Untuk Haruki Murakami
Semuanya dimulai 6 tahun yang lalu. Kala itu aku pergi ke toko buku, dan melihat namamu yang tercetak jelas di sampul buku berwarna merah-hitam tertata rapi di etalase terdepan. Kafka on the Shore, A Wild Sheep Chase, & Wind-up Bird Chronicle; unik sekali terdengar di telingaku. Lalu kulihatlah ke bagian belakang, di bagian label harga: 6 digit angka. Anjing betul. Bisa apa bocah SMA yang sangunya sehari-hari hanya cukup untuk pergi ke warnet? Kalau boleh mengutip Ndarboy Genk: Aku ki yo mung balungan kere. Tak hanya itu, novel-novelmu kala itu masih terbitan luar, belum ada penerbit lokal yang menerjemahkan. Sementara itu, kemampuan bahasa Inggris-ku waktu itu masih pas-pasan. Kalau kupikirkan sekarang, mungkin di masa itu aku dan karyamu memang belum saatnya bertemu.
Dan kurasa ada hal lebih penting yang mengurungkan niatku untuk membaca buku-bukumu: diriku di masa itu sangat kaku, (sok) saintifik sekali. Hanya ingin membaca buku sains, sejarah, dan pengetahuan. Yah, padahal aku juga tidak pintar-pintar amat sebenarnya. Bergayaan saja biar kelihatan cerdas. Kupandang rendahlah buku-buku novel, karena menurut anggapanku, buku fiksi itu hanya menceritakan tentang cinta-cintaan yang klise dan banal. Kalau kata Efek Rumah Kaca, sih, wajar kita begitu, karena kita memang orang Melayu, sukanya mendayu-dayu.
Hell, how wrong I was back then. Dan, ya, aku percaya karma memang betul adanya: sekarang, hari-hariku malah penuh dengan cerita fiksi. Semoga, sih, tidak berakhir buruk seperti yang terjadi di film Fiksi-nya Mouly Surya.
Semuanya berubah pada tahun 2020. Di kala virus sialan itu menyerang, dan membuat seisi dunia keteteran. Rencana-rencana yang telah kuproyeksikan semuanya gagal, dan mimpi-mimpiku juga tertunda. Kantorku pun mengarahkan para pegawainya untuk bekerja dari rumah. Dan seperti yang orang-orang tahu, waktu bekerja dari rumah tidak sepenuhnya digunakan untuk bekerja. Ah, entahlah, sepertinya cuma aku saja yang seperti itu, ya?
Kucari hobi-hobi baru untuk mengisi hari-hariku yang berjalan semenjana itu. Dari merakit gundam, bersepeda mengelilingi kota, dan akhirnya mulai lagi membaca buku, hobi yang telah bertahun-tahun mangkrak. Singkat cerita, kubelilah novel yang mafhum membesarkan namamu dulu, Norwegian Wood. Untunglah waktu itu sudah ada penerbit lokal yang menerjemahkan karyamu, sehingga aku bisa sepenuhnya menikmatinya. Bagus betul kurasa: cerita yang sejatinya sederhana, tapi kaubalut dengan prosa yang merdu, mengalir, dan bernas. Padahal, kau pernah bilang bahwa dirimu tidak pernah belajar menulis secara khusus, hanya belajar secara otodidak. Bahkan, novel pertamamu, Hear the Wind Sing, pun kau tulis sambil menunggu pelanggan datang ke bar jazz milikmu sendiri itu. Yah, sepertinya keadilan Tuhan memang patut dipertanyakan. Eh, maaf, bercanda ya Tuhan.
Judul demi judul karyamu pun kubaca. Dari Norwegian Wood ke Colorless Tsukuru Tazaki, lanjut Hear the Wind Sing, Kafka on the Shore, Hard Boiled Wonderland dan yang terakhir ini After Dark. Baru sedikit memang, tapi aku sengaja untuk menyicilnya dengan tidak membaca novelmu secara berkelanjutan. Kau tahu, ada omongan dari Jawa tentang mangan gong, yaitu ketika kita menyisakan makanan yang paling lezat untuk dimakan paling akhir. Saving the best for the last. Istilah ini mengadopsi peran perkusi gong dalam musik gamelan yang biasanya ditabuh paling akhir. Dan inilah yang kulakukan, menyimpan karyamu untuk dinikmati secara perlahan, layaknya ketika kita menyantap makanan paling enak dan merasa eman-eman untuk menghabiskannya dengan cepat. Aneh memang, tapi ada alasan kuat bagiku untuk melakukannya, yakni ada masanya ketika aku terjebak dalam musibah reading slump, dan dirimulah juru selamatku.
Untuk Wong Kar-wai
Sekarang, mari balik lagi ke beberapa tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 2019, saat kali pertama kulihat frasa Chungking Express di salah satu postingan media sosial. Kosakata yang catchy membuatku penasaran, dan akhirnya kucarilah di laman pencarian. Hasilnya menunjukkan bahwa ternyata Chungking Express bukanlah nama dari sebuah kereta, tapi judul sebuah film Hongkong yang rilis pada tahun 1994. Kulanjutkan scroll dan kubaca nama sutradara yang membuat film itu: Wong Kar-wai.
Jujur saja, waktu itu aku sama sekali belum pernah mendengar namamu (yang keren itu). Film-film yang kutonton sebelumnya hanya seputaran film-film box office keluaran Hollywood. Rasa penasaranku masih belum padam, dan lanjut kutulis “Chungking Express sub Indo 1080p” di laman pencarian. Lalu kuklik hasil pencarian pertama yang muncul paling atas: sebuah situs web legendaris untuk menonton film secara ilegal, yang layout lamannya penuh dengan iklan judi dan poker. Bukannya tak ingin mendukung industri perfilman, tapi aku tak dapat menemukan film itu dalam kanal resmi. Akhirnya kuputarlah filmmu tersebut secara ilegal, and the rest is history.
Aku jadi terobsesi setelah melihat film yang melambungkan namamu ke kancah perfilman dunia itu. Pengambilan gambar yang revolusioner melalui penggunaan step-print effect, penceritaan plot nonkonvensional dengan meloncat bergantian dari tokoh satu dengan yang lain, lalu adegan penuh ambiens neon kota Hongkong yang penuh melankoli. Kau coba bawa keresahanmu dan bangsamu dengan cara membingkai adegan-adegan filmmu dengan caramu sendiri.
Kau mengambil gambar dari scene filmmu dengan tingkat frame yang rendah, tapi diproyeksikan dengan kecepatan normal; yang terlihat pun hanya sekelebatan gambar yang terasa cepat, tapi tersendat-sendat. Seperti pada adegan perempuan berkacamata hitam dan berwig pirang yang berlari tunggang-langgang untuk kabur karena dikejar-kejar sekumpulan preman. Wanita tak bernama yang diperankan oleh Brigitte Lin tersebut berlari di sela-sela jalan sempit di sebuah pasar, di tengah kumpulan manusia yang terus bergerak. Namun, gambaran wanita tersebut tetap terlihat fokus, sedangkan lingkungan sekelilingnya terlihat blur, berguratan, dan terputus-putus. Dengan teknik inilah kau coba menggambarkan dilema penduduk Hongkong kala itu: di tengah riuhnya manusia yang terus beranak-pinak, gedung-gedung yang menjulang tinggi, dan kota yang perlahan ditenggelamkan modernisasi, tetapi kau tetap merasa sendiri, resah, dan terisolasi.
Kulanjutkan untuk menikmati karyamu yang lain: dari Days of Being Wild, Fallen Angels, Happy Together, In the Mood for Love, hingga 2046. Semuanya indah, mafhum membuatku terpana. Bahkan aku menobatkan salah satu scene di Happy Together sebagai the most beautiful shot ever taken in the history of cinema (dari yang telah kulihat, tentunya), yakni pada adegan Lai Yiu-Fai (Tony Leung) sedang bermain bola bersama bocah-bocah di jalanan kecil sebuah kota di Argentina. Ia leren sejenak untuk mengisap sebatang rokok, dan roman wajahnya terlihat lesu. Yiu-Fai lalu mengembuskan asap rokoknya, dan kamera perlahan melakukan panning shot. Terlihat dari belakang pancaran cahaya senja yang sebelumnya terhalangi oleh bangunan khas Amerika Latin di belakang, perlahan menyinari wajah rupawan Tony Leung dan membentuk siluet yang indah dan mempesona, ditemani latar belakang berupa bocah-bocah yang sedang berebut bola dalam slow motion. Jenius!
Untuk Kalian berdua, Murakami dan Kar-wai
Pertama-tama, maafkan aku karena telah membuat pesan untuk kalian berdua dalam satu surat. Bukannya malas, tapi aku melihat kemiripan di antara kalian berdua. Mungkin kalian juga sudah bosan mendengar hal ini dari orang-orang lain, tapi kurasa memang benar adanya.
Murakami, kau lahir pada masa di mana bangsamu sedang berada di titik terendahnya, dan berusaha keras untuk bangkit akibat kesalahan generasi pendahulu. Kau tumbuh bersama dengan negaramu yang sedang kewalahan untuk menerima modernisasi dari luar, yang datang tanpa ampun dan tak terelakkan. Tentu saja hal tersebut memengaruhimu, yang terlihat dari selera musik dan bacaanmu. Kau menolak sastra, seni, dan musik Jepang pada usia dini, yang membuatmu makin dekat dengan dunia luar, dunia yang kau ketahui melalui rekaman jazz, film Hollywood, dan buku-buku impor. Kau lebih suka mendengarkan lantunan dari Bill Evans dan Coltrane dibanding musik tradisional Jepang; kau pun lebih gemar membaca Dostoevsky dan Kafka daripada Dazai dan Akutagawa.
Begitu juga denganmu, Kar-wai. Kau lahir di Shanghai, kota besar di Cina daratan. Pada masa itu, benih-benih Revolusi Kebudayaan mulai bergejolak di tanah kelahiranmu dan orangtuamu memutuskan untuk membawamu pindah ke Hong Kong yang lebih bebas. Sulit bagimu untuk tumbuh sendirian di lingkungan yang baru; budaya, bahasa, dan aksara yang asing membuatmu kewalahan untuk bisa beradaptasi. Yang jadi penyelamat hari-harimu kala itu adalah saat ibumu mengajakmu pergi ke bioskop untuk menonton segala jenis film. Kau terekspos dengan sinema dari seluruh penjuru dunia: dari Orson Welles, Akira Kurosawa, Jean-Luc Godard, hingga Federico Fedellini. Setelah menonton karya mereka, kau bilang bahwa kau pasti bisa melakukannya dengan lebih baik. Dan kau tidak salah.
Tidak berlebihan kurasa, jika kubilang kalian berhasil mengubah hidupku. Gaya artistik kalian yang penuh impromptu menginspirasiku untuk selalu menikmati proses, to enjoy living in the moment, dan tak perlu terlalu khawatir akan masa depan yang tak tentu. Musik-musik yang kalian selipkan dalam karya kalian, dari gubahan Antonio Carlos Jobim, Bill Evans, Xavier Cugat, hingga Nat King Cole, kini jadi pengiring kegiatan sehari-hariku. Karya-karya kalian pun memotivasiku untuk senantiasa mengejar minat agar bisa menjadi suatu bakat, dan yang terpenting berhasil membantuku tetap bertahan dan berusaha menikmati hidup yang kepalang singkat ini.
Kurasa, aku perlu berterima kasih sebanyak-banyaknya kepada kalian berdua. Kalian membuka jendela baru untukku mengetahui dunia yang lebih luas: Days of Being Wild mengajariku bahwa pencarian yang tak kunjung temu itu menyakitkan; Norwegian Wood membuatku lebih tahu tentang bagaimana rasanya kehilangan sesuatu yang kita sayang; dan In the Mood for Love menyadarkanku bahwa tak semua cinta berakhir bahagia. Namun, Kafka on the Shore mengajariku untuk selalu menghargai perjalanan, terlepas dari berhasil atau tidak dalam mencapai tujuan; berkat Happy Together, aku juga belajar untuk tetap bertahan ketika sepi dan nelangsa melanda hidupku; dan Chungking Express mengajariku untuk tetap sabar menunggu pelangi di ujung hari.
Ah, aku jadi ketularan kalian dalam membuat suatu karya tanpa arah yang pasti. Surat ini sudah terlampau panjang, jadi cukup sampai sini saja. Aku tahu surat ini tidak akan sampai ke kalian, dibaca apalagi. Bahkan, kalian pun pasti tak tahu bahwa aku eksis di dunia ini. Yah, aku pun hanya ingin mengucapkan terima kasih. Anggap saja surat ini jadi surat pernyataan cinta yang tak berbalas. Meski begitu, toh tetap kutulis juga. But, I do believe that unrequited love is the purest form of love, and don’t you think so?
Jakarta, Oktober 2022
***
Editor: Ghufroni An’ars