Apa bayangan di kepalamu saat membaca judul Kitchen novela karya Yoshimoto Banana? Pastilah aktivitas memasak atau menu makanan lezat yang terhidang di atas meja. Seperti judulnya, buku tersebut memainkan gagasan nafsu makan dan dapur. Sang penulis menggunakan dapur dan makanan sebagai motif untuk mengungkapkan tentang perlunya cinta. Melalui pergulatan emosional yang dihadapi Mikage Sakurai dan tokoh lainnya, secara kasual sang penulis menampilkan perasaan manusia yang valid dengan motif yang unik.
Buku ini menyuguhkan dua cerita yang berbeda dengan premis yang sama, yaitu kesedihan atas kehilangan orang tercinta. Kitchen sempat menjadi kontroversi karena dinilai bukanlah karya yang serius atau terlalu ringan dibandingkan karya-karya sastra lainnya. Namun, justru kesederhanaan itu menjadi keunggulan yang meroketkan nama penulis untuk menyabet penghargaan dari dalam dan luar negeri salah satunya, Kaien Newcomer Writers Prize.
Cerita pertama Kitchen dibuka dengan ungkapan perasaan Mikage tentang dapur. Tak ada pengecualian di tempat yang disukainya tersebut. Selama dapat digunakan memasak dan memiliki peralatan lengkap lainnya, ia bahkan tak keberatan dengan dapur yang kotor. Lalu, pembaca dapat menengok ketakutan dan kesedihan sang tokoh. Mikage yang meredam kesepian dan rasa sedih atas kematian sang nenek dengan menyibukkan diri di dapur. Sebelumnya, ia hampir tak bisa tidur kecuali di samping kulkas. Suara dengung kulkas melindunginya dari perasaan sendiri. Bahkan, ia ingin menghabiskan waktu-waktu terakhir sebelum kematiannya di dapur, entah sendiri atau bersama seseorang.
Mikage menganggap memasak adalah seni dan menggunakan keahliannya untuk menjalin ikatan dengan orang-orang sekitar. Saat mulai tinggal di apartemen keluarga Tanabe, Mikage menawarkan diri memasak bubur untuk Eriko -ibu Yuichi-, pengalaman itulah yang membuatnya kembali bersemangat. Begitu pula kala terbangun tengah malam, ia memasak ramen dan membuat juice bersama Yuichi. Makanan menjadi pengalih perhatian dan akhirnya menjadi penyelamat ketika Mikage pergi ke Yuichi dengan membawa katsudo untuk menghiburnya atas kematian Eriko, jika bukan untuk dunia yang tampaknya tidak memperhatikan keputusasaan mereka, tetapi untuk diri mereka sendiri. Inilah pesan yang disampaikan penulis bahwa dalam keputusasaan, seseorang kehilangan nafsu makan, sementara dalam cinta, mereka menikmati makanan sepuasnya.
“Selama ini kita selalu di tempat yang sepi sekali, tetapi empuk dan ringan. Kematian itu terlalu berat, jadi kita cuma bisa begitu karena kita masih muda dan seharusnya belum tahu akan hal semacam itu. Mulai sekarang kalau kamu bersamaku, mungkin kamu terpaksa melihat kesulitan, kerepotan dan hal-hal kotor juga, tapi kalau kamu tidak keberatan, ayo kita pergi ke tempat yang lebih terang, berdua.
Berbicara tentang kehilangan dan kesedihan dalam cerita ini, tidak disajikan dengan diksi yang membuat pembaca meraung berbalut air mata. Sang penulis menuturkannya dengan ringan dan lugas, menampilkan sisi perasaan manusia yang apa adanya. Ketika berhadapan dengan kehilangan, kepedihan dan perasaan sepi, sering kali kita memilih menyimpan rapat-rapat pergulatan emosional tersebut. Seperti yang dialami Mikage Sakurai saat menangis di tengah keheningan malam di gang yang remang, pasalnya ia belum pernah menangis sejak kematian sang nenek. Tak ada hal tertentu yang membuatku sedih. Hanya saja, aku ingin menangis untuk banyak hal. Kesedihan tak selalu digambarkan dengan deras air mata. Bengong, jenuh hingga tak bisa tidur adalah bagian dari luapan perasaan tersebut.
Di cerita kedua yang berjudul Moonlight Shadow pembaca disuguhkan dengan perbedaan cara mengenang antara laki-laki dan perempuan. Hal tersebut disampaikan melalui cara pandang Satsuki pada Hiiragi –adik mendiang kekasihnya. Satsuki mengenang dengan jogging setiap pagi sekaligus upaya membalut kesedihannya. Ia terkena insomnia sejak kematian Hitoshi, kekasihnya. Alih-alih menyembuhkan, hal tersebut justru membuat Satsuki sakit demam. Sedangkan, Hiiragi mengenang dengan memakai seragam pelaut milik mendiang pacarnya, Yumiko. Tampak cara mengenang perempuan teramat menyedihkan dibanding laki-laki.
Penulis, lagi-lagi menggunakan motif makanan untuk menjalin ikatan antara satu tokoh dengan tokoh lainnya. Seperti saat Hiiragi mengajak Satsuki makan di kedai kakiagedon, atau sawaktu Hiiragi memberi oleh-oleh roti lapis ayam fillet KFC saat Satsuki sakit. Di sinilah, tokoh Hiiragi berperan menawarkan bantuan dalam menghadapi kesepian dan kesedihan. Sekaligus merekatkan jalinan sebagai manusia yang sama-sama diterpa kesedihan dan kesepian karena kehilangan orang tercinta.
Membaca buku ini dalam edisi bahasa Indonesia, saya terkesima dengan diksi-diksi yang dipilih penerjemah. Ribeka Ota memberi polesan manis saat menggambarkan suasana malam yang hangat dan suasana dapur di apartemen keluarga Tanabe. Seolah-olah tak ada hal kecil dekat dapur yang terlawatkan dari pandangan. Dari sofa yang terletak memunggungi dapur, jendela besar dengan beragam jenis tanaman hingga peralatan memasak yang lengkap dan berkilauan. Tak hanya membuat sang tokoh menyukainya dalam sekilas pandang, namun juga pembaca.
Di tengah pergulatan batin atas kepergian orang-orang tercinta. Hidup memiliki keseimbangan yang unik. Keajaiban selalu dapat dirasakan dari hal-hal kecil di sekeliling. Dan betapa jalinan antara sesama manusia memiliki ungkapan mewah yang dapat meredakan luka dan kesedihan. Seperti ungkapan Mikage “Rasanya benar-benar hebat, tetapi terasa biasa-biasa juga. Rasanya seperti keajaiban, tetapi terasa wajar juga. Apapun itu, perasaan haru –yang begitu halus sampai-sampai bisa saja lenyap jika diungkapkan dengan kata, kusimpan dalam hatiku.