Memiliki rumah di Jakarta adalah impian besar. Bisa memiliki rumah di Jakarta dan dekat kantor tempat bekerja rasanya seperti menaklukkan puncak tertinggi kehidupan. Namun, impian tersebut bagaikan pungguk merindukan bulan. Kesenjangan antara gaji dan harga rumah di Jakarta terpaut jauh selisihnya.
Menurut Tim Jurnalisme Data Harian Kompas, harga tengah pasaran rumah seluas 60 meter persegi atau kurang di Jakarta Utara mencapai Rp1,5 miliar ke atas. Di Jakarta Barat, kisaran Rp1 miliar ke atas. Di Jakarta Pusat, Timur, dan Selatan kisaran Rp500 juta ke atas. Dengan Upah Minimum Kota (UMK) Jakarta Rp 5.067.381, harga rumah yang dapat dijangkau dengan gaji UMK hanyalah Rp182,4 juta.
Harga rumah yang mahal ini menjadi beban bagi kelas menengah. Dengan UMK Jakarta yang hanya Rp5.067.381, apakah rumah seluas 60 meter persegi atau kurang di Jakarta sanggup mereka beli? Kalau bisa, mereka butuh berapa puluh tahun untuk membeli rumah tersebut? Dicicil selama dua puluh tahun pun, gaji mereka tidak cukup membeli rumah di Jakarta.
Akhirnya, banyak dari mereka yang mencicil rumah di kabupaten Bekasi, Depok, dan Bogor. Sebenarnya, rumah di kabupaten tersebut pun belum tentu cukup dengan uang Rp182,4 juta. Akan tetapi, banyak yang memaksakan diri untuk mencicilnya daripada ngontrak di Jakarta atau tinggal bersama orangtua (buat yang sudah berkeluarga).
Baca juga:
Demi rumah “murah” di Bekasi, Depok, dan Bogor itu, kelas menengah Jakarta rela menjadi tua di jalan.
Istilah tua di jalan bukan hanya menggambarkan usia yang semakin bertambah, tetapi juga menggambarkan bagaimana sebagian besar waktu dan energi habis di perjalanan. Empat jam perjalanan pulang-pergi selama lima hari dalam seminggu—kalau kerja di ranah food and beverages atau industri hospitality lainnya bisa hingga enam hari dalam seminggu—dikalikan empat minggu, lalu hasilnya dikalikan lagi dua belas bulan, terus dikalikan berapa lama seseorang bekerja di Jakarta sampai meninggal. Sudah berapa jam berlalu cuma untuk perjalanan pulang dan pergi saja?
Di Jakarta dan sekitarnya, perjalanan yang seharusnya hanya memakan waktu berapa puluh menit bisa molor hingga dua jam karena macet. Malah, bagi orang Jakarta dan sekitarnya, perjalanan yang makan waktu empat puluh menit masih dianggap dekat. Dari sudut pandang ekonomi, waktu yang terbuang dalam perjalanan panjang nan macet ini juga berarti menambah pengeluaran untuk bahan bakar. Hal ini dapat menambah beban finansial bagi mereka yang berjuang untuk untuk membayar biaya cicilan rumah.
Naik kendaraan umum, terutama di jam-jam sibuk, pun tak lebih baik. Para pekerja jadi pepes di KRL Commuter Line dan bus Transjakarta, berdempet-dempetan demi masuk kantor dan pulang tepat waktu. Tak cuma jadi pepes, para pekerja harus jadi pelari di stasiun untuk mengejar kereta agar tidak ketinggalan. Kalau ketinggalan, mereka harus menunggu lagi kereta selanjutnya yang barangkali malah lebih penuh daripada kereta sebelumnya.
Mobilitas pekerja perempuan pun jadi lebih rentan ketika keadaan di transportasi umum berdempet-dempet seperti itu. Ketakutan akan dilecehkan selalu membayangi para pekerja perempuan yang naik transportasi umum.
Bila dilihat secara luas, tua di jalan juga merupakan refleksi ketidaksetaraan ekonomi dan gender yang harus segera diatasi pemerintah. Kondisi ini menunjukkan betapa sulitnya kehidupan sehari-hari mereka yang bekerja di Jakarta, tetapi tinggal di luar Jakarta. Mereka yang memilih tinggal di luar Jakarta harus menghadapi beban besar, baik dari segi waktu, finansial, maupun keamanan. Mereka harus rela menghabiskan ketiga sumber daya berharga itu hanya untuk perjalanan pulang-pergi kerja saja. Padahal, waktu, uang, dan keamanan itu seharusnya bisa menjadi modal untuk mengembangkan diri.
Baca juga:
Sistem upah dan harga rumah saat ini tidak sejalan, tidak sebanding. Kesenjangan yang begitu besar antara gaji dan harga rumah tidak hanya menghambat akses para pekerja terhadap perumahan yang layak, tetapi juga menghasilkan konsekuensi yang berat dalam hal kesejahteraan. Perlu langkah-langkah konkret dari pemerintah untuk menyeimbangkan besaran gaji dengan harga rumah sehingga masyarakat tidak lagi harus mengorbankan sebagian besar hidup mereka di jalanan.
Kalau memang Jakarta sudah sempit sampai-sampai para pekerjanya harus tinggal di luar Jakarta, setidaknya pemerintah mengusahakan peningkatan gaji yang proporsional dengan kenaikan harga-harga barang dan jasa, serta biaya hidup yang terus naik. Masa iya, para pekerja yang sudah berjam-jam di jalanan masih harus merasakan beban naiknya biaya pendidikan, naiknya biaya bahan pokok, dan lain-lain? Masa setiap hari para pekerja harus hidup dihantui banyak ketakutan?
Editor: Emma Amelia