Penulis biasa aja. Suka makan ikan tongkol.

Jakarta vs Hidup yang Nirmakna

Rizki Muhammad Iqbal

3 min read

Mencuatnya film Jakarta vs Everybody dalam wacana publik diawali dengan trending topic-nya di Twitter yang menunjukkan perang twit antara Jefri Nichol dengan akun-akun anonim. Perang twit ini muncul karena adanya akun yang menyebar tautan film ini secara ilegal. Jefri Nichol menentang perbuatan itu dengan mengajak akun tersebut untuk bertemu secara tatap muka yang berujung pada pelampiasan emosionalnya di ring tinju bersama Keanu Pahlevi, salah seorang pemilik akun anonim asal Bandung yang turut meramaikan jagad Twitter saat itu.

Tulisan terkait: Meregulasi Laki-Laki

Banyak netizen yang menganggap bahwa kejadian itu hanyalah gimik yang digunakan oleh Jefri Nichol agar film “aneh”-nya ditonton oleh publik—suatu upaya strategi marketing. Lantas banyak orang yang berpendapat bahwa film itu tidak layak untuk ditonton; tidak memiliki latar konflik yang jelas; absurd; aneh; jelek; tidak memiliki nilai yang patut dicontoh; tidak ada nilai edukasi bagi masyarakat. Bagi sebagian besar netizen, film itu merupakan representasi kehidupan anak muda Jakarta yang liar, tidak teratur, amoral, dan menyimpang.

Jakarta vs Everybody menampilkan Jefri Nichol sebagai Dom, seorang pemuda yang memiliki cita-cita sebagai aktor. Kehidupannya yang sulit, kegamangannya sebagai pemuda yang sedang mencari jati diri, dan serangkaian audisi yang gagal, membuatnya bertemu dengan Radit dan Pinkan, sepasang kekasih yang berperan dalam sebagian besar jalan cerita film ini. Dom justru beralih menjadi kurir yang menghabiskan waktunya untuk mengedarkan narkoba. Secara garis besar, film ini hanya menampilkan realitas kehidupan gelap di Jakarta yang tidak memiliki konflik yang jelas. Representasi realitas di film ini tidak memakai alur konflik yang hiperbolis, namun lebih kepada konflik emosional dan kehidupan yang datar.

Dalam pandangan umum, mungkin film ini menjadi tidak bernilai ketika kita melihatnya dari sisi permukaan. Seperti beberapa ungkapan yang dilontarkan oleh netizen, bahwa isi dari film ini hanya sekadar “ngumpat-seks-ngedar”, begitu seterusnya hingga akhir cerita dikumandangkan. Namun, bagi saya film Jakarta vs Everybody tidak sesederhana itu. Kedataran film dan keabsurdan yang menyertainya bukan menjadi anomali yang mesti dihindari oleh produser maupun pembuat cerita dalam film, namun justru menjadi nilai pokok dan tujuan dari adanya film itu sendiri. Adanya ungkapan bahwa film harus memiliki nilai edukasi bagi masyarakat justru mereduksi kebebasan ekspresi seni menjadi suatu keharusan yang membuat seni harus bersifat edukatif. Logika seperti ini hampir mirip dengan keharusan bahwa kritisisme harus memiliki solusi.

Di sini film Jakarta vs Everybody tidak menawarkan suatu solusi atau pun edukasi, namun justru bermuatan absurd. Absurditas dipahami sebagai ketidakbermaknaan hidup bagi seseorang yang tidak mampu menetapkan tujuan-tujuan hidup karena munculnya anggapan bahwa hidup memang tidak memiliki tujuan yang jelas selain berujung pada ironisme kematian. Dalam pengertian yang absurd, kehidupan adalah jalan panjang yang tidak memiliki makna kecuali pengulangan-pengulangan yang membosankan. Absurdisme secara cerdas digambarkan oleh Albert Camus melalui Mitos Sisifus. Maka distopia menjadi satu penggambaran keadaan yang tidak ideal dalam isi kepala sang absurdis.

Baca juga: Misteri Abadi dalam Sci-Fi

Dalam konteks Jakarta vs Everybody, absurditas terepresentasikan dalam sebagian besar alur ceritanya. Rutinitas mengedarkan narkoba yang dilakukan oleh Dom telah menjadi nyawa dari film ini. Selain itu, absurdisme secara khusus direpresentasikan melalui penokohan Radit yang menganggap bahwa hidup ini memang begini-begini saja, “…lagian menurut gua nih, ya, hidup tuh bukan tentang mimpi lagi, tapi tentang perjalanan ke satu titik. Karena kita semua ini terjebak sama yang namanya konsep realitas, konsep waktu. Nggak bisa maju ke depan, nggak bisa mundur ke belakang. Jadi hadapin aja apa yang ada di depan lo. Ya Anjing lah sama yang namanya mimpi!”

Secara jelas Radit menghadirkan nuansa absurdisme sebagai posisi filosofisnya seperti tokoh Meursault dalam karya Orang Asing-nya Albert Camus yang menjalani kehidupan sebagaimana adanya tanpa adanya mimpi dan harapan. Ketidakbermaknaan hidup adalah ungkapan seorang absurdis yang tidak menganggap hidup sebagai sesuatu yang hebat, namun tetap yakin bahwa bunuh diri bukan menjadi alternatif yang tepat. Satu-satunya pemberontakan terhadap keabsurdan hidup adalah dengan menjalani kehidupan itu sendiri. Berbeda dengan posisi Sartre yang memandang bunuh diri sebagai wujud ekspresi kehendak bebas seorang eksistensial yang berhasil mengalahkan ketidakbermaknaan hidup melalui kematian yang dikehendaki.

Hal yang sedikit berbeda ditunjukkan oleh penokohan Dom, meskipun tetap dalam dimensi ketidakbermaknaan eksistensial yang sama. Segala kepedihan, kegagalan, kesedihan, dan rasa kesal pada kehidupan yang nampak sia-sia tetap dijalaninya dengan sepenuh hati. Pekerjaannya sebagai kurir narkoba hanya menjadi tempat persinggahan sementara dalam kehendaknya yang lebih tinggi untuk menggapai mimpinya sebagai aktor. Dalam ironisme keadaan seperti itu, Dom lebih memilih untuk tidak dikuasai oleh nasib yang murung sepanjang hidupnya. Pada bagian menuju akhir film, Dom mengatakan kepada Radit bahwa dirinya ingin kembali mengikuti casting hingga sempat memantik pertengkaran di antara mereka berdua. Hal ini menunjukkan bahwa Dom masih tetap merawat mimpinya sebagai satu-satunya alasan eksistensial di tengah ketidakbermaknaan hidup.

Di bagian akhir film, Dom turun dari kereta dan berjalan seorang diri. Akhir dalam film ini bersifat terbuka yang mengundang penafsiran subjektif dari masing-masing penontonnya. Jika dilihat berdasarkan absurditas eksistensial, akhir dari film ini menekankan bahwa kehidupan Dom akan terus berlanjut sebagaimana adanya.

Nietzsche pernah menggaungkan aformisme, “fatum brutum amorfati”—mencintai takdir meskipun takdir itu kejam. Pemeliharaan harapan oleh Dom mencerminkan kehendaknya yang kuat atas mimpi-mimpinya meskipun harus melalui kehidupan ironi yang tidak dikehendakinya sepenuh hati, namun dia menghidupi hidup sehidup-hidupnya—mencintai takdir sepenuhnya. Dom telah merumuskan makna hidupnya sendiri dengan mencari cara yang lebih menyenangkan untuk merayakan ketidakbermaknaan.

Rizki Muhammad Iqbal
Rizki Muhammad Iqbal Penulis biasa aja. Suka makan ikan tongkol.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email