Saya tidak sengaja menemukan buku antologi cerpen Cerita-Cerita Jakarta di salah satu rak buku Kineruku, sebuah perpustakaan sekaligus toko buku dan tempat ngopi di Bandung. Dari judul dan sampulnya, saya tahu buku itu menyapa saya. Saya hampiri, lalu ambil buku itu. Wah, ramai sekali! Sepuluh nama penulis cerita pendek di sampul buku tersebut ikut menyapa saya.
Berdasarkan latar belakang yang disampaikan di bagian kata pengantar, buku antologi cerpen ini disusun ketika Maesy Ang dan Teddy W. Kusuma sebagai penyunting diminta untuk memoles The Book of Jakarta yang menjadi bagian dari seri Reading the City yang dicanangkan Penerbit Comma Press dari Manchester. Di akhir 2020, buku antologi cerpen ini menyapa para pembaca di Britania Raya dan sekitarnya. Buku ini diterbitkan dalam versi bahasa Indonesia oleh Post Press pada 2021 lalu dan menyapa para pembaca di negeri ini.
Baca juga:
Kesepuluh penulis yang andil dalam buku ini adalah Ratri Ninditya, Hanna Fransisca, Sabda Armandio, Utiuts, Dewi Kharisma Michellia, Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie, Ben Sohib, Cyntha Hariadi, Afrizal Malna, dan Yusi Avianto Pareanom. Kesepuluh penulis yang berangkat dari beragam latar belakang karier kepenulisan ini menyampaikan cerita-cerita, melukis Jakarta berdasarkan beragam perspektif dan pengalaman hidup di Jakarta, serta menginterpretasikan Jakarta dengan cara dan gayanya masing-masing.
Bayang-Bayang Masa Lalu
Cerpen Rahasia dari Kramat Tunggak yang dikarang oleh Dewi Kharisma Michellia menceritakan relasi unik antara tokoh Dia dengan sang ibu yang melacurkan diri demi kabur ke luar negeri untuk menghindari ayah sekaligus suami mereka yang sebentar lagi akan bebas dari belenggu penjara. Dewi mengisahkan awal mula perkenalan tokoh Ibu dengan pria yang menjadi suaminya di Kramat Tunggak pada 1988 dan rahasia kelam terkait anak dan fitnah yang terpaksa ia lakukan kepada suaminya.
Cerpen lainnya yang merepresentasikan sejarah kelam Jakarta adalah Matahari Tenggelam di Utara yang ditulis oleh Cyntha Hariadi. Cerpen ini menceritakan kedekatan sepasang sahabat SMA bernama Ace dan Tata yang terpisahkan akibat konflik rasial pada Mei 1998. Keduanya adalah keturunan Tionghoa dengan perbedaan strata sosial yang mencolok. Salah satu tempat yang menjadi latar ceritanya adalah Pantai Mutiara. Cerita ini meninggalkan secuil rasa gamang, kesedihan, sekaligus keindahan.
Munculnya kedua cerpen tersebut mengingatkan para pembaca bahwa isu prostitusi, premanisme, dan kenangan kolektif terkait kerusuhan Mei 1998 sudah melekat dalam tubuh Jakarta sejak dulu. Para penulis membangun hubungan yang dekat sekaligus jauh di antara para tokoh dalam kedua cerpen tersebut. Isu-isu sosial yang diangkat berlagak seperti hantu masa lalu yang dapat menyergap para tokoh utama kapan saja.
Baca juga:
Mimpi Masa Depan
Ada yang unik dari cerpen Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie berjudul Anak-Anak Dewasa. Cerpen ini mengisahkan sekumpulan lansia yang hendak pergi ke Dunia Fantasi untuk mengakhiri hidup ketika ibu kota negara sudah berpindah tempat dan wahana Istana Boneka akan beroperasi untuk yang terakhir kalinya. Bukan Ziggy rasanya jika tidak memberi plot twist cerita karena satu dari sekian lansia menolak mati.
Di lain sisi, kemajuan teknologi yang gila-gilaan serta Jakarta yang sebagiannya telah tenggelam menjadi latar belakang cerpen Buyan yang ditulis oleh Utiuts. Tante Nana terjebak dalam mobil tanpa supir yang aplikasinya mengarahkan mobil yang ditumpanginya ke kawasan banjir. Tak selamanya perkembangan teknologi, komunikasi, dan informasi membawa manusia pada kemudahan, bukan?
Kedua cerpen ini menggambarkan Jakarta dari masa depan dengan sudut pandang yang pesimistis dan ironis. Cerpen-cerpen ini membuat saya berkontemplasi, apakah masa depan akan berjalan sesuai dengan harapan? Apakah masa depan akan menjadi lebih baik daripada masa lalu? Apa yang bisa diharapkan dari masa depan?
Dinamika Kehidupan yang Beragam
Entah mengapa, cerpen B217AN karya Ratri Ninditya sangat terkoneksi dengan saya meskipun saya tidak tinggal di Jakarta. Mungkin karena Ratri menyuguhkan karakter anak muda seusia saya yang sedang sejatuh-jatuhnya dalam hal cinta, diliputi kebimbangan, dan selalu ingin mengeksplorasi seisi kota sampai ke sudut-sudutnya demi menciptakan kenangan bersama orang terkasih. Lagi, cerpen Aroma Terasi milik Hanna Fransisca merepresentasikan birokrasi berbelit-belit yang mesti ia jalani di kantor imigrasi dengan segala kegelisahan dan kesialan tokoh utamanya.
Cerita lain yang menggugah adalah cerita tokoh Yuli, Gembok, dan seorang teman baru gembok di cerpen Masalah karya Sabda Armandio. Berlatar belakang situasi panasnya demonstrasi di Jakarta yang menuntut ini-itu, Dio mengangkat isu-isu aktual lewat dialog tokohnya. Tak kalah, cerpen Haji Syiah karya Ben Sohib menunjukkan bagaimana sebuah kota dapat mengubah kepribadian dan sikap individu kepada orang yang sebelumnya dikenalnya dengan baik.
Cerita lain yang menggugah adalah Pengakuan Teater Palsu karya Afrizal Malna. Berlatar belakang dunia teater, sang pengarang mengajak pembaca untuk mempertanyakan segala macam persoalan melalui tokoh Frans yang berpura-pura gila. Terakhir, cerpen Suatu Hari dalam Kehidupan Seorang Warga Depok yang Pergi ke Jakarta hasil coretan Yusi Avianto Pareanom mengajak para pembaca menyusuri perjalanan tokoh utamanya dari Depok menuju Jakarta dan kembali ke Depok yang dipenuhi dengan percakapan-percakapan acak yang intim.
Baca juga:
Antologi cerpen ini penuh dengan keberagaman tokoh, konflik, latar, serta emosi. Meski beragam, masing-masing cerita tersebut seakan terhubung oleh benang merah yang membawa masing-masing cerita kepada satu titik, yakni Jakarta itu sendiri. Setiap cerpen yang saya baca dapat meninggalkan kesan mendalam dan tidak mudah untuk dilupakan dalam beberapa saat ke depan setelah membacanya.
Bagi saya, Jakarta adalah kota yang tak ingin saya sentuh. Berjarak sejauh sekitar 150-an kilometer yang makan waktu tiga jam perjalanan dari kota tempat tinggal saya, saya berpikir bahwa Jakarta adalah sebuah kubus raksasa yang begitu penuh sesak dan tak pernah tenang. Meskipun begitu, buku antologi cerpen ini seakan menggugah saya untuk menulis kisah-kisah unik dan kaya dari kota tempat tinggal saya sendiri.
Editor: Emma Amelia
One Reply to “Seikat Kisah dari Jakarta”