuk dipenuhi. Berdasarkan kewenangannya, pemerintah daerah akan melakukan intensifikasi pertanian dengan memprioritaskan hasil pangan pokok, hasil pangan unggulan, dan hasil pangan non-unggulan.
Hal ini akan menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam upaya memenuhi kebutuhan pangannya sendiri sekaligus mendapat manfaat keekonomian yang besar. Misalnya saja adanya program Desa Tangguh Pangan yang membuat masyarakat desa secara terencana dan terukur menyiapkan lahan pertanian demi memenuhi kebutuhan desanya, sekaligus menghasilkan keuntungan ekonomi yang mampu menyejahterakan warga desa.
Cara ini dinilai lebih bermanfaat daripada membuat wilayah pangan terpusat seperti food estate yang justru merusak lingkungan. Masyarakat memiliki tabungan pangan yang dapat dimanfaatkan ketika krisis pangan terjadi. Pangan menjadi sesuatu yang tersedia, mudah diakses, terjangkau, dan tahan terhadap hantaman krisis. Ini mengurangi beban negara yang belum tentu dapat memenuhi kebutuhan pangan warganya ketika krisis pangan datang. Namun, upaya ini memerlukan sinergitas yang besar. Pemerintah tak hanya mengaturnya di satu atau dua instansi, melainkan menjadikan seluruh perangkat Pemerintah mendukung desentralisasi pangan. Harapannya, tak akan ada kebijakan ataupun program yang justru menghambat atau merusak upaya-upaya yang sudah dibangun bersama.
Dengan sinergitas tata kelola pangan ini, maka tujuan ketahanan pangan menurut UU Nomor 18 Tahun 2012 yang menyebutkan ketahanan pangan menjamin tersedianya pangan yang cukup dalam gizi, mutu, keamanan, keragaman, kemerataan, dan keterjangkauan mampu terwujud. Kita pun tak perlu susah untuk memenuhi standar FAO yang mensyaratkan ketersediaan, akses, pemanfaatan, dan stabilitas pangan dalam mewujudkan Indonesia tahan pangan.
Baca juga Tertelan di Antara Pasar: Lansia dan Pengetahuan Lokal