Sang Legenda

Setumpuk Kedewasaan dan Puisi Lainnya

Hilmy Almuyassar

1 min read

Bekas-bekas Kesedihan Manusia

Malam itu, di bangku taman
kota, dua botol air mineral
dengan merek yang sama
duduk bersebelahan.

Jalanan terlihat kacau, masih
dipenuhi bekas-bekas kesedihan
manusia (mereka yang
berperang memastikan citra).

Kecuali kamu.
Kecuali obrolan kita.

(2023)

Jum’at Mendung

Membelalak dada, langit Jumat
datang digulung selimut hati yang
gelap, tanpa udara.
Di dalam bentang sarung,
aku bertanya:
“Hari yang gersang. Meski
mendung, mengapa angin-angin
tetap menghilang?”

Seorang teman percaya:
“Bumi sedang sempit-sempitnya
bagi beribu malaikat.
Malaikat-malaikat melebur
seiring gesekan sendal
orang-orang yang
hendak ke masjid. 
Malaikat-malaikat lahir
dari wudu pada wajah yang
menetes ke sajadah.”

“Anjay!” Aku terbuka.

(2023)

Melihat Masjid

Cat masjid terlihat lebih terang
dari mushola-mushola Rumah Sakit.

Tembok mushola di rumah sakit kuyu,
meski catnya cerah biru. Seperti setiap hari
menangisi keluarga pasien. Mengasihani
berbagai mata yang menukik basah, dengan
doa-doa dipanjatkan tanpa pamrih dan
berbahaya; doa-doa yang bertaruh nyawa.

Sementara tembok masjid tampak terang
menunjukkan amarah. Tidak ada isyarat pasrah.
Terlihat bagaimana orang-orang turun dari
keberangkatan dan menumpahkan kepalsuan.
Tembok terang berarti geram. Sebab yang
datang tidak betul-betul menemui Tuhan.

Duduk di masjid kota menunggu adzan Jum’at.
Pengurus Masjid mengumumkan keuangan
Dan di samping, bapak-bapak menyingsing kemeja,
mengguncang jam tangan bercorak dirinya. Aku
memikirkan jawaban tanpa pertanyaan.

(2023)

Setumpuk Kedewasaan

Di dalam gerbong, penumpang membawa setumpuk kedewasaan ke rumah masing-masing.
Dinding, kursi, besi dan jendela di sana, tidak menyimpan lebih dari seratus warna.
Kendaraan ini melata kencang didorong mesin.
Dan aku, duduk menyandarkan bahu pada laki-laki yang merindukanmu.

Di dalam gerbong, penumpang membawa setumpuk kedewasaan ke rumah masing-masing.
Sebelum seorang bayi menangis dan menularkan kebayiannya ke penumpang lain.
Karena kelaparan wajah bayi muram, karena bayi wajah penumpang menghitam.
Tapi di situ, justru aku membayangkan kita dalam catatan pernikahan.

(2023)

Menyampul Aspal dan Pertanyaan

Dedaunan mengangguk-angguk
di belakang pembatas jalan,
terlewati mobil layaknya
geseran layar. Di tempat yang
berbeda, lekukan gunung-gunung,
biru lebam, juga mulai tertinggal.
Menjadi frekuensi suara piano
yang menyampul aspal panjang
dan pertanyaan.

“Ooh, I keep dancing on my own.”
Di tengah-tengah Purwakarta-Bandung. Dan kau beruntung.
Seorang pria bermain nada,
mengalihkan deru mesin yang
mirip kegelisahan tugas akhir
mahasiswa.

(2023)

*****

Editor: Moch Aldy MA

Hilmy Almuyassar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email