I have been concerned about education, religion, and literature issues.

Islamofobia, Pascakolonial, dan Sikap Kita

A.R. Bahry Al Farizi

4 min read

Rasmus Paludan, pendiri sekaligus pemimpin partai sayap kanan Swedia-Denmark, Stram Kurs atau Garis Keras, memiliki banyak catatan kriminal atas tindakan rasis dan kebencian. Kasus pembakaran Al-Qur’an di Stockholm, Swedia, beberapa waktu lalu bukanlah yang pertama kali. Sebelumnya ia sudah banyak melakukan demonstrasi yang mempertontonkan pembakaran Al-Qur’an.

Selang seminggu, Paludan nekat mengulang aksinya di dekat masjid di Copenhagen, Denmark. Ia sudah dikecam oleh berbagai pihak berkali-kali, tetapi semua hukuman tersebut tidak membuatnya jera.

Tidak lama setelah itu, Edwin Wagendsveld pemimpin partai sayap kanan Pegida di Belanda merobek dan menginjak beberapa halaman Al-Qur’an di dekat gedung parlemen. Aksinya tentu mendapat sorotan publik yang cukup tajam. Dalam konteks tersebut, partai sayap kanan Stram Kurs maupun Pegida dikenal kerap menyuarakan isu anti-imigran dan anti-Islam.

Baca juga:

Inkonsistensi Demokrasi di Eropa

Pada abad pertengahan, krisis identitas melanda daratan Eropa. Di tengah krisis tersebut, mereka berusaha mencari jawaban di antara paradigma teosentrisme dan antroposentrisme. Kuatnya kesadaran terhadap kebebasan manusia dinilai bertentangan dengan otoritas gereja yang menentukan kebenaran seluruh aspek kehidupan.

Filsafat era pencerahan yang bergerak dari Italia, Jerman, dan Prancis membuka pikiran bangsa Eropa tentang kemanusiaan. Kebebasan manusia ditentukan oleh tangannya sendiri. Konsekuensinya, agama dianggap mengekang kebebasan manusia.

Dari sana, bangsa Eropa memberikan sumbangsih besar terhadap kemanusiaan di seluruh dunia, yaitu humanisme. Namun, slogan-slogan itu sering kali dikhianati dalam tindakan. Meminjam istilah Buya Syafii, meminggirkan agama dalam kehidupan mengakibatkan hilangnya “keamanan ontologis”.

Alhasil kolonialisme Eropa merebak di mana-mana demi misi memperadabkan “dunia ketiga”. Bangsa Eropa menganggap rendah bangsa lain sebab belum mencapai kesadaran berpikir modern. Akhirnya bangsa Eropa mengklaim diri sebagai pusat peradaban dunia.

Buktinya, Daendels si tangan besi, arsitek jalan Anyer-Panarukan dinarasikan oleh Pramoedya Ananta Toer sebagai orang bengis nan kejam. Paradoksnya, Daendels begitu mengagumi revolusi Prancis yang menjunjung tinggi prinsip kebebasan, persamaan, dan persaudaraan (Toer, 2005).

Perspektif pascakolonial begitu penting untuk memahami benturan peradaban masa lalu yang menentukan cara berpikir masyarakat masa kini. Termasuk sentimen-sentimen rasial yang berakar jauh di dalam masyarakat di berbagai belahan dunia, termasuk bangsa Eropa.

Bangsa Eropa sangat menjunjung tinggi demokrasi dan kebebasan. Itu tidak terbantahkan. Indeks persepsi demokrasi negara-negara Eropa, terkhusus negara-negara Skandinavia memiliki kualitas yang apik. Namun, fenomena Islamofobia membuka mata kita bahwa demokrasi yang begitu diagung-agungkan di Eropa justru terkesan inkonsisten.

Mengapa peradaban Eropa masih diselimuti Islamofobia yang didasarkan pada kebencian yang irasional? Bukankah peradaban Eropa dibangun di atas nilai-nilai rasional? Mitos-mitos superioritas Eropa runtuh dengan sendirinya. Demokrasi yang diterapkan dengan alam pikir rasionalitas itu malah bertabrakan dengan realitas yang ada. Ada pikiran irasional bergentayangan di langit Eropa.

Jejak Islamofobia di Eropa

Jika melacak sejarah, kita bisa mengetahui bahwa bangsa Eropa sudah sejak lama menaruh curiga kepada imigran. Penyakit xenophobhia pun tidak hanya dialami oleh bangsa Eropa sendiri.

Karen Amstrong dalam buku Islamofobia: Melacak Ketakutan Islam di Dunia Barat menyatakan bahwa Islamofobia berawal dari trauma panjang Perang Salib yang dicetuskan oleh Paus Urbanus II pada tahun 1095 dalam sidang Konsili Clermont.

Perang Salib membawa dampak negatif terhadap relasi Islam dan Kristen. Perang atas nama agama tersebut tentunya menjawab pertanyaan dasar mengapa sentimen permusuhan masih terasa sampai hari ini, bahkan terkesan tidak masuk akal.

Kompleksitas sejarah dinamika keagamaan di Eropa tidak bisa dikesampingkan dalam pembahasan Islamofobia. Perseteruan antar agama-agama di Eropa membawa dampak besar dalam kehidupan hari ini. Tindakan rasis maupun diskriminatif terhadap individu di luar diri mereka berangkat dari kesadaran sejarah yang membentuk alam pikir masyarakat di Eropa hari ini.

Kebencian tak berdasar kepada umat Islam dilandasi oleh pemahaman yang parsial antara ajaran agama dan pemeluk agama. Islam merupakan ajaran kasih sayang yang mengutuk keras penggunaan kekerasan dalam mencapai tujuan.

Istilah Islamofobia pertama kali diperkenalkan Runnymede Trust, organisasi yang aktif mengampanyekan sekaligus mengadvokasi isu-isu ketimpangan sosial. Runnymede Trust didirikan pada tahun 1968 oleh Jim Rose dan Anthony Lester sebagai organisasi independen yang bertujuan memberikan wawasan multietnis kepada masyarakat Inggris dan masyarakat dunia melalui penelitian, pembangunan jaringan, debat terkemuka, dan partisipasi kebijakan.

Pada tahun 1996, Runnymede Trust membentuk Commision on British Muslims and Islamophobia yang keanggotaannya terdiri dari lintas etnis, lintas agama, dan lintas disiplin. Dipimpin oleh Gordon Conway yang pada saat itu menjabat sebagai Wakil Rektor Universitas Sussex, Inggris.

Commision on British Muslims and Islamophobia menerbitkan sebuah laporan berjudul “Islamophobia: A Challenge for Us All” pada 1997. Laporan tersebut menyatakan bahwa ada sebab  struktural di balik Islamofobia. Artinya Islamofobia tidak lahir begitu saja di ruang sejarah yang kosong.

Misalnya untuk menunjang elektabilitas politisi di Eropa, terkhusus partai sayap kanan, kampanye-kampanye anti-imigran dan Islamofobia menjadi penentu. Donald Trump dengan semboyan Make America Great Again dalam berbagai kampanye menyudutkan komunitas muslim di Amerika, yaitu dengan menutup jalur pengungsi dari Suriah dan menyerukan untuk menutup masjid-masjid.

Tadinya Donald Trump punya peluang yang kecil untuk menjadi presiden. Tidak lama setelah kampanye itu menyebar ke seluruh penjuru Amerika, elektabilitasnya lalu meningkat secara drastis. Bisa disimpulkan, dengan memanfaatkan isu anti-imigran dan Islamofobia, para politisi dapat meraup keuntungan suara yang cukup besar.

Begitu pula peran media yang menyalurkan informasi parsial kepada masyarakat awam. Penting untuk menyebut Edward W. Said, akademisi yang mempertajam teori pascakolonial untuk membedah peran media dalam mendistorsi citra Islam di mata masyarakat Eropa.

Ia mencoba untuk membedah bagaimana cara kerja suatu media dapat memantik emosi para pendengar maupun pembaca untuk membenarkan kebijakan diskriminatif terhadap bangsa lain. Misalnya terlihat dari invasi Amerika Serikat pada 2003 yang meluluhlantahkan Irak dengan mengatasnamakan  “perang terhadap terorisme”. Warga sipil banyak menjadi korban akibat keganasan perang. Motif struktual seperti hegemoni ekonomi-politik tidak bisa dikesampingkan begitu saja dalam pembahasan Islamofobia.

Peran media untuk mengampanyekan kekerasan simbolik terhadap berbagai komunitas juga dimanfaatkan untuk meraup keuntungan sebesar-sebesarnya (Said: 2002). Isu Islamofobia akhirnya menjadi suatu kewajaran dalam masyarakat yang menjunjung tinggi demokrasi.

Bagaimana Sikap Kita?

Pertama, kita harus terus mengampanyekan Islam yang damai. Islamofobia kerap dimanfaatkan untuk menunjang elektabilitas karena masyarakat gampang terprovokasi akibat tidak menerima informasi yang benar, terdapat kesenjangan pemahaman antara Islam dan para pelaku kekerasan yang mengatasnamakan Islam.

Kedua, hindari sikap emosional. Betapa pun seringnya kita melihat diskriminasi terhadap berbagai komunitas, kita harus menjaga akal sehat. Sikap emosional hanya memperkeruh keadaan. Menyikapi pembakaran Al-Qur’an di Swedia tidak harus dengan demonstrasi. Konsistensi untuk menyebarkan gagasan Islam yang damai menjadi agenda penting dalam masyarakat global saat ini.

Baca juga:

Tidak sampai di situ, gagasan Islam yang damai perlu dilengkapi dengan pemahaman komprehensif terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan politik dunia hari ini. Di samping strategi kultural seperti pendidikan, strategi struktural tetap diperlukan untuk memperbaiki ketimpangan ekonomi dan sosial. Kemiskinan dan hak asasi yang semakin terancam membuat seseorang memilih “jalan alternatif”, salah satunya terorisme yang mengatasnamakan suatu agama.

Ketiga, sikap politik. Keberpihakan terhadap masyarakat yang terdiskriminasi dan termarjinalkan semestinya harus dilakukan dengan cara-cara yang santun dan bermoral. Maka benar apa yang didawuhkan oleh Muhammad Abduh dahulu kala, bahwa Islam dilihat dari sejauh mana pemeluknya mengamalkan ajaran-ajarannya. Sebab tidak semua orang mempunyai waktu untuk belajar tentang Islam.

Walaupun kita bersusah payah menyatakan bahwa “jangan melihat pemeluknya, lihat agamanya”, tetap saja itu tidak bermakna, sebab sejatinya aktualisasi ajaran agama ada di dalam diri pemeluknya. Melempar tanggung jawab seperti itu justru hanya membuat Islam semakin kecil di mata orang-orang.

Keempat, khususnya sikap terhadap pembakaran atau penistaan terhadap Al-Qur’an, kita tetap mengutuk segala tindakan yang mendiskriminasi suatu ajaran tertentu. Benar bahwa tindakan tersebut sangat menjijikkan dan tidak menghargai keragaman.

Namun, alangkah baiknya jika tindakan tersebut menjadi kritik kepada diri setiap muslim, bahwa di mata mereka, nilai-nilai keislaman dan ruh Qur’ani belum melekat pada diri kita. Kita balas Islamofobia dengan kasih sayang, sebabRasulullah Saw berabad-abad lalu telah mencontohkan kepada kita semua bahwa ajaran Islam mewajibkan seorang muslim berbuat baik kepada siapa pun, bahkan kepada musuh, sekali pun musuh tersebutlah yang menanggap kita musuh, bukan dari kita.

Kelima, mengutuk semua tindakan kekerasan, baik tindakan yang mengatasnamakan agama maupun tidak. Kosmopolitanisme mengharuskan setiap orang untuk mengedepankan dialog dan menjauhi tindakan yang menjurus pada kekerasan. Begitu pula sebaliknya, kita mengutuk semua orang yang secara sadar memanfaatkan Islamofobia dan menyerukan kekerasan simbolik terhadap komunitas Muslim di luar sana.

A.R. Bahry Al Farizi
A.R. Bahry Al Farizi I have been concerned about education, religion, and literature issues.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email