Pada zaman jahiliyah, eksistensi perempuan dipandang sebelah mata dan tak dianggap. Stigma orang-orang jahiliyah terhadap mereka begitu miris—mereka dilihat hanya sebagai makhluk liyan dan ladang kesialan.
Jarang sekali perempuan dilibatkan dalam perkumpulan sosial, apalagi berperan dalam memutuskan kebijakan penting dan strategis. Bagi mereka, alasannya sederhana saja, perempuan hanya akan menyulitkan dan memperkeruh keadaan.
Perempuan dipasung, tak berdaya sama sekali. Hanya dilihat untuk kepuasan syahwat dan kenikmatan belaka. Habis manis, mereka ditundung dan dibuang. Hak-hak yang mestinya mereka rasakan dirampas paksa secara sewenang-wenang.
Baca juga:
Kemudian, Islam hadir menjadi penolong bagi mereka-mereka yang dilemahkan, utamanya kaum perempuan. Tidak cukup hanya mengembalikan hak-hak mereka, lebih dari itu, Islam mengangkat derajat dan kemuliaannya.
Satu per satu hak-hak mereka dapatkan kembali, berangsur-angsur perempuan terjun aktif di ranah publik dan sosial. Contohnya bisa kita lihat di catatan sejarah dari sosok Sayyidah Aisyah RA, istri kinasih Rasulullah SAW yang pernah diangkat dan didapuk jadi panglima perang Jamal.
Ragam Tafsir
Al-Quran diwahyukan kepada Rasulullah SAW melalui perantara malaikat Jibril sebagai mukjizat kenabian. Al-Quran juga menjadi rujukan pertama ketika suatu permasalahan sedang terjadi. Meski al-Quran dalam periwayatannya menduduki tingkatan qath’i ats-tsubut, dalam penafsirannya, al-Quran mempunyai 2 tingkatan: qath’i addalalah dan dzanni addalalah. Perbedaan sudut pandang dan argumentasi di kalangan para ahli fikih inilah yang jadi buntut beragamnya penafsiran-penafsiran itu.
Kini, banyak sekali orientalis yang coba mempelajari dan ikut meneliti tafsiran ayat Al-Quran. Tidak jarang motif mereka diselubungi oleh niatan untuk merendahkan Islam. Bangunan argumen mereka yang kelihatan logis dan tampak masuk akal membuat siapa pun bisa terperdaya.
Salah satu argumen yang masih menjadi perdebatan hangat adalah masalah hak waris perempuan. Kebanyakan dari mereka mengacu pada penggalan ayat surah An-Nisa ayat 11 berikut ini:
يُوْصِيْكُمُ اللّٰهُ فِيْٓ اَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِ ۚ
Artinya: “Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.”
Mereka berargumen secara serampangan bahwa Islam telah melakukan hal yang zalim kepada kaum perempuan perihal harta warisan. Islam dinilai berat sebelah pada pembagian harta warisan antara laki-laki dan perempuan. Sungguh ini tak berdasar dan dangkal sekali.
Cacat argumen ini imbas dari cara memahami ayat-ayat Al-Quran secara letterlijk. Mereka abai terhadap kajian sejarah maupun sebab-sebab turunnya ayat tersebut.
Alhasil, argumen yang dikeluarkan hanya sebatas teks terjemah saja tanpa pemahaman yang mendalam. Meskipun begitu, argumen tersebut diyakini oleh masyarakat luas dan menjadi pertanyaan besar bagi sebagian orang yang mengkritisi ayat Al-Quran.
Tentunya, para ulama kontemporer sudah banyak menerima pertanyaan semacam ini. Salah satunya Syeikh Ali Jum’ah. Mantan mufti Mesir ini sudah memberikan jawaban superrinci dalam kitab Al-Mar’ah fi AlHadloroh Al-Islamiyah baina Nusus Asy-Syar’i wa At-Turats Al-Fiqhi wal Waqi’ Al-Ma’isy. Syeikh Ali Jum’ah menjelaskan bahwa yang memberikan anshibah atau bagian-bagian harta warisan itu bukanlah Nabi Muhammad SAW ataupun ijtihad para ulama, tetapi Allah SWT sendiri.
Sebagaimana tertuang di beberapa ayat Al-Quran yang menyebutkan pembagian khusus dalam warisan, ranah ijtihad dalam permasalahan fiqih mawarits ini intinya hanya sebatas yang ada dalam Al-Quran dan hadis saja.
Syeikh Ali Jum’ah juga memaparkan bahwa terdapat tiga kondisi ketika perempuan tidak mendapatkan bagian warisan lebih sedikit daripada laki-laki.
Pertama, tingkat kedekatan antara warits (orang yang mendapatkan warisan) dan muwarits (yang meninggalkan warisan). Misalnya, anak perempuan tunggal yang mendapatkan harta warisan setengah dari harta ibunya yang meninggal. Sementara itu, si suami—laki-laki—mendapatkan seperempat dari harta istrinya. Anak lebih dekat ke ibu dibanding istri ke suami, maka hak warisan anak perempuan lebih banyak.
Kedua, posisi generasi warits. Kebutuhan hidup orang paruh baya ditanggung oleh anaknya—tanpa pandang jenis kelamin—karena kelangsungan hidup yang tidak memungkinkan seorang paruh baya menanggung kehidupannya dan anaknya. Contohnya, seorang anak perempuan yang ditinggal meninggal bapaknya mendapatkan warisan lebih banyak daripada ibunya meskipun si anak perempuan memiliki saudara laki-laki.
Ketiga, beban finansial. Terkait kondisi ini, Syeikh Ali Jum’ah sangat menggarisbawahi ketentuan dua banding satu yang sering disalahpahami itu. Ketentuan ini bukanlah berarti kezaliman atau ketidakadilan. Justru, sebaliknya, hal ini bukti keadilan bagi kaum perempuan itu sendiri.
Keistimewaan ini dikhususkan hanya untuk perempuan. Pasalnya, ketika hak waris perempuan diberikan, maka keseluruhan harta yang diterima menjadi milik sepenuhnya. Beda dengan laki-laki, harta yang ada di tangan mereka bukan seutuhnya miliknya. Dalam artian, laki-laki memiliki tanggung jawab atas hidup keluarganya, baik itu ibunya, adik perempuannya, anaknya, maupun istrinya.
Laki-laki harus memberi nafkah untuk keluarganya. Oleh sebab itu, tanggungan laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan sehingga harta waris laki-laki ini yang dijadikan tumpuannya.
Untuk lebih menguatkan pemaparan di atas, Syeikh Ali Jum’ah juga memberikan beberapa kasus ketika perempuan mendapatkan bagian warisan setengah, setara, lebih banyak, atau bahkan hanya dia seorang yang mendapatkan harta warisan.
Keadaan pertama, perempuan mendapatkan harta warisan setengah dari laki-laki ketika anak perempuan bersama saudara laki-lakinya ditinggal mati salah satu orang tuanya.
Keadaan kedua, perempuan mendapatkan harta warisan setara dengan laki-laki seperti saudara perempuan seibu atau laki-laki seibu.
Keadaan ketiga, perempuan mendapatkan harta warisan lebih banyak daripada laki-laki pada kondisi ketika suami bersama anak perempuan tunggalnya yang ditinggal mati istrinya.
Keadaan keempat, hanya perempuan yang mendapatkan warisan, yakni ketika seseorang meninggal dengan meninggalkan kakek dan nenek dari pihak ibu. Pada keadaan ini, nenek mendapatkan harta warisan semuanya. Dalam anshibah harta warisan, si nenek mendapatkan seperenam dari harta dan sisa harta sebagai hadiah untuknya karena tidak ada lagi ahli waris lain. Sementara itu, si kakek tidak mendapatkan harta warisan sama sekali karena dia bukan termasuk orang yang mendapatkannya.
Baca juga:
Sebenarnya, masih banyak lagi permasalahan hak waris perempuan yang membuktikan bahwa tidak selamanya perempuan mendapatkan setengah dari laki-laki. Dalam permasalahan apa pun, Islam sama sekali tidak membedakan hak antara laki-laki dan perempuan. Terlepas dari hikmah yang menyertainya, adanya perbedaan hak bisa saja terjadi karena adat suatu daerah atau peraturan suatu negara yang menjadikan perempuan tidak berkutik.
Wallahu ‘alam bi ash-showwab.
Editor: Emma Amelia