Aku menyebutnya lelaki kereta. Dia merokok diam-diam di salah satu gerbong. Tapi kupikir asap rokok dan pikirannya tengah ramai berbincang. Dan bunyi kriyet-kriyet terlalu nyaring di telingaku saat angin berdesau. Meski tampaknya tak mengganggu percakapan itu, dan jelas tak juga menggangguku. Aku suka di sini.
“Mari, naik kereta.” Pemuda di sisiku berkata dengan nada yang terlalu santun. Kami telah mencapai bagian paling atas tangga dan lelaki kereta itu tampaknya hal pertama yang sama-sama kami lihat.
Kami bertemu di pintu masuk benteng beberapa waktu lalu. “Sudah hampir tutup, Nona. Dan Anda datang ke sini. Apa yang dicari?” Ia lebih dulu menyapaku dengan kalimat yang begitu kaku.
Aku mengamatinya. Usianya mungkin tiga puluh tahun. Bisa jadi lebih tua lagi. Rambutnya ikal dipangkas pendek. “Hmm… aku tidak meragukan seleramu atau katakanlah kesukaanmu pada sejarah. Tapi, datang ke sini saat mendung dan menjelang tutup begini tentu tak banyak yang bisa dinikmati, ‘kan?”
“Aku suka kereta. Aku suka di sini,” kataku. Aku enggan balik bertanya alasan lelaki itu memutuskan datang ke sini saat ini. Angin berembus dan rok yang kukenakan setengah berkibar. Aku mencoba menahannya. Aku benci jika bagian tubuhku terlihat. Apalagi saat aku melihat kilat di mata pemuda itu. Itu kilat yang dihasilkan dari perintah benda kecil di tempurung kepalanya untuk menginginkan milik orang lain.
“Kereta? Ada kereta di sini selain kereta yang tadi?” tanyanya. Tadi dia memang mengitari benteng ini dengan kereta. Tiket masuk ke benteng ini memang sudah termasuk dengan berkeliling benteng dengan naik kereta.
“Ya, ada di atas. Aku suka di sini, ah, di atas. Di dekat kereta itu. Kamu mau ke sana?” Pemuda itu mengangguk dan kami berjalan bersama ke bagian atas.
Kini kami berdiri bersisian memandang kereta yang kumaksud. “Angin agak kencang. Anda mungkin akan kedinginan. Kalau tak keberatan, silakan pakai jaketku,” katanya seraya melepas jaket.
Aku menggeleng. Sebenarnya aku ingin mengatakan bahwa aku tak pernah terganggu dengan rasa dingin. Boleh kukatakan itu bahkan telah jadi teman karibku.
Lelaki kereta menyadari kehadiran kami dan lekas membuka pintu kereta. Kereta mainan. Tak perlu kujelaskan bukan? Relnya mengelilingi atap benteng ini, benteng bersegi delapan dengan warna merah dan bata-bata rapuh.
Lelaki itu melempar puntung rokoknya. Dengan sepatu karetnya, ia mematikan percik api yang masih membakar ujung rokok yang begitu sia-sia itu. Oh maaf, begitu sisa-sisa.
Aku melangkah perlahan menuju salah satu gerbong. “Karcisnya?” Lelaki kereta mengulurkan tangan. Karcis berpindah tangan hanya untuk sekadar disobek lalu kembali pada pemuda tampan itu. Aku duduk dan merapikan rokku.
Pemuda yang jaketnya kutolak pun duduk. Di sisiku. Tangan kirinya menyentuhku dan ia menatapku heran. “Kedinginan?”
“Tidak. Aku ….”
Kata-kataku terputus. Pemuda tampan itu meletakkan jaketnya di pangkuanku. Sedemikian rupa membuat kedua tanganku tertutup.
Gemuruh mesin sedikit mengganggu. Itu macam teriakan orang-orang yang terperangkap di beberapa sudut benteng ini. Mirip gugatan minta keadilan Tuhan setelah sesuatu yang buruk terjadi dan benteng ini dipilih menjadi saksi.
Perlahan kereta berjalan dan aku tak lagi mengenali suara mesin. Suara yang dominan mampir di telingaku adalah kriyet-kriyet itu. Itu seperti jeritan laki-laki yang kutemui di bawah tadi. Atau semacam permohonan pertolongan yang tak terucap dari pemuda di dekat tangga.
Aku memang meletakkan tangan di pangkuanku. Dan jaket si pemuda menutupinya. Itu menahan kibaran ujung rok sebab angin. Aku masih saja tak suka sesuatu yang istimewa terbuka, dipandang, dan dirampas seolah-seolah tubuhku tidak berdaulat. Dan aku benci membayangkan laju tubuhku menabrak batas-batas beku. Lalu diam seolah menerima garis takdir tanpa perlawanan.
“Pandemi mengubah banyak hal. Tampaknya nyaris tak ada pengunjung di sini. Lihat, arena bermain dan kolam renangnya nggak terawat.” Pemuda tampan itu mencoba membuka percakapan. Aku benci diajak bicara di saat aku ingin menikmati sesuatu. Aku mengangguk saja, berharap dia tidak lagi bicara.
Lelaki kereta mengatakan sesuatu yang tak bisa kudengar dengan jelas. Hanya kemudian aku mengumpat -dalam hati tentu saja- ketika ia menyalakan rokoknya kembali. “Semua mahal. Yang murah cuma nyawa.” Gerutuan itu mampir di telingaku.
“Ah, ya. Aku bisa melihatnya dengan jelas. Kamu tampak menikmati perjalanan berkereta ini,” ujarnya. Matanya berkedip. Ia tak lagi menyebutku ‘Anda’.
Aku lebih suka memandangi atap. Rumput liar berusaha tumbuh di sela bata-bata tua. Dan aku ingin menyentuh besi-besi dingin yang berusaha menjaga satu nyawa pergi sia-sia.
“Kamu sering ke sini?”
Aku mengangguk saja. Juga tak ingin kembali memandang pemuda di sebelahku.
“Secangkir kopi?”
“Hah?” Aku lekas menoleh.
Pemuda itu tertawa. Giginya rapi dan aku suka. “Aku mengajakmu minum kopi setelah kita turun. Atau kamu ingin berkeliling melihat ruangan-ruangan yang … Emmm, agak gelap dan …?”
Aku memandanginya dan menyadari kumis tipisnya. Ada luka di pelipis kiri. Tapi dia tampan. “Aku suka di sini,” kataku. Kesukaanku yang ini tak bisa ditawar-tawar.
“Jadi, aku ditolak?” Pemuda itu lalu tertawa. Aku tak tahu letak lucu kalimat itu. Kereta berhenti. Kami ternyata sudah selesai mengitari bagian atas benteng ini. “Maaf, aku sudah bilang, aku suka di sini.” Kuserahkan jaket itu kembali padanya.
Pemuda itu mengangguk. “Ya, baiklah.” Ia menerima jaket lalu mengenakannya.
“Mas ….” Lelaki kereta membuat si pemuda menoleh. “Sudah selesai.”
“Ah, ya. Mari, turun,” kata pemuda tampan itu padaku. Itu sedikit tidak sopan. Mestinya dia merespon lelaki kereta lebih dulu. Ucapan terima kasih, misalnya.
“Ngomong sama siapa, Mas?” Tanya lelaki kereta.
“Nona yang katanya suka di sini, Pak.” Pemuda itu mengedipkan sebelah mata padaku. Ada seulas senyum manis di bibirnya yang tipis.
Lelaki kereta tertegun sesaat. Ia mengisap rokoknya lalu berkata, “kalau dia suka di sini, ya biar di sini, Mas. Mari saya antar turun.”
Pemuda itu tampak sedikit linglung. Ia menatapku dan aku mengangguk. “Aku suka di sini,” kataku setengah berbisik.
“Mas, mari, lekas.” Lelaki kereta tampak gusar. Aku membenci ketergesa-gesaannya yang akan membuatku tak bisa lama-lama bersama si pemuda tampan ini. Aku lekas mengirim rasa dingin yang menjadi teman karibku ke tengkuk lelaki kereta. “Mas …. Ayo!” ujarnya lagi.
Kurasa pemuda itu ketakutan mendadak saat melihat rok putihku berubah menjadi genangan darah. Ia mungkin tak mendengar ajakan lelaki kereta. Sementara lelaki kereta tak sanggup memikul dingin di tengkuknya. Ia berjalan seperti banteng yang melihat kain merah dikibas-kibaskan.
Tanganku yang dingin menyentuh wajahnya. Aku melihat kukuku yang panjang dan hitam begitu kontras dengan wajahnya yang pucat. Aku lupa kapan terakhir aku membersihkan kuku. Ah, mungkin aku perlu memotong kuku nanti.
Kucoba menekan luka di pelipisnya. Dengan kuku jari kelingking kiriku, kucoba membuka kembali luka itu. Pemuda itu terlalu terkejut hingga lupa berteriak.
Aku suka pemuda itu kelu. Itu seperti menggantikanku. Setidaknya, dia merasakan sesuatu menekan dadanya, kelak meledak dan menuntun langkahnya melompat dan hancur. Ya, aku membuatnya merasakan tekanan dan ledakan di dada yang tak bisa ditolak itu.
Aku ingin melihat sebanyak mungkin pemuda yang demikian. Mesti berkali-kali lipat dari jumlah yang dulu menjamahku. Di tempat ini, dengan benteng ini menjadi saksinya.
Aku tertawa senang melihatnya tak memberontak. Kukuku yang hitam menancap lebih dalam. Terus lebih dalam. Semakin dalam.
Lalu kutarik perlahan kulitnya hanya untuk sekadar melihat seberapa besar otak yang berdiam nyaman di balik tempurung. Mestinya benda itu memerintahkan tubuhnya berhenti mengingini sesuatu yang bukan miliknya. Mukanya kini merah, tapi merah yang pekat dan anyir.
“Aku suka di sini. Temani, ya?”
***
Editor: Ghufroni An’ars