Bagian Bangsa Indonesia

Cadangan Pangan Nasional dan Pengentasan Stunting

Angga Hermanda

2 min read

Sistem pangan dunia saat ini menjadikan pangan sebagai komoditas perdagangan internasional. Hal ini menyebabkan budidaya pertanian didominasi praktik monokultur yang sebagian besar dikuasai korporasi. Korporasi pertanian kemudian menguasai tanah dalam skala luas sebagai alat produksi utama menghasilkan pangan, merajai industri olahan, membangun rantai distribusi yang tidak adil, dan menggeser pola konsumsi rakyat banyak yang sebelumnya beragam dan berimbang menjadi lebih ke segmentasi pasar. Sistem pangan yang seperti itu menimbulkan berbagai masalah seperti konflik agraria, kelaparan, stunting atau tengkes, kerusakan alam, dan tentu saja kemiskinan.

Kasus gizi buruk menjadi momok. Angka stunting masih relatif tinggi di beberapa wilayah Indonesia. Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021, angka prevalensi tengkes berada di angka 24,4% atau sekitar 5,33 juta balita. Sampai tahun 2024, pemerintah menargetkan angka prevalensi tersebut turun menjadi 14%.

Baca juga:

Kemiskinan sangat erat dengan pangan. Kompleksnya permasalahan pangan di Indonesia tentu membutuhkan solusi yang tepat dan komprehensif, termasuk dalam hal pendelegasian kewenangan kementerian atau lembaga terkait. Selain itu perlu juga mempertajam data pangan nasional, seperti melalui neraca komoditas. Naraca ini diukur dari perkiraan perbandingan ketersediaan bahan pangan dengan kebutuhan secara nasional. Berdasarkan data Badan Pangan Nasional RI (Bapanas) tentang Prognosa Neraca Pangan Indonesia Tahun 2023, pemerintah memastikan ketersediaan sebagian besar bahan pangan masih mencukupi.

Beras diperkirakan surplus sebanyak 5,87 juta ton. Begitu juga dengan jagung sebanyak 6,3 juta ton hingga akhir tahun. Minyak goreng, daging ayam ras, telur ayam ras, bawang merah, cabai rawit, dan cabai besar juga diproyeksikan masih mencukupi. Namun, masih terdapat bahan pangan yang harus didatangkan dari luar negeri. Misalnya gula konsumsi. Meskipun diproyeksikan surplus sebanyak 308.900 ton, gula akan tetap direncanakan impor sebesar 991.000 ton. Ikan yang diperkirakan mengalami defisit juga akan ditanggulangi dengan impor sebanyak 266.453 ton. Begitu juga dengan stok daging lembu yang masih kurang sekitar 254.429 ton, bawang putih kurang 489.633 ton, dan tentu saja kedelai sebanyak 2,56 juta ton.

Pentingnya Mengukur Cadangan Pangan Nasional

Neraca Komoditas yang menentukan kebijakan ekspor-impor itu mengacu pada Perpres 32 Tahun 2022. Pada pelaksanaannya, perpres ini mengandung sengketa kewenangan antara Kementerian Perdagangan dan Bapanas dalam hal perumusan kebijakan dan penetapan kebutuhan ekspor-impor pangan. Sebagaimana yang tercermin dari perselisihan antar kementerian dan lembaga dalam kebijakan impor beras 500.000 ton akhir tahun 2022 lalu, dalih impor beras didasari untuk mencukupi cadangan pangan pemerintah.

Kenyataan di atas yang menunjukkan bahwa langkah pemerintah dengan menerbitkan Perpres 125 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Cadangan Pangan Pemerintah dinilai belum ampuh, sebab yang mendesak untuk diatur sesungguhnya ialah cadangan pangan nasional. Cadangan pangan nasional kelak tidak hanya mengalkulasikan cadangan pangan pemerintah semata, tetapi juga cadangan pangan yang berada di masyarakat. Dengan begitu bisa dipastikan jumlah cadangan pangan yang terdapat di tingkat pemerintah daerah, di masyarakat, dan bahkan yang dikuasai korporasi besar.

Pentingnya mengukur cadangan pangan masyarakat secara presisi juga disinggung Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Pada pertemuan dengan Serikat Petani Indonesia, ia menyatakan cadangan pangan masyarakat amat penting dan bisa digunakan sebagai solusi dalam pengentasan stunting. Bahan pangan yang digunakan berasal dari protein hewani seperti telur, ikan dan ayam. Upaya tersebut tentu perlu didukung dengan diversifikasi pangan.

Baca juga:

Di tengah menggalakkan diversifikasi pangan, Bapanas dan Kementerian Pertanian justru mendorong penggunaan benih biofortifikasi dan pangan fortifikasi. Penggunaan pangan fortifikasi justru bertolak belakang dan akan menggerus upaya diversifikasi pangan. Pangan fortifikasi dan benih biofortifikasi yang diproduksi oleh korporasi skala global akan semakin memperbesar jurang ketergantungan. Ide mengenai fortifikasi pangan juga tidak relevan diterapkan di Indonesia yang punya alam dan keanekaragaman sumber pangan.

Berdasarkan hal di atas, pengaturan terhadap cadangan pangan pemerintah saja tidaklah cukup. Peraturan tentang cadangan pangan nasional harus diatur lebih lanjut. Dengan begitu, ke depannya bisa lebih terukur kegentingan impor pangan berdasarkan Pasal 36 UU Pangan: “impor pangan pokok hanya dapat dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri dan cadangan pangan nasional tidak mencukupi.”

Setelah itu, harus dipastikan bersama pula bahwa pangan yang tersedia memunuhi syarat beragam, bergizi, seimbang, dan aman (B2SA). Hal ini penting dalam mendorong pencapaian target prevalensi tengkes turun lebih dari 10% sampai tahun 2024.

 

Editor: Prihandini N

Angga Hermanda
Angga Hermanda Bagian Bangsa Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email