Seperti mimpi buruk yang terasa nyata, sebagian besar dari kita merasa kewalahan dengan apa yang terjadi akhir-akhir ini.
Berita Pemilu 2024, kasus perceraian artis, gaduh ChatGPT, gosip-gosip kaleng, rasisme dan intoleransi, berita kematian, dan masih banyak lagi yang datang silih berganti di beranda media sosial kita. Belum lagi, pekerjaan yang menumpuk, tubuh yang lesu, dan cuaca yang tidak menentu akibat krisis iklim. Tidak bisa dimungkiri, hal-hal menyedihkan itu memengaruhi fisik dan mental saya secara keseluruhan. Mungkin bagi Anda juga.
Sadar atau tidak, semakin kita bertumbuh dewasa di dunia yang super gila ini, semakin kita yakin bahwa kekacauan akan terus-menerus menghantam kita. Menurut Laporan Kebahagiaan Dunia 2023, Indonesia adalah negara bahagia ke-84 dari 109 negara. Saya melihat tanda-tanda lain: buku self-improvement semakin laku di pasaran, seakan menunjukkan banyak orang butuh diberi puk-puk. Selain itu, layanan konseling daring semakin digandrungi para remaja dan dewasa muda karena biayanya lebih murah dan mudah diakses ketimbang yang luring.
Pertanyaan baru muncul dalam benak saya: bagaimana kita bisa hidup dengan bahagia di tengah-tengah dunia yang gaduh dan serba cepat ini?
Baca juga:
Andina Dwifatma baru saja menerbitkan buku kumpulan esai ringan pertamanya yang berjudul Menua dengan Gembira. Sebagai warga pinggiran Jakarta—Ciputat, Andina menangkap persoalan kehidupan kekinian yang dirasakan juga oleh orang yang senasib dengannya dalam esai-esai di buku ini.
Esai Yang Terjepit dan Terdesak memaparkan realitas para pekerja yang berdomisili di pinggiran Jakarta yang mesti menempuh perjalanan ekstra pulang-pergi dari rumah menuju kantor dan sebaliknya. Mereka melakukannya secara berulang; Senin sampai Jumat hingga tak kuat.
Saya juga punya cerita serupa di Bandung. Sebagai warga Bandung Timur yang bekerja di pusat kota, saya harus memikirkan waktu yang tepat untuk berangkat kerja dan pulang kerja. Sebab, sekarang, Bandung tidak seindah itu. Jam 6 pagi dan jam 5 sore, jalanan tidak terkendali. Penggunaan kendaraan pribadi terlalu tinggi dengan angkutan umum yang belum memadai. Warga Bandung masih menghadapi tantangan transportasi umum dan keamanan berkendara di malam hari yang buruk. Saya lihat banyak mobil plat B datang ke Bandung. Banyak orang Bandung berpikir sepertinya Bandung sebentar lagi akan mirip Jakarta.
Esai Dilema Smartphone menyoroti fenomena penggunaan ponsel pintar dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan waktu-waktu melamun seseorang pun diisi dengan nge-scroll ponsel hanya untuk melihat story Instagram orang lain yang tidak penting-penting amat. Dengan berdirinya dunia digital yang megah, sering kali kita membiarkan diri terlarut di dalamnya sampai hati kita merasa kopong. Kahlil Gibran dalam Sang Nabi pernah mewanti, “…Dan jangan lupa bahwa bumi senang merasakan kakimu yang telanjang dan angin rindu bermain dengan rambutmu.”
Esai lain yang menggelitik bagi saya adalah WFH yang WTF. Esai ini bercerita tentang percakapan Andina bersama seorang sahabatnya yang kewalahan karena meeting online tidak kenal waktu. Esai ini relevan dengan banyak pekerja remote. Meski pandemi sudah berlalu, fenomena meeting online menjadi tradisi yang masih terbawa hingga saat ini. Barangkali, fleksibilitas bekerja yang ditawarkan bos memang soal waktu bekerja 24/7. Iya, kan? Esai ini juga menyoal fenomena salah kirim chat yang bisa jadi akibat dari ketidakfokusan kita yang pada dasarnya sudah kewalahan dengan semua ini.
Ada esai yang membuat saya senyum-senyum sendiri, yaitu Sebungkus Cireng di Status WhatsApp dan Indahnya Grup WhatsApp Keluarga. Banyak orang memanfaatkan Whatsapp sebagai sarana mempromosikan dagangan; frozen food, misalnya. Kita tidak menyadari bahwa mungkin ada saja ibu-ibu rumah tangga di luaran sana yang belajar aplikasi Canva untuk membuat desain promosi dagangan di WhatsApp Story lebih menarik. Esai ini menggambarkan bagaimana WhatsApp menampilkan keberagaman dan geliat rantai informasi yang lebih cepat. Andina menyampaikannya dengan humanis, disisipi humor.
Tidak hanya kegaduhan dunia digital, Andina juga menyampaikan pesan toleransi melalui tulisan yang Yang Kalah Pindah Agama dan Nina Dapat Uang Dua. Tanpa kita sadari, anak-anak mengimplementasikan nilai toleransi jauh lebih hebat daripada orang dewasa. Kenyataan ini tentu saja menampar kita di ulu hati.
Tak hanya dari anak-anak, sepertinya kita perlu mempelajari ulang toleransi dari lingkungan terdekat lain yang sering terlupakan. Di kampung halaman ibu saya di Boyolali, misalnya. Meski dalam satu keluarga tidak semuanya Islam, perayaan keagamaan seperti Idulfitri dan Natal menjadi fenomena yang semarak dan enak dipandang. Hal ini masih lazim terjadi di kampung-kampung Jawa Tengah. Andina ingin mengingatkan kepada pembaca bahwa kita tidak boleh sampai kehilangan harapan atas toleransi.
Baca juga:
Melalui Menua dengan Gembira, Andina Dwifatma mengajak kita menyelami kembali kedalaman diri dan berupaya mengingatkan kita untuk hidup menua dengan damai dan bahagia. Meski dunia rumit yang kita huni saat ini membuat kita merasa overwhelmed, hopeless, dan exhausted, kita masih memiliki kesempatan untuk memilih kehidupan seperti apa yang kita inginkan.
Editor: Emma Amelia