Bagian Bangsa Indonesia

Kembali ke Ladang: Jalan Panjang Menuju Kedaulatan Pangan

Angga Hermanda

3 min read

Lebih dari sembilan dasawarsa lalu, para pemuda Indonesia menempatkan tanah, yang merupakan kekayaan alam, dan tumpah darah, yang berarti seluruh rakyat Indonesia, dalam satu kesatuan yang tak terpisahkan pada momen Sumpah Pemuda. Hal ini juga tercermin dalam penggalan stanza kedua lagu kebangsaan Indonesia Raya, “Suburlah tanahnya, suburlah jiwanya, bangsanya, rakyatnya, semuanya.” Itu menunjukkan bagaimana hubungan tanah dan rakyat Indonesia bisa dikatakan sebagai landasan utama bangsa Indonesia merdeka.

Baca juga:

Pemuda Bertani

Tanah sebagai alat produksi utama menjadi acuan kemerdekaan dari penjajahan, terutama yang diperuntukkan bagi penyelenggaraan pangan rakyat. Presiden Joko Widodo dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024 telah mengutamakan arah kebijakan pemerintah untuk peningkatan ketersediaan pangan. Presiden menyoroti masih banyak tanah-tanah yang tidak produktif di Indonesia, lalu memerintahkan secara khusus tanah-tanah yang ada di republik ini ditanami tanaman pangan. Padahal, tanah-tanah produktif masih dikuasai oleh segelintir pihak dan belum bisa diakses oleh rakyat, terutama para pemuda.

Imbauan Presiden untuk menanami tanah terlantar cukup masuk akal ketika bayang-bayang krisis pangan terus mengintai. Presiden menyerukan peran penting semua pihak dalam mengatasi krisis pangan di tingkat nasional maupun internasional, terutama peran para pemuda. Pasalnya, berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS tahun 2019, jumlah pemuda Indonesia diperkirakan sebanyak 64,19 juta jiwa. Angka ini hampir setara dengan seperempat dari total penduduk Indonesia jika dibandingkan dengan data Kementerian Dalam Negeri RI pada semester I tahun 2020 sebanyak 268,5 juta jiwa.

Namun, potensi yang besar itu juga dihadapkan pada tantangan besar: regenerasi petani. Para pemuda lebih banyak terdistribusi ke sektor lain di luar pertanian. Dalam konteks Indonesia, dunia pertanian saat ini didominasi oleh kelompok usia yang tak lagi muda. Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Survei Pertanian antar Sensus 2018 mendapati jumlah kepala rumah tangga petani yang berumur dibawah 35 tahun sebesar 2,91 juta atau hanya 10 persen dibandingkan kelompok umur lainnya.

Krisis regenerasi petani ini disebabkan oleh beberapa faktor. Mulai dari tidak menjanjikannya pekerjaan sebagai petani dibandingkan sektor lainnya, tidak ada peluang mengakses tanah sebagai faktor produksi yang utama, sampai dengan afirmasi yang minim kepada para petani muda untuk mengartikulasikan kepentingan. Kondisi demikian semakin mengonfirmasi validitas data bahwa sebanyak 71 persen petani di Indonesia berusia 45 tahun ke atas.

Kementerian Pertanian menggulirkan program 2.000 Duta Petani Milenial (DPM) dan Duta Petani Andalan (DPA) untuk mengatasi masalah ini. DPM dan DPA ditujukan untuk menggenjot regenerasi petani. Keberadaan DPM dan DPA diharapkan akan memenuhi target Menteri Pertanian untuk mencapai tiga kali lipat volume ekspor komoditas pertanian.

Kemudian, ada juga program Youth Enterpreneurship and Employment Support Services (YESS) yang merupakan program kerjasama antara Kementerian Pertanian melalui Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian (BPPSDMP) dengan International Fund for Agricultural Development (IFAD). Program YESS merupakan upaya untuk menumbuhkembangkan wirausaha muda dan tenaga kerja yang andal di sektor pertanian. Sasaran program YESS adalah pemuda berusia 17-39 tahun yang berdomisili tetap atau penduduk di 15 kabupaten di Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan.

Beragam upaya itu boleh diapresiasi. Namun, kesemuanya belum mengacu dengan apa yang dimaksud “tanah” dalam konteks Sumpah Pemuda. Program DPM, DPA, dan YESS hanya berkutat pada tahap budi daya pertanian dan pascapanen sehingga luput menyasar akar masalahnya, yakni hak atas tanah bagi petani muda.

Baca juga:

Peta Jalan

Jalan mengisi kemerdekaan bagi pemuda, terutama yang berkaitan dengan tanah dan pangan, memang masih terjal dan berliku. Tantangan pemuda untuk meluruskan agenda bangsa dan negara melalui kedaulatan pangan kian bergeser menjadi sekadar ketahanan pangan, yang hanya memastikan pangan tersedia tanpa menjamin kesejahteraan petani sebagai produsen pangan.

Kebijakan sektor agraria yang sangat kapitalistik adalah mula dari rentetan konflik agraria yang seakan tak berkesudahan. Keberadaan kebijakan ini merampas tanah dari kepemilikan para petani penggarapnya. Secara tidak langsung, situasi ini telah menyingkirkan petani muda dari tanah pertanian di perdesaan. Pada saat yang sama, sistem pertanian kita masih terjebak dalam skema revolusi hijau yang mengisap petani dan merusak alam. Agroekologi yang merupakan sistem pertanian berbasiskan budaya lokal dan selaras dengan alam belum menjadi gerakan yang kuat.

Permasalahan serupa juga menyasar kelembagaan ekonomi petani. Sendi-sendi perekonomian belum berdasar pada jati diri bangsa, yakni koperasi. Alhasil, ekonomi petani yang belum dikelola secara kolektif ini kalah bertarung dengan ekonomi korporasi yang diberi karpet merah—padat modal dan sumber daya.

Setidaknya terdapat enam langkah peta jalan yang patut dipertimbangkan penyelenggara negara untuk mengoptimasi peran pemuda dalam mengatasi krisis regenerasi petani sekaligus krisis pangan. Langkah pertama, pemerintah memastikan setiap petani muda mendapat jaminan atas tanah pertanian melalui Reforma Agraria, yakni dengan meredistribsuikan tanah kepada pemuda yang menggarap. Langkah kedua berkaitan dengan budi daya pertanian, yakni petani muda harus menerapkan pertanian agroekologis yang berbasis alam dan budaya lokal, serta tidak membebani biaya usaha tani dan tanpa diharuskan menggunakan bahan kimia produksi korporasi.

Ketiga, pemerintah mesti mengakui dan memenuhi hak asasi petani dengan menjalankan penerapan menyeluruh Undang-Undang Nomor 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Keempat, pemerintah juga mesti memfasilitasi petani muda untuk membangun wadah ekonomi kolektif bercorak kekeluargaan dan mandiri yang, menurut konstitusi, berbentuk koperasi. Kelima, harus ada konsep besar pembangunan pertanian yang digerakkan dengan orientasi kedaulatan pangan, bukan ketahanan pangan. Keenam, pemerintah wajib menjamin harga hasil panen yang layak bagi petani dan tetap terjangkau bagi konsumen, bukan menuruti “pasar bebas” yang hanya menguntungkan pemain besar dalam kerangka ekonomi neoliberal.

 

Editor: Emma Amelia

Angga Hermanda
Angga Hermanda Bagian Bangsa Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email