“Segala sesuatu yang terjadi pada kita, baik ataupun buruk, pasti berlalu. Yang tersisa hanya ingatan bahwa dulu kita pernah sangat bahagia atau sangat sedih. Lalu ingatan itu pun nantinya akan memudar.” —Andina Dwifatma
Menyoal pencarian jati diri dan segala hal yang berkelindan di dalamnya menjadi topik yang tak pernah luput untuk diulas dalam sebuah karya sastra. Ada banyak sekali karya sastra yang membahas mengenai pencarian jati diri, bermula dari keterpurukan hingga menjelma keutuhan. Saya pikir tidak hanya karya sastra yang gemar mengulik topik tersebut. Karya non-sastra pun juga demikian. Buktinya, buku-buku pengembangan diri digemari oleh banyak orang. Tersebab itu, topik ini bisa dibilang sebagai evergreen, akan relevan sepanjang waktu.
Dalam kesusastraan Indonesia, topik tersebut banyak ditemukan dalam karya-karya Budi Darma dan Dee Lestari. Sebut saja, novel Olenka (1983) dan Orang-Orang Bloomington (1980) Budi Darma, serta seri Supernova dan trilogi Rapijali Dee Lestari. Novel-novel tersebut mengulik bagaimana isu pencarian jati diri dapat disajikan dengan berbagai sudut pandang unik dan eksklusif sehingga berhasil menarik perhatian banyak pembaca.
Baca juga:
Topik pencarian jati diri selalu mengingatkan saya pada novel Semusim, dan Semusim Lagi. Novel debut Andina Dwifatma ini menyandang gelar Pemenang Utama Sayembara Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 2012. Novel ini cukup membuat diri saya bertanya-tanya tentang cerita yang disajikan oleh penulis. Namun, konsistensi penulis dalam mengukuhkan cerita hingga akhir membuat saya penuh hati untuk jatuh cinta terhadap novel ini. Tidak salah jika dewan juri DKJ memberikan komentar “…ditulis dengan teknik penceritaan yang intens, serius, eksploratif, dan mencekam.”
Melalui Semusim, dan Semusim Lagi, Andina Dwifatma menghadirkan realitas pencarian jati diri yang dialami oleh tokoh utama, Aku (nama tidak disebutkan dalam novel). Dengan kompleksitas permasalahan yang terpampang dan taburan unsur surealisme yang membuat pembaca cukup geregetan karena menjadi biang keladi permasalahan tokoh. Hal yang tak boleh dilupakan dari novel ini adalah penyematan pengetahuan-pengetahuan tentang musik dan fakta dunia yang mungkin membuat sebagian pembaca berkata “oalah”, “oh”, “hah?”, dan lain sebagainya. Singkat kata, novel ini cukup mengasyikkan sekaligus memilukan.
Namun, saya hanya akan mengulas bagaimana proses pencarian jati diri tokoh utama di setiap musim yang ia lalui. Saya rasa, novel ini benar-benar memanifestasikan kata-kata Socrates, gnothi seauton, yang berarti “ketahuilah dirimu sendiri”.
Perjalanan di Musim-Musim Memberatkan
Novel Semusim, dan Semusim Lagi dibuka dengan keputusan tokoh Aku (selanjutnya disebut ia) untuk pergi mencari sang ayah setelah menerima dua surat: surat pengumuman diterima di sebuah universitas dan surat misterius yang diduga dari ayahnya. Selama hidupnya, ia tidak pernah mengetahui dan mengenal sosok ayahnya. Ia hanya tinggal di rumah bersama ibunya. Di novel tersebut, ia dan ibunya diceritakan tidak memiliki hubungan yang dekat, bahkan jarang berkomunikasi satu sama lain. Lalu, rasa penasarannya terhadap surat misterius itu membulatkan tekadnya untuk pergi dari rumah dan menemui ayahnya.
Ia mendapat telepon dari J.J. Henri, salah seorang karyawan ayahnya yang akan mengantarnya ke Kota S untuk menemui sang ayah. Selama tinggal di Kota S bersama J.J. Henri, ia berkenalan dengana anak J.J. Henri, Muara, seorang mahasiswa arsitektur.
Momen-momen yang ia lalui bersama Muara membuat ia kagum dan jatuh hati kepada Muara.
“Bersama Muara aku merasa seperti mesin karatan yang baru diperbaiki. Bautku yang usang diganti, dilumasi, dan aku kembali berfungsi. Rasa sedih dan cemas hilang dari hatiku. Sebelum bertemu Muara aku selalu merasa tidak butuh berbagai dengan orang lain.”
Hingga akhirnya, mereka saling melabuhkan badan satu sama lain.
“Muara menciumku dengan pelan, tenang, sedikit pun tidak tergesa-gesa, tetapi aku merasa seolah-olah tubuhku mau meledak. Tubuh kami rileks dalam posisi duduk yang tidak berubah. Kedua tanganku terlipat rapi di pangkuan, tangan kanan di atas tangan kiri, ….”
Hal tersebut rutin mereka lakukan layaknya dua orang kekasih. Padahal, mereka tidak saling berkomitmen berhubungan satu sama lain. Sebab, Muara telah memiliki gadis lain yang ia cintai.
Tokoh Aku akhirnya bertemu dan berkenalan dengan Oma Jaya dan ikan peliharaannya, Sobron, yang dianggap jelmaan suaminya. Oma Jaya percaya bahwa Sobron bisa berbicara dan mendengar dirinya. Namun, siapa sangka, tokoh aku ikut berhalusinasi seperti Oma Jaya. Ia mengobrol dengan Sobron dan menganggap Sobron berwujud nyata.
Hingga suatu hari, ia sakit dan mual. Lalu, ia menceritakan kondisinya kepada Sobron. Lantas, Sobron membisikkan kepada ia, “… (namaku), kamu sedang hamil.” Ia merasa terpukul dan tidak percaya dengan apa yang telah dikatakan Sobron. Setelah mendengar kabar itu, ia langsung mengatakan kehamilanya kepada Muara. Akan tetapi, Muara justru meminta ia untuk mengecek kembali kandungannya dan menggugurkannya. Hal yang tak terduga pun terjadi. Setelah mendengar perkataan Muara, ia marah dan menusuk leher Muara dengan pisau yang diberikan oleh Sobron.
Setelah kejadian itu, ia langsung dibawa ke kantor polisi untuk diinterogasi atas apa yang telah ia perbuat kepada Muara.
“Kau tentu tahu, ketika terjadi perbuatan kriminal, harus ada interogasi. Rekanku akan mencatat semua perkataanmu, dan yang perlu kaulakukan hanyalah menjawab pertanyaan-pertanyaan dariku. Mengerti?”
Setelah berhari-hari ia lewatkan di kantor polisi, akhirnya Mamanya datang untuk menjemput dan membawanya pulang. Namun, bukan pulang ke rumah, melainkan pulang ke Rumah Putih (rumah sakit jiwa). Ia diperlakukan layaknya pasien sakit jiwa dan terus dipaksa untuk minum obat yang ia tidak mau.
“Aku paham tak ada gunanya berdebat dengan dia. Kuterima obatku, mendorongnya ke mulut dengan sisa teh hangat. Aku pura-pura batuk, memuntahkan pil dan kapsul di tanganku, lantas membuangnya secepat kilat di salah satu pot ruang tengah, ….”
Di Rumah Putih itu, ia mengetahui fakta dari Dokter Iwan bahwa Sobron hanyalah ilusi belaka. Segala persoalan yang menimpa dirinya adalah perbuatannya sendiri, bukan Sobron. Ia menciptakan segalanya. Dan, satu lagi, ia tidak hamil. Semua perkataan Sobron hanya ilusi belaka yang membuat ia terjerumus pada ketragisan. Pikirannya membuat ia menghancurkan dirinya sendiri.
“Aku tidak hamil. Aku menciptakan semuanya. Tidak ada satu pun dari kata-kataku yang sungguh-sungguh terjadi. Kepalaku meledak jadi serpihan-serpihan kecil.”
Akhirnya, sang ayah datang mengunjunginya. Kedatangan sang ayah bagaikan penyejuk di kala hatinya tengah memanas karena musim yang begitu berat.
“Aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada hidupku selanjutnya, tapi anehnya, aku merasa semusim paling berat dalam hidupku telah terlewati, dan aku siap untuk musim selanjutnya. Lalu mungkin semusim, dan semusim lagi … Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku benar-benar bahagia.”
Baca juga:
Semusim, dan Semusim Lagi berhasil menyuguhkan cerita pencarian jati diri yang segar. Pencarian sosok ayah berakhir menjadi pencarian diri sendiri yang hilang karena musim-musim berat yang mesti dilalui.
Asmaranya dengan Muara membuat ia hilang kendali dan melupakan tujuan utamanya. Sebab, cinta bersifat memabukkan; ia hanya datang untuk memberikan kebahagiaan sementara, lantas pergi meninggalkan penyesalan. Karena cinta, seseorang dapat menaruh seluruh hidupnya demi orang lain dan meninggalkan dirinya sendiri. Hal demikianlah yang menimpa tokoh Aku.
Kekecewaan demi kekecewaan yang tumbuh dari asmara itu menjelma menjadi ilusi. Hingga akhirnya, ilusi menghancurkan dirinya. Apa yang utuh dalam diri menjadi terbenam karena ilusi tersebut.
Semusim, dan Semusim Lagi menggambarkan apa yang hilang dan kembali pada diri, yaitu keutuhan diri. Kehilangan jati diri bisa disebabkan karena orang lain maupun diri sendiri. Apa yang kembali pada diri adalah kesadaran terhadap diri sendiri. Menyadari bahwa yang paling penting adalah mendengarkan diri dan berfokus pada diri. Keluarga, kekasih, ataupun teman, mereka ialah cerminan atas perlakuan kita terhadap diri sendiri.
Jangan sampai kekecewaan terhadap diri maupun orang lain menjadi harimau yang menerkam diri sendiri. Sebaik-baiknya pencarian jati diri ialah kembali pada diri sendiri.
Editor: Emma Amelia