Pada bagian terakhir esai Seno Gumira Ajidarma yang berjudul Jakarta, Rembulan, dan Keterasingan, ia mengajukan satu pertanyaan yang merangsang lahirnya tulisan ini. Begini pertanyaan yang diajukannya: nah, apakah yang akan Anda catat, dari Jakarta tahun ini?
Di dalam esainya tersebut, ia menyimpulkan bahwa orang-orang Jakarta sudah merasa terasing akan kotanya sendiri sejak lama. Ia mengambil contoh pada tahun 1950-an. Hal ini disimpulkan Seno setelah dia menilik beberapa puisi yang ditulis pada tahun tersebut. Ia mengamati beberapa puisi tentang keterasingan penyair akan kotanya.
Puisi-puisi yang diamati Seno berbicara mengenai akutnya keterasingan manusia yang terjadi di Jakarta. Manusia Jakarta hanya memikirkan bagaimana caranya agar bertahan dalam terjangan sistem kapitalis di kota tersebut. Tidak ada pemaknaan secara lebih tulus terhadap Jakarta. Tidak ada kesenangan batin yang diberikan oleh Jakarta kepada para warganya.
Rendra di dalam puisinya yang berjudul Bulan Kota Jakarta bahkan menyebutkan bulan saja merasa terasing di Jakarta. Kata Rendra begini: bulan telah pingsan/ di atas kota Jakarta/ tapi tak seorang pun menatapnya. Bayangkan, warga Jakarta sampai tidak menyadari bahwa bulan tengah pingsan di atas sana. Mengapa mereka tidak peduli?
Baiklah, karena saya tidak ingin membahas esai Seno yang satu itu, saya bakal kembali ke pertanyaan Seno yang menggugah penulis untuk menceritakan Jakarta pada tahun 2023. Seno Gumira Ajidarma, simaklah cerita Jakarta yang satu ini.
Sebatang Rokok dan Sepenggal Kisah
Pada malam menjelang Hari Buruh Internasional, saya sedang menunggu keberangkatan kereta di Stasiun Gambir. Sudah waktunya saya kembali ke Yogyakarta untuk melanjutkan aktivitas kuliah dan kembali mengurus organisasi. Untuk membunuh waktu, saya merokok sembari membaca Kata Adalah Senjata. Buku itu adalah kumpulan tulisan dari Subcomandante Marcos, seorang juru bicara dari kelompok pemberontak Zapatista dari Meksiko.
Baca juga:
Saya berhenti membaca sejenak untuk melihat suasana ramainya Gambir. Saya melihat mobil-mobil mengantre masuk dan keluar stasiun, orang-orang yang bergegas menuju stasiun karena hampir ketinggalan kereta, serta para porter yang memanggul tas-tas milik para penumpang. Begitu sibuknya manusia. Tak bisakah mereka santai untuk menikmati keriuhan ini? Ah, tampaknya mereka takut santai. Tak apalah. Mereka sibuk, saya bagian santainya saja.
Setelah bosan mengamati kondisi sekitar saya, saya hendak lanjut membaca. Saya buka buku dan tampaklah judul tulisan Marcos yang sangat menarik: Kuberaki Semua Garda-Depan Revolusioner di Planet Ini. Judul yang sangat provokatif.
Baru saja saya membaca kalimat pertama dari tulisan itu, tiba-tiba terdengar panggilan seorang lelaki dari arah belakang. “Bang, boleh minta rokok, nggak?”. Wah, ternyata dia minta rokok. Tanpa berpikir panjang, saya langsung memberikan sebatang rokok kepadanya. Tak lupa juga saya menyorongkan korek agar rokoknya bisa terbakar. Ketika ia sudah selesai membakar rokok, ia mendadak bercerita tentang kebengisan kota Jakarta.
“Saya sudah sepuluh hari di Jakarta nyari kerja nggak dapet mulu. Saya dari Pekanbaru. Abang tahu di mana Pekanbaru?” dirinya membuka obrolan tanpa memberi tahu namanya.
Atas dasar kebodohan saya, saya menjawab “Oh, Pekanbaru. Di Kalimantan itu, ya?”
Ia lantas tertawa cekikikan dan tersedak asap rokok. Jujur, saya malu. Bisa-bisanya saya tidak tahu kalau Pekanbaru itu ternyata terletak di pulau Sumatera.
Ia berkisah bahwa di tempat asalnya, mencari pekerjaan pun sulit. Keluarganya juga tergolong keluarga miskin. Karena ia ingin mengeluarkan keluarganya dari zona kemiskinan, Ia merantau ke Jakarta untuk mencari pundi-pundi rupiah. Ia sampai menjual telepon genggam miliknya hanya untuk bisa berlayar menuju Ibukota.
Nahasnya, setelah sepuluh hari berjuang mencari pekerjaan, yang didapatkannya justru penolakan demi penolakan. Di Jakarta juga ia tidak punya tempat tinggal untuk berlindung dari teriknya matahari, dinginnya angin malam, bahayanya gigitan nyamuk, dan juga gigilnya deras air hujan. Selain itu juga ia tidak memiliki kendaraan, jadi ia harus berjalan berpuluh-puluh kilometer mengelilingi Jakarta. Terlihat kedua kakinya pecah-pecah dan sendalnya hampir bolong akibat terlalu banyak bergesekan dengan aspal panas.
“Pernah saya tidur di kolong jembatan. Ih, nyamuknya besar-besar. Apalagi tikusnya. Dari situ saya mulai kepikiran untuk bunuh diri,” ungkapnya sembari menahan diri agar tidak menangis.
Lelaki itu menyesalkan warga Jakarta tidak memiliki kepekaan sosial. Dari sekian banyak toko, kios, ataupun pasar yang ada di Jakarta, tidak ada yang menerima dirinya untuk sekadar mendapatkan beberapa lembar uang. Ia terseok-seok menanggung nasibnya.
Untuk bertahan hidup, ia menjual beberapa potong pakaian yang ia bawa dari Pekanbaru ke beberapa orang atau pedagang baju bekas. Bajunya hanya dihargai dua belas ribu rupiah. Uang sebanyak itu menurutnya cukup untuk membeli lotion anti nyamuk dan sebungkus nasi. Jika uangnya sudah habis, ia terpaksa meminta kepada orang yang kebetulan berada di dekat dirinya. Itulah siasat dia untuk tetap hidup di Jakarta.
Arena Pertarungan yang Bengis
Pada tahun 2020, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi DKI Jakarta merilis data kedatangan penduduk dari luar Jakarta. Setiap bulannya, beribu-ribu pendatang masuk ke Jakarta. Pada bulan Juli misalnya, jumlah orang yang datang ke Jakarta mencapai angka 13.376 jiwa. Lantas apa yang menarik dari Jakarta?
Universitas Indonesia pernah mengeluarkan hasil penelitian yang mengungkapkan alasan mengapa banyak warga yang datang ke Jakarta. Alasan yang paling utama adalah mereka ingin meningkatkan ekonomi yang tidak mereka peroleh di daerah asal.
Sebenarnya, sejak dahulu saya telah mengetahui bahwa Jakarta adalah arena pertarungan yang bengis. Ketimpangan sosial tampak nyata di Jakarta. Bayangkan saja, gedung-gedung yang tinggi menjulang merampas kesejahteraan warga miskin Jakarta. Pertarungan mendapatkan pekerjaan yang dialami warga luar Jakarta membuat mereka putus asa. Namun, malam menjelang Hari Buruh Internasional itu, saya mendengarkan langsung cerita orang yang menderita karena Jakarta.
Baca juga:
Afrizal Malna, di dalam esainya yang berjudul Wiji Thukul, Mata Sejarah dalam Budaya Bisu, membahas soal pesona puisi Wiji Thukul sebagai orang kelas bawah. Di dalam esainya, menurut Malna, penggunaan “bahasa yang cacat” pada puisi-puisi Thukul adalah bentuk biografi dari orang-orang bawahan. Menurut Malna, Thukul adalah penyair “mata-pertama” yang merekam penderitaan, tukang koran, pengemis, pengangguran, buruh, dan orang-orang yang tidak memiliki kapital lainnya.
Lelaki yang saya temui di Gambir memang bukanlah penyair seperti Wiji Thukul, Afrizal Malna, ataupun Seno Gumira Ajidarma. Namun, bahasa-bahasa yang mengalir dari mulutnya dan tertangkap oleh telinga saya adalah bahasa kejujuran. Bahasa orang-orang yang letih. Bahasa orang-orang pejuang kehidupan. Ia memang tidak menulis puisi. Tetapi, ketika sedang berbincang dengan saya, ia juga sedang menyusun biografi para pendatang yang tak kunjung mendapatkan pekerjaan dan malah menderita di Jakarta. Ia tidak sedang menceritakan dirinya seorang, namun menceritakan ribuan orang luar Jakarta yang tersisihkan di Jakarta.
Jika menurut Seno warga Jakarta terasing dari kotanya, orang-orang dari luar Jakarta yang datang untuk meningkatkan kualitas hidupnya tetapi tetap miskin, bisa saya katakan menjadi bukti bahwa Jakarta juga mengasingkan mereka dari daerah asalnya. Dengan bengisnya, Jakarta mengubur mimpi-mimpi mereka. Jakarta adalah kota asing sekaligus mengasingkan.
Editor: Prihandini N
Siapakah yang disalahkan disini? Jakartanya? Warga luar kota? Atau pemerintahnya?