Saya tinggal di Jakarta sejak awal Bang Yos naik jadi Gubernur DKI; saat Lebak Bulus masih jadi terminal tempat ngetem angkot-angkot jurusan Parung, Pamulang, dan Ciputat; jauh sebelum Stadion Lebak Bulus dirobohkan; dan saya ikut menyaksikan teman sekelas saya izin tak masuk sekolah karena rumahnya jadi korban tragedi jebolnya Tanggul Situ Gintung.
Dahulu saya mengenal Jakarta sebagai anak sekolahan. Saya senang-senang saja tinggal di Jakarta karena belum terlalu merasakan macet ibu kota. Jakarta terasa menyenangkan saat masih jadi wahana bermain dan berkumpul dengan teman-teman.
Semasa jadi pelajar, belum ada tuntutan apa pun selain belajar yang benar dan mengerjakan pekerjaan rumah. Hampir saban malam saya menelepon rumah teman sebangku dan menanyakan ada tugas apa besok. Saking seringnya, sampai hari ini saya masih hafal nomor telepon rumahnya yang dulu tercantum di Yellow Pages.
Baca juga:
Jakarta baru menampakkan wajahnya yang berbeda selepas saya lulus kuliah. Tahun 2019 saya mulai mencari-cari kerja dan akhirnya diterima tahun berikutnya. Saya masih ingat awal-awal saya ngantor di Cideng, Jakarta Pusat. Jadwal masuk kerja masih fleksibel mulai pukul 7 pagi hingga maksimal pukul 11 menjelang Zuhur. Sementara pulangnya tinggal menghitung saja delapan jam kerja. Yang rajin datang pukul 07.00 bisa segera cabut pukul 15.00. Di Jakarta pulang jam segitu belum masuk waktu Asar. Dan secepat-cepatnya jam pulang bagi yang datang pukul 11.00 adalah menjelang Isya.
Waktu itu saya selalu menargetkan masuk lebih cepat agar bisa pulang lebih awal. Patokan saya, maksimal pukul 17.00 harus segera cabut dari kantor. Maka jika ada kesempatan berangkat lebih pagi, saya selalu memilih opsi itu, karena Jakarta sehabis Magrib terasa tidak menyenangkan untuk perjalanan pulang.
Bagi saya, Jakarta sehabis Magrib pernah menjadi kota yang syahdu semasa kecil, karena di kala itulah jadwal saya mengaji di masjid. Namun, setelah cukup dewasa, saya merasa Jakarta sehabis Magrib adalah kota yang muram.
Sehabis Magrib sampai masuk waktu Isya, jeda antar kendaraan bakal makin sempit dan menumpuk, dan tak ada yang lebih memuakkan dari Jakarta yang berjeda. Jika menunggu pulang lewat pukul 8 malam, jalan raya akan mulai kosong, tetapi yang berjalan pulang di trotoar akan makin sering kita jumpai.
Sehabis Isya adalah jam pulang untuk para manusia silver yang biasa mangkal di lampu merah juga badut boneka aneka rupa yang biasa berjoget di pinggir jalan. Saya berpapasan dengan mereka saat berangkat kerja, dengan keteguhan hidup sekeras batu karang. Manusia silver diam sediam-diamnya; dan badut boneka seperti halnya yang saya jumpai di taman hiburan atau acara ulang tahun anak-anak, tampak berusaha menghibur siapa saja.
Jika saya masih di kantor sehabis Magrib dan harus pulang menunggu jalan raya agak lengang, saya bisa sampai rumah dalam waktu kurang dari sejam (yang biasanya butuh setengah hingga satu jam lebih lama). Namun, sialnya saya akan menjumpai manusia silver dan badut boneka pulang entah ke mana, dan saya hanya bisa menatapi punggung mereka. Pemandangan dari belakang itu terlihat memilukan.
Pulang sehabis Magrib tidak menyenangkan sama sekali, baik jalanan macet atau lancar, semua terasa panjang dan melelahkan. Melihat pria-pria berkostum boneka menenteng kepala bonekanya di ketiak sambil menunduk, mengukur langkah kaki mereka sendiri, sama dengan melihat suporter klub bola klasemen bawah yang habis kalah di kandang. Saya lalu merasa sepertinya hidup di Jakarta adalah delapan jam bekerja, delapan jam di rumah, dan delapan jam di jalan.
Ziggy pernah menulis novel Jakarta Sebelum Pagi, di sana Jakarta terlihat lebih arif dan bijaksana, seperti orang tua yang tinggal menunggu mati tanpa ada penyesalan. Dalam film Lovely Man yang dibintangi Donny Damara, seorang banci mengajak putrinya jalan-jalan lewat tengah malam, dan bilang bahwa di saat seperti itu Jakarta terasa paling menyenangkan. Kenyataannya, yang saya rasakan hanya was-was dan takut dibegal kalau masih di jalan lewat dari pukul 12 malam.
Baca juga:
Jakarta sehabis Magrib hingga Subuh adalah kota yang sendu. Lebih baik segera bersembunyi di rumah dan menghabiskan makan malam bersama keluarga, selagi masih ada keluarga. Kalaupun tidak ada yang menunggu di rumah, segera pulang tetap lebih baik, karena tidak ada yang menunggu juga di jalan.
Jakarta sebelum Magrib—meski terik dan bikin kulit belang bagi pengendara motor—masih lebih baik dari Jakarta sehabis Magrib. Sebelum Magrib, nadi-nadi kehidupan di Jakarta masih berdegup dan semangat hidup itu memberi harapan. Melihat siapa pun bekerja seputus asa apa pun kondisinya: berjualan kerupuk bawang; menjajakan tisu; mengamen; sampai membersihkan kaca mobil, semua terasa lebih bergairah.
Gairah hidup Jakarta seakan berhenti sehabis Magrib. Maka saya ingin berangkat kerja sepagi mungkin dan pulang sedini mungkin. Namun, apalah daya, tampaknya angan merupakan satu anugerah lain yang jadi kutukan orang Jakarta.
Saya hanya bisa berangan sampai di rumah sebelum Magrib, sedangkan bos-bos di tempat kerja saya dulu jarang menengok ke bawah, susah mengganti uang bensin atau memberi uang lembur, dan berbusa-busa menyampaikan bahwa kantor adalah rumah kedua. Sambil berangan-angan bisa pulang cepat, saya harus bersyukur bahwa hidup bisa terus berjalan selama saya masih bekerja; selama orang-orang masih bekerja. Hanya dengan memikirkan itu, rasanya hidup masih baik-baik saja.
Editor: Prihandini N
2 Replies to “Jakarta Sebelum dan Sehabis Magrib”