Mengenang–Merayakan

Seperti Semula dan Puisi Lainnya

Ikhsan Noer Fauzi

1 min read

SEPERTI SEMULA

Seperti apa kiranya kembali jadi anak-anak?
Senantiasa dalam ketaktahuan
tentang apa, siapa, atau di mana.
Tak ada yang benar-benar nyata
dalam dirinya,
waktu telah memelintir seluruh
tubuh dan jiwa
seperti semula.

Dan ketika hantu-hantu itu datang
menatap di balik celah luka-luka
yang menganga,
atau lebih dekat—membisikkan
setiap kata
yang tak ingin ia dengar sebelumnya:
Betapa hidup adalah sarang
ketakpastian masa yang telah, atau
akan datang, niscaya. Sementara kebahagiaan tak lebih dari
ampas derita yang dihadiahkan
kepada mereka yang tabah.

Ia hanya bisa tertawa,
melihat setiap angka
bermain-main di tubuhnya.

(2022)

IA

Ia satu di antara perkara
yang tak mengenal kata selesai.
Di tubuhnya ladang perjudian, dan
apa-apa yang dipertaruhkan
untuknya adalah kesia-siaan
yang menyenangkan.

Kelak, ia diperbincangkan
dalam hujan di tengah teriknya
matahari—dalam sukacita tatkala
bunga-bunga mekar di tengah badai.
Ia adalah pembenaran sejati
atas seluruh derita
yang ditanggung manusia.

(2022)

ADIKSI

Kau meminumnya dengan penuh keteraturan,
seperti resah yang disengaja—
membawa setiap ingatan
pada bayang kata-kata

Sebelum jam kerja tiba,
menjemput gairahmu
yang hendak merayakan kemalasan
Sebelum kau terlampau pandai
menjaga matamu
di hadapan malam dan
kantuk yang sia-sia

Telah kupastikan keduanya
adalah candu
yang kerap kau nikmati setiap harinya

Namun, bukankah kau cukup waras
untuk tak membandingkan
antara diksi, majas, imaji,
dan perangkat puisi lainnya
dengan paracetamol, kafein, serta ephedrin?

Meski keduanya sama di tubuhmu—
meski suatu hari kau pernah berkata:
“Bagiku puisi serupa obat pereda nyeri,
meredakan segala nyeri dan gila
yang kadung memenuhi isi kepala.”

(2022)

MERANGKUM AKU-KAMU, KITA?

Aku sempat menginginkanmu,
atau masih mengangankanmu
lebih dari apa yang tampak hari ini.

Sejauh kata masih mengungkap
kita sebagai cinta
yang dibiarkan sia-sia dan
berusaha biasa saja.
Namamu telah kuendapkan,
mengiringi setiap kenangan
yang muncul ke permukaan.

Tak ada lagi Putih hari ini,
ketika Sampai Mati menjadi salah satu
lagu yang membuatmu gagal move on.

Aku lebih suka melihatmu
mendengarkan S.I.D.
menjadi Punk Hari Ini, atau sadar
bahwa Kita adalah Belati.

Tak ada lagi Webtoon hari ini,
sebab denganmu membaca komik
jadi momen paling menarik.
Aku tak mau lagi melihat bagaimana
Hyung Seok menjalani hidup
dengan dua tubuh berbeda,
Jay dengan segala kekerenannya,
atau Vasco dengan air matanya
yang kerap membuatmu tertawa.

Tak ada lagi es batu,
atau portal komplek yang setia
menemani kita bertemu
dan membicarakan banyak hal
di tengah terjalnya malam.

Tak ada lagi subuh
yang akan menelantarkanmu
dengan perut lapar,
atau lontong sayur, karena kita
sama-sama tak suka kacang.

Dan pada akhirnya, tak ada
lagi cemburu buta.
Mata ini telah kubiarkan buta
pada cemburu
sebab aku bukanlah satu-satunya,
sebab aku selalu meminta kata kita
padamu.

(2023)

MEREKA YANG MENGISI KETIADAANMU
Nenda Im

Nenda, berapa banyak hal
telah kau tanam di pangkal
ingatanku yang riuh?
Di sudut-sudut rumah mereka
tumbuh serupa doa yang
dipanjatkan ibu melalui gerimis
di matanya, yang dilangitkan
bapa melalui tahlil-tahlilnya,
dan diaminkan kakek menyertai
separuh tubuhnya yang mungkin
lebih dulu menemuimu.

Nenda, barangkali
mereka lebih damai dari diriku
sendiri, lebih indah dari puisi,
dan harumnya melebihi bunga
yang mekar di saat kita terlelap.

Nenda, barangkali
mereka lebih abadi
dari kita sendiri.

(2023)

*****

Editor: Moch Aldy MA

Ikhsan Noer Fauzi
Ikhsan Noer Fauzi Mengenang–Merayakan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email