Apa yang membuat sebuah kota dikategorikan sebagai kota besar atau metropolis? Barangkali acuan kita adalah persentase populasi, jamaknya bangunan, dan keberhasilan infrastruktur.
Istilah kota metropolis mengacu pada suatu kota yang menjadi pusat aktivitas tertentu, misalnya industri dan ekonomi. Orang-orang kemudian menyebutnya dengan “kota metropolis” sebagai sinonim dari “yang besar” itu sendiri.
Baca juga:
Di Indonesia, yang dilabeli sebagai kota metropolis adalah Surabaya dan Jakarta. Sepengetahuanku, kedua kota itu memenuhi segala ciri metropolis: pusat industri, gedung-gedung pencakar langit, infrastruktur yang mapan, penduduk padat, arus mobilisasi budaya, dan seringnya menjadi trendsetter gejala sosial, politik, budaya, dan ekonomi.
Dua kota besar itu, meminjam istilah Yasraf Amir Piliang, seperti miniatur dunia yang berlari. Makin ke sini, kota-kota berlomba, berlari, beradu kegagahan, dan kemegahan untuk memenuhi mimpi kota besar masyarakat urban. Dua kota itu juga menjadi rujukan bagi kota yang belum memiliki atribusi metropolis—kita menyebutnya dengan kota kecil.
Perbedaan mendasar kota besar dan kota kecil terletak pada sejauh apa perkembangan dan pembangunan itu memenuhi unsur-unsur modernitas demi kemajuan. Kota besar adalah kota yang berhasrat pada kemajuan, sedangkan kota kecil belum memiliki keinginan itu—meskipun individunya sudah terliterasi dengan baik akan produk-produk modernitas.
Namun, kita mesti curiga terhadap jargon-jargon itu. Kemajuan, perkembangan, dan pembangunan tak selalu lurus dengan kebutuhan masyarakatnya. Apanya yang maju? Mananya yang maju? Atau aspek-aspek khusus apa dari suatu kota besar, pada saat bersamaan, meniscayakan kemajuan itu?
Proyek-proyek pembangunan itu banyak sekali meminggirkan mereka yang tidak beradaptasi dan tidak kooperatif dengannya. Salah satu buktinya adalah sempitnya permukiman warga. Orang mesti tinggal dalam rumah yang lebarnya tak lebih dari lima meter, halaman rumahnya pun menyatu dengan jalan raya. Anak-anak perlu berbagi tanah bermain dengan pedagang kecil dan lalu-lalang kendaraan. Para Ibu juga mesti berbagi teras rumah dengan tetangga yang berjarak hanya sejengkal itu. Muda-mudi tak bisa leluasa guyub dan kongko.
Di kota besar, orang-orang dipaksa untuk bekerja dengan cepat agar bisa bertahan hidup. Pemenuhan standar hidup untuk mengimbangi kemajuan kota besar memaksa siapa pun berkompetisi dan berebut nafkah agar tidak tergilas ekonomi kota. Orang-orang juga dipaksa hidup dengan budaya up-to-date. Kota dengan industri maju itu memaksakan konsumerisme lebih gencar.
Kota besar tidak ramah kesehatan mental. Kota besar bisa memunculkan depresi dan kesedihan pada diri warganya. Tak ada ruang untuk bernafas lega. Semua semakin sempit. Hak-hak pemukim terus direbut secara halus oleh kemajuan yang justru membatasi gerak-gerik masyarakat. Ibaratnya, semakin sempit permukiman warga, semakin memperjelas betapa kecil suatu kota yang kita sebut metropolitan itu. Paradoks kota besar—bukankah semestinya predikat kota besar menandai kebebasan ruang, serta gerak tubuh dan kultural masyarakatnya?
Yang kita jumpai, ruang kota justru tak diciptakan untuk kebebasan. Kota besar malah menjadi penjara baru bagi para tahanan kota. Masyarakat, meminjam istilah Foucault, seorang filsuf kontemporer Prancis, telah terdisiplinkan oleh kuasa kota.
Sublimasi istilah kota—dengan k kecil—dan Kota—dengan k kapital—perlu dipertegas lagi. Kota dengan k kapital menandai subyek yang mendisiplinkan masyarakat untuk tinggal bersama dalam kubangan delusi. Mereka dihipnotis, dibuat yakin berada di kota besar akan mempertemukan mereka dengan kebebasan dan kebanggan semu berupa identitas sebagai individu yang tinggal di kota besar.
Kebanggaan semu sebagai warga kota besar itu adalah mentalitas yang hadir akibat tidak bisa membedakan sublimasi sifat kota besar yang berkuasa tersebut. Salah kaprah pemahaman akan identitas itu melanggengkan pengontrolan atas gerak masyarakat. Padahal, tiada kebanggan apa pun selama ruang publik tidak berpihak pada kenikmatan dan ketenangan masyarakatnya.
Paradoks kota besar membuat saya berpikir ulang tentang status besar dan kecil sebuah kota. Saya merasa perlu beranjak dari pemahaman menyesatkan soal nama besar kota dan mulai merenungi yang selama ini saya anggap kecil.
Baca juga:
Kota Kecil
Kota kecil tidak memenuhi ciri-ciri metropolis. Tak ada gedung tinggi, bukan trendsetter, populasi cenderung stagnan, dan komunikasi masyarakat terjalin dalam ruang kebebasan yang memang menjadi hak mereka. Boleh dikatakan, kehidupan di kota kecil dikontrol oleh masyarakatnya sendiri.
Kota kecil boleh jadi tampak terbelakang; ia tidak memenuhi syarat-syarat kemajuan, bahkan butuh waktu relatif lama untuk menuju ke sana. Minimnya geliat kehidupan urban di kota kecil seakan mengafirmasi identitasnya sebagai yang tak terakui. Namun, serta-merta melabel kota yang menolak patuh terhadap pendisiplinan metropolis ini berarti mengamini logika biner dalam memandang kota dan membonsai bayangan akan kemajuan di luar kerangka developmentalis.
Kota kecil mengabaikan definisi kemajuan sebagaimana Kota didefinisikan. Alih-alih pertumbuhan ekonomi dan pembangunan gedung-gedung flashy, kota kecil lebih mengetengahkan kebahagiaan masyarakatnya. Kehidupan di kota kecil minim belenggu kontrol dan berlimpah ruang publik yang dialogis dan komunikatif. Kota kecil tidak sesak, tidak ada gang-gang sempit, orang boleh kembali ke alamnya sendiri. Kota kecil besar karena gerak kebebasan masyarakatnya juga besar.
Kecil atau besarnya kota terukur dari kesejahteraan lahir dan batin penduduknya. Kebanggan penduduk kota bukan soal nama kota, tetapi kelayakan ruang hidup mereka. Ilusi modernitas kota besar telah membuat banyak orang keliru memahami kesejahteraan itu.
Editor: Emma Amelia