Bismar Siregar bukan berasal dari keluarga kaya atau lingkungan kota yang glamor. Ia lahir dari rahim seorang ibu pedagang kue di pasar, ayahnya seorang guru.
Ayah pria kelahiran Siabu, 15 September 1928 ini bahkan pernah berkirim surat kepada abangnya, yang kebetulan ditemukan Bismar, menceritakan bahwa ia hanya makan nasi satu kali dalam sehari. Mereka sekeluarga juga pernah hanya memiliki beberapa potong ikan untuk lauk, sementara saudara-saudari Bismar seluruhnya berjumlah belasan, sehingga ikan tersebut dibagi sedikit-sedikit agar cukup untuk semua anggota keluarga.
Meskipun hidup dalam situasi yang tergolong sederhana, Bismar terkenal akan kepintarannya. Ia tidak tamat Sekolah Rakyat (SR) karena pendudukan Jepang, tapi dipercaya menjadi penerjemah untuk Jepang pada masa itu. Kecerdasannya juga membawa Bismar ke jenjang sekolah menengah atas (SMA) di Magelang dengan istimewa, yakni tanpa memiliki ijazah SR. Kehidupan yang demikian itu membentuk kepribadian dan pendirian Bismar.
Baca juga:
Perjalanan Mencapai Keagungan
Bismar terkenal teliti dan teguh pendirian, serta lantang menyuarakan kebenaran sejak belia. Hal itu dibuktikan oleh kesaksian Machrani Siregar, adik kandung beliau. Ia pernah ditegur oleh Bismar hanya karena tidak memperhatikan secuil daun ubi yang masih menempel di peralatan memasak, yang ia yakin sudah yakin dicuci dengan bersih.
Bismar keras dalam mengajari adik-adiknya. Hal itu cukup membuat takut sang adik ketika belajar dengan beliau. Sementara itu, karakter beliau yang islami didapatkannya dari ayah dan ibunya, masing-masing merupakan pengurus Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah di Siabu.
Setelah lulus SMA pada usia 24 tahun, Bismar melanjutkan studi di Universitas Indonesia. Bismar menimba Ilmu Hukum yang kemudian menjadikannya bergelut sebagai seorang jaksa setelah tamat dari perguruan tinggi pada tahun 1956.
Sebagai seorang jaksa, ia berulang kali dipindahtugaskan. Ia mengawali tugasnya pada tahun 1957 di Palembang, lalu harus pindah ke bagian timur Indonesia sebanyak dua kali, yaitu ke Makassar, lalu Ambon. Akan tetapi, profesi jaksa tidak ditakdirkan Tuhan selamanya bagi Bismar. Menjadi jaksa menuntut Bismar untuk berpisah dengan istri, hingga harus bertengkar dengan jaksa agung, pimpinannya sendiri. Bismar yang dibayang-bayangi oleh pemecatan karena lebih memilih menemani istri di Jakarta daripada bertugas di Ambon akhirnya memilih beralih profesi menjadi hakim.
Dari situ, Bismar, yang tadinya hanya seorang pemuda dari kampung, mencapai keagungan. Ia juga mengawali kariernya sebagai hakim di Palembang, Pangkal Pinang tepatnya. Kariernya melejit, Bismar pun menjadi Ketua Pengadilan Negeri di Pontianak dan berhasil menjadi hakim tinggi mulai tahun 1980 di Bandung. Perjalanan Bismar sebagai hakim mencapai puncak pada posisi hakim agung sejak 1984 hingga 2000. Selama menjabat hakim agung itulah Bismar mulai banyak menulis sebagai respons terhadap praktik demokrasi pada masa Orde Baru. Kritiknya ia sampaikan dengan karakter yang lantang dan cermat.
Demokrasi
Bismar memang tidak begitu sepakat dengan demokrasi. Setidaknya, begitulah yang ia akui dalam bukunya, Islam Akhlak Mulia: Renungan-renungan di Tengah Malam Sunyi (2009). Menurutnya, demokrasi adalah budaya luar yang tidak berasal dari dunia Islam.
Akan tetapi, Bismar tidak pula menolak demokrasi seluruhnya, melainkan mengembalikan pemaknaan dan pelaksanaan demokrasi itu kepada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Sila Ketuhanan yang Maha Esa menjadi dasar bagi penerapan demokrasi dapat diamalkan secara islami. Oleh karena itu, jikapun demokrasi itu telah dipahami sebagai sesuatu yang bebas, Bismar menghendakinya tetap dalam pengendalian diri yang benar.
Penerapan demokrasi yang benar harus dilaksanakan dari presiden, begitulah yang dipahami oleh Bismar. Beliau mendasari pandangannya itu dengan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW, yakni seorang pemimpin memiliki tanggung jawab terhadap yang dipimpin. Harapannya, ketika pemimpin berhasil menjalankan pemerintahan yang demokratis, maka masyarakat di bawahnya akan mengindahkan seruan itu pula.
Terkait dengan demokrasi pada masa Orde Baru, Bismar, dalam otobiografinya yang bertajuk Dari Bismar untuk Bismar (2002), dengan lantang menyatakannya sebagai awal pemerkosaan demokrasi Pancasila. Demokrasi menjadi barang asing selama masa Orde Baru; terbukti dari Soeharto dan Golongan Karya yang berkuasa selama 32 tahun.
Pengangkangan terhadap demokrasi itu juga mewujud dalam maraknya korupsi pada masa Orde Baru. Bismar bahkan menambahkannya dengan istilah korupsi, kolusi, dan perbuatan tercela lainnya. Melalui tulisannya, Bismar dengan terang-terangan menagih janji Harmoko untuk memberantas praktik korupsi itu di kalangan Golkar, termasuk janji kampanye pada tahun 1993.
Dari Dalam Ruang Kerja
Praktik yang tidak demokratis dan cenderung melindungi elit Golkar pada masa Orde Baru ditunjukkan oleh kejanggalan demi kejanggalan yang ia temukan sendiri pada institusi yang ia pimpin, Mahkamah Agung. Kesaksian itu semakin menunjukkan kekuatan pandangan Bismar mengenai praktik demokrasi pada masa Orde Baru mengingat Bismar melihatnya ruang kerjanya. Sebagaimana termaktub masih di dalam otobiografinya:
“Sebut sajalah di lingkungan Mahkamah Agung dihebohkan ada kolusi, tetapi disangkal, walau diakui benar ada kesalahan prosedur. Menyusul di Kejaksaan Agung, ada penggantian mendadak, seorang di antara Jaksa Agung Muda, walau tidak jelas “dakwaan”, namun perlu segera diadakan penggantian. Kemudian menyusul tiga pejabat teras Bank Indonesia dibebaskan sementara dari jabatan, menyangkut bank bermasalah.”
Permasalahan yang dikemukakan oleh Bismar Siregar itu mengungkap bentuk keganjilan yang berlatar perlindungan Golkar terhadap perilaku korupsi di antara para elitnya. Demi melindungi para pelaku tindak kecurangan itu, terjadi intervensi terhadap lembaga-lembaga strategis yang berhubungan dengan kasus tersebut, seperti Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, dan Bank Indonesia. Tindakan itu disindir Bismar sebagai:
“Salah satu bukti konsistensi Golkar melaksanakan tugas sebagai orsospol tunggal, baik dalam kabinet khususnya, pemerintahan umumnya, badan legislatif tidak terkecuali, dan lembaga tinggi negara lain, serta jajarannya semua diwarnai kegolkaran.”
Bismar juga menyentil demokrasi yang tidak berjalan baik ketika memasuki masa kampanye. Pada masa kampanye, seluruh elit Golkar, bahkan setaraf menteri, dapat tidak ikut sidang kabinet dan meninggalkan tugas kenegaraan dengan dalih cuti demi menjadi juru kampanye. Mereka bertugas meyakinkan masyarakat bahwa Golkar masih setia dalam memberantas pelaku dan perilaku korupsi-kolusi di pemerintahan.
Demokrasi adalah Kebersamaan
Pada kesempatan lain, Bismar mempertanyakan semangat demokrasi para pejabat di lingkungan pemerintahan Orde Baru dalam memberantas kemiskinan. Jawaban Harmoko, terkait kemungkinan adanya kolaborasi dengan orsospol (organisasi sosial politik) lain dalam mewujudkan pembangunan, adalah semuanya merupakan wewenang mandataris MPR. Bismar menilai hal itu bukan demokrasi yang dianut oleh Indonesia.
Dalam pemahaman Bismar, jawaban itu seolah mengkotak-kotakkan dan tidak mencerminkan semangat kebersamaan yang merupakan napas dari demokrasi yang dianut Pancasila. Jelas saja bahwa Bismar tidak mendukung sikap petinggi Golkar yang demikian dan sudah melembaga selama pemerintahan Soeharto. Bismar menuntut kembali kepada demokrasi Pancasila yang merangkul keberagaman dan tidak melayani satu golongan saja.
Demokrasi yang dipahami Bismar sebagai kebersamaan menjadikannya bersikap lunak terhadap eks-PKI. Dalam sebuah pemberitaan pada tahun 1994, diungkapkan bahwa Bismar menginginkan agar seruan bersih diri dan bersih lingkungan tidak lagi menjadi masalah di tengah masyarakat. Ia berharap agar mereka yang merupakan keturunan PKI diberikan kehidupan yang semestinya. Hal itu juga didasarkannya pada keyakinan Islam bahwa dalam agama Islam tidak membenarkan dosa seseorang harus dipikul oleh orang lain.
Akan tetapi, terdapat catatan dari Sulangkah Suwalu dalam otobiografi Bismar yang menyatakan bahwa Bismar Siregar “keberatan diungkapkan kembali G30S”. Sepertinya, Suwalu kurang tepat dalam memaknai sikap Bismar itu. Berdasarkan pemberitaan yang lebih dahulu kita kemukakan, Bismar hanya tidak ingin masalah berlarut-larut selagi berpendirian agar masing-masing pihak cukup mengetahui kesalahan dan melangkah menuju kehidupan yang lebih baik dengan saling menerima tanpa justifikasi terhadap masa lalu yang buruk oleh para pendahulu mereka.
Suwalu bahkan menutup simpulannya dengan kata-kata yang merendahkan Bismar. Oleh Suwalu, dengan sikapnya itu beliau dikatakan “telah menghina dirinya sendiri sebagai hakim yang tidak agung”. Hebatnya, Bismar mengutip pernyataan itu dalam buku otobiografinya secara utuh, tanpa komentar ataupun pembelaan atas dirinya.
Baca juga:
Bismar Siregar dengan ragam julukannya seperti Pendekar Hukum, Hakim Berhati Nurani, dan Hakim Kontroversial itu berpulang pada 19 April 2012 dengan meninggalkan warisan berupa tulisan dan pemikiran. Semoga artikel sederhana ini dapat menuntun pembaca dalam melihat pemikiran dan teladan-teladan lain dari sosoknya.
Editor: Emma Amelia