Sekitar pertengahan tahun 2013, untuk pertama kalinya saya mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. Dengan sebuah tas cangklong dan koper berukuran sedang, saya berjalan menuju terminal Damri untuk jadwal keberangkatan menuju Terminal Lebak Bulus. Tak berselang lama, sebuah bus dengan kaca depan bertuliskan Bandara-Lebak Bulus tiba. Saya bergegas mencari tempat duduk yang kosong.
Sepanjang perjalanan, saya tidak henti melihat ke luar kaca. Ada dunia lain yang bekerja di luar sana. Sebagai seorang “udik” yang datang dari pulau seberang, saya dibuat heran dengan banyak hal. Jalan-jalan mulus bertingkat, gedung-gedung besar penuh cahaya, kemacetan yang seolah tak berujung, juga orang- orang di sekitar saya yang bercakap dengan “elu-gue”. Saya seperti berada dalam dunia rekaan yang ganjil. Sebab, semua hal yang saya alami sebelumnya hanya dapat saya saksikan di televisi dan media sosial.
Kecanggungan semacam ini merupakan hal yang lumrah. Saya tentu tidak sendiri, para pendatang lain pun, terutama yang berasal dari daerah, pasti akan mengalami pengalaman serupa. Keudikan tersebut lambat laun menghilang seiring waktu. Tidak sebentar, perlu banyak penyesuaian memang, hingga pada akhirnya kita dapat menjadi bagian dari masyarakat baru yang hidup dan berbaur di perkotaan.
Upaya adaptasi pun mesti dilakukan, salah satunya dalam hal komunikasi. Sejak kecil hingga lulus pesantren, saya tidak pernah sekalipun diajarkan oleh orangtua atau para guru untuk menggunakan kata ganti “elu-gue” dalam percakapan sehari-hari karena kami terbiasa menggunakan bahasa Melayu Banjar. Namun, semasa kuliah, pada akhirnya saya turut menggunakan kata ganti tersebut agar dapat lebih luwes dalam berinteraksi sehari-hari.
Jika saya bersikeras menggunakan kata ganti “saya” atau “aku” dalam pergaulan sehari-hari ketika berinteraksi dengan karib dekat, kesannya formalistik dan berjarak, bahkan cenderung kaku. Anasir persahabatan yang memiliki kesan cair dan santai seketika terhalang tembok tinggi hanya gara-gara preferensi kata ganti.
Belakangan, saya memahami bahwa apa yang saya alami itu merupakan bagian dari gegar budaya.
Baca juga:
Berdasarkan uraian dalam sebuah artikel jurnal berjudul Analytical Theory: Gegar Budaya (2020) yang diuraikan Sabrina Maizan, dkk., gegar budaya merupakan reaksi emosi terhadap perbedaan budaya yang tidak terduga sehingga kerap terjadi kesalahpahaman terhadap pengalaman yang berbeda. Kesalahpahaman itu pun mengakibatkan munculnya perasaan tidak berdaya, mudah terpancing emosi, takut akan dibohongi dan dilukai, serta diabaikan.
Teori gegar budaya pertama kali dicetuskan pada tahun 1959 oleh Edward T. Hall, seorang antropolog Amerika, dalam bukunya yang berjudul The Silent Language. Gegar budaya ia definisikan sebagai sebuah gangguan karena semua hal di tempat baru dan asing yang berbeda dari tempat asal seseorang.
Hall menjabarkan terjadinya gegar budaya dalam empat proses. Pertama, tahap bulan madu yang ditandai dengan perasaan bahagia saat seseorang tiba di tempat baru. Ia membayangkan bahwa tempat barunya akan memberikan pengalaman dan hal-hal yang menyenangkan. Dalam hal ini, kita bisa mengambil contoh seorang mahasiswa dari dusun antah berantah yang bersemangat menempuh pendidikan tinggi di Ibukota. Dengan penuh sukacita, ia menata kamar kosnya, membeli perabotan baru, dan membayangkan ruang kelas yang menyenangkan.
Kedua, tahap krisis, yakni munculnya perasaan tidak berdaya karena perbedaan signifikan dengan daerah asalnya. Perbedaan latar belakang bahasa, tradisi, sosial, dan faktor lainnya yang dirasakan si mahasiswa baru menjadi alasan munculnya ketidaknyamanan tersebut. Namun, hal ini biasanya tidak berlangsung lama, tergantung kemampuan si mahasiswa untuk segera mengatasinya melalui penyesuaian diri yang baik. Asal tidak cerewet dan bersikap terbuka, fase ini akan mudah ia lalui.
Ketiga, tahap penyesuaian. Si mahasiswa baru mulai membangun interaksi positif dengan lingkungan barunya. Ia sudah mulai pandai berbaur, terbiasa dengan budaya baru, serta fasih menggunakan bahasa setempat. Ia juga sudah pandai menyikapi perbedaan di lingkungannya. Fase ini merupakan hal terpenting dan menjadi penentu baginya untuk menghadapi tahun-tahun yang akan ia lewati setelahnya.
Keempat, tahap dwikebudayaan. Pada fase terakhir gegar budaya ini, mahasiswa merasa nyaman dengan kedua budaya yang dimilikinya. Hal ini menunjukkan keberhasilannya melewati tantangan adaptasi. Namun, sayangnya, ada pula orang yang terlalu mengagungkan budaya dan bahasa asing sehingga merasa menjadi orang baru ketika kembali ke kampung halamannya.
Baca juga:
Teori gegar budaya yang dilahirkan Hall ini semakin diperkuat dengan penelitian lapangan yang dilakukan oleh Kalervo Oberg, seorang antropolog dan ahli etika asal Kanada.
Kalervo Oberg meneliti fenomena gegar budaya yang dialami oleh imigran Amerika yang bekerja sebagai teknisi di Rio de Janeiro, Brazil. Para imigran baru ini sama sekali belum memiliki pengalaman tinggal di luar negeri sebelumnya. Dengan tekun dan sabar, Oberg mencatat adanya pola umum dalam sindrom gegar budaya yang dialami oleh imigran tersebut dalam Symptoms of Culture Shock (1960).
Pada awalnya, para imigran tersebut merasa senang ketika ditugaskan di Brazil. Namun, rupanya kesenangan itu tidak berlangsung lama. Dengan segera, mereka mengalami transisi menuju fase depresi. Mereka cenderung merasa kecewa, sering memberikan kritik yang keras terhadap budaya Brazil, dan mulai memiliki kesadaran akan masalah kesehatan. Mereka menilai orang Brazil memiliki gaya hidup serampangan, tidak sehat. Oberg mengamati fenomena ini secara informal dengan mendiskusikannya bersama istri-istri imigran Amerika dalam suatu klub di Rio de Janeiro.
Penelitian yang dilakukan oleh Oberg menjelaskan aspek lain gegar budaya, yakni kegagalan seorang pendatang melampaui pengalaman gegar budaya. Pertama, muncul ketegangan pada individu imigran dalam upaya untuk beradaptasi secara psikologis. Kedua, rasa kehilangan teman, status, profesi, dan harta. Ketiga, ditolak atau menolak anggota budaya baru yang dilanjutkan dengan kebingungan dalam menentukan peran, harapan, dan nilai diri di masyarakat baru. Kemudian, para pendatang juga merasa cemas hingga jijik dan marah saat menyadari adanya perbedaan budaya. Terakhir, muncul pula perasaan tidak berdaya karena kurang atau bahkan tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan baru.
Gegar budaya merupakan hal yang lazim dirasakan dan dialami oleh siapa pun. Dengan berpikiran terbuka dalam menerima perbedaan, membuka diri seluas-luasnya terhadap pengalaman baru, serta memperbanyak sosialisasi, kita akan mudah beradaptasi dan merasa nyaman dengan lingkungan baru.
Penyesuaian diri dengan lingkungan baru bisa diawali dengan cara kita berbahasa. Sebab, bahasa merupakan senjata utama untuk dapat terhubung dengan manusia lain secara langsung. Kita tidak perlu kaget mendapati orang-orang di Ibukota dan sekitarnya bicara pakai “elu-gue” yang diucapkan dengan logat medok ala Jawa atau mengayun seperti logat Melayu. Sebab, itu bentuk usaha orang untuk dapat menjadi bagian dari dunia baru yang kini mereka tinggali.
Editor: Emma Amelia