Lagi belajar bahasa dan sastra

Gerakan Nasi Goreng: Ajakan Tobat Ekologis

Muhammad Fuad

2 min read

Saya menyukai nasi goreng. Kegembiraannya tidak terdefinisikan sejak berkerumun, mengantre, dan menikmati setiap detail nasi yang dimasak oleh si juru masak. Tapi, sore itu berbeda, seorang penjual nasi goreng di samping kontrakan mengeluhkan harga-harga beras yang melambung. Bapak itu bercerita kalau kini  5 kg beras sudah menyentuh harga Rp68.000. Jelas, harga yang menyulitkan bagi penjual dan saya yang menyukai nasi goreng.

Dalam seminggu ke belakang, santer terdengar lonjakan harga bahan-bahan pokok, utamanya adalah beras. Per tanggal 20 Februari 2024 pun, beras terpantau telah menembus harga Rp16.400 per kg-nya. Sayangnya, kita tengah dihadapkan juga dengan situasi krisis iklim yang mengancam, politik kebijakan yang sembrono, serta diversifikasi pangan yang menganut falsafah “belum makan kalau belum makan nasi”.

Ironisnya, sampah makanan menjadi persoalan yang juga menghantui kita, terlebih sampah makanan yang berasal dari sektor rumah tangga. Pada tahun 2022, Kompas melansir sebuah analisis data yang menyebutkan Indonesia mengalami kehilangan ekonomi akibat sampah pangan sebesar Rp330,71 triliun per tahun. Kini di lingkungan terdekat pun, kita dapat menyaksikan piring-piring nasi yang tidak tertandas habis, katering-katering yang menolak untuk dimakan, atau kotak-kotak nasi yang tergeletak dibiarkan. Di tempat saya bekerja pun, tidak jarang saya harus membawa pulang, menyelamatkan jatah makanan yang tidak termakan oleh si empunya. Kondisi-kondisi seperti inilah yang sebenarnya membuat makan gratis menjadi dua kata lucu, getir, dan teramat pedih bagi saya.

Baca juga:

Makan gratis sebagai program kampanye telah mengalami resistansi yang cukup beralasan. Tapi, dalam bayangan saya, bukankah program ini juga dapat menimbulkan kerusakan lingkungan yang tidak kalah pedih? Jika makanan itu dimakan habis, tentu syukur tiada terkira. Tapi, jika makanan itu hanya berakhir di pelimbahan, bukankah ini hanya akan menambah daftar panjang sumbangan emisi karbon gas rumah kaca yang kita hasilkan selama 20 tahun terakhir dari perilaku membuang-buang makanan?

Sewaktu berkuliah di Surabaya, saya mengikuti betul teman-teman saya yang bergerak dalam organisasi pemuda dalam mengatasi sampah makanan. Kita berbagi keresahan yang sama dan mengentaskannya dengan cara masing-masing. Bahkan, dalam sebuah dikusi, pernah disarankan agar dilakukan gerakan sosial untuk mengurangi takaran sendok nasi. Sayangnya, wacana gerakan ini tenggelam dalam ingar-bingar Surabaya. Untuk itulah saya mengapresiasi betul gerakan-gerakan yang dilakukan, misalnya oleh Garda Pangan, Food Bank, dan beberapa gerakan lainnya.

Dulu, semasa kecil, jamak kita diselamatkan dengan ungkapan, “makannya dihabiskan, ya, nanti nasinya nangis” oleh orang tua kita. Mitos ini pun—setidaknya bagi saya—berhasil menjaga kita dari sikap kesia-siaan. Apa pun makanannya, tugas kita menghabiskan.

Perihal makanan yang masih layak dimakan, ada beragam cara untuk menyelamatkannya. Salah satunya adalah dengan cara menggoreng. Kita semua tentu mengenal nasi goreng, rasa-rasanya pun tidak ada orang di Indonesia yang tidak mengenal menu yang satu ini. Ketika di luar negeri, makanan ini pun menjadi alat diplomasi budaya kita. Lantas, bagaimana jika makanan ini juga menjadi ajakan serta gerakan sederhana untuk perubahan kita? Izinkan saya memberi nama: gerakan nasi goreng.

Memberdayakan Sisa Makanan

Inti masakan nasi goreng adalah makanan sisa: lauk-pauk yang tidak termakan, nasi yang dingin nan keras, dan bumbu-bumbu masakan yang tidak habis. Semua itu kemudian dimasak dalam wajan penggorengan dengan ditambah varian bumbu sesuai selera kita. Jelas, masakan ini mengadopsi teknik memasak orang-orang Tiongkok. Sayangnya, tidak banyak juru masak yang memahami filosofi dasar ini. Akibatnya, nasi goreng ini kadang berakhir pula di pelimbahan.

Kunci utama dalam gerakan ini adalah memanfaatkan kembali sisa daya makanan-makanan yang ada, terutama nasi yang tidak termakan. Kalau nasi itu baru tanak, jangan langgar prinsip etiknya dengan menaruhnya di wajan penggorengan, sebab akhirnya masakan ini akan kehilangan keutamaan rasanya. Gerakan nasi goreng ini tidak selalu mengandalkan nasi sebagai objek sisa makanannya, sesuai anjuran ibu saya, apa saja yang tersisa di dapur. Tujuannya satu, menghilangkan kemubaziran makanan. Jika berlebih, lihat tetangga sekitar, bagikan! Kebahagiaan akan menular. Setidaknya ini adalah bagian dari tirakat kita untuk Indonesia mengatasi krisis pangan.

Baca juga:

Masih terekam jelas pula petuah guru saya yang membacakan surah Al-Isra ayat 26-27. Sembari menutup mushafnya, ia menerangkan bahwa kadang orang-orang hanya berfokus pada kalimat “mubazir temannya setan”, tetapi melupakan hak-hak yang semestinya juga diberikan kepada lingkungan dekat kita. Dan masih terekam jelas pula ketika Cak Imin, dalam debat kedua cawapres, dengan lantang menggaungkan ajakan tobat ekologis yang dikutipnya dari Ensiklik Paus Fransiskus . Bagi saya, gerakan nasi goreng adalah ajakan tobat ekologis dalam menghormati makanan dan melindungi kerabat maupun lingkungan terdekat kita.

Sepulangnya dari obrolan dengan penjual nasi goreng, saya bilang kepada bapaknya, “Pak, barangkali gerakan nasi goreng Bapak, suatu saat bisa jadi sebab turunnya harga-harga sembako.” Saya, yang membawa sisa-sisa makanan dari tempat saya bekerja, menentengnya dengan perasaan menggebu-gebu, melakukan perubahan dengan menggoreng. Penjual nasi goreng itu juga menitipkan pesan, “Gorenglah apa yang masih layak digoreng, dan berhentilah menggoreng jika tidak pantas untuk digoreng.”

 

Editor: Prihandini N

Muhammad Fuad
Muhammad Fuad Lagi belajar bahasa dan sastra

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email