Setiap pemimpin agama, apalagi yang hidup dalam masyarakat multikultur, harus memiliki sensitivitas konflik.
Sensitivitas konflik yang harus dimiliki oleh pemimpin agama dalam masyarakat multikultur adalah; pertama, kemampuan untuk membangun mutual trust antar komunitas masyarakat yang berbeda dalam hal apa pun, baik agama, pemikiran, etnis, ras dan lainnya. Karena hanya dengan saling percaya antara satu sama lain dalam sebuah komunitas yang berbeda-beda, dapat terjalin kerjasama untuk saling memenuhi kebutuhan baik secara ekonomi, sosial dan budaya. Mutual trust ini sangat penting agar masyarakat tidak rentan dan mudah terprovokasi oleh pihak-pihak yang berkepentingan terjadinya konflik dan kekerasan, terlebih menyangkut persoalan emosi keagamaan yang sangat rentan dimanipulasi sebagai kekuatan yang sebenarnya di luar semangat ajaran keagamaan.
Baca juga:
Jika mutual trust tidak tercapai dan yang terjadi malah justru sebaliknya yaitu mutual distrust (tidak saling percaya), maka gesekan benturan dan konflik akan menajalar begitu cepat dan subur dimana-mana. Berawal dari sikap tidak senang, tidak setuju, tidak sepakat dan begitu seterusnya, sebenarnya adalah hal yang wajar dalam kehidupan, akan tetapi jika hal tesebut disertai dengan munculnya sikap tidak mengakui keberadaan orang lain, serta akumulasi sikap tidak toleran, kebencian, kemarahan, ancaman, dan tindakan yang diskriminatif akan memunculkan penyakit hati yang sering disebut dengan buruk sangka (prejudice) pada kelompok lain, yang tidak se-ide, se-paham, se-aqidah, se-iman, se-sekte, se-organisasi,se-etnis dan begitu seterusnya. Maka hal itu akan menciptakan kondisi masyarakat yang tidak saling percaya antar komunitas atau kelompok.
Kedua, sensitivitas konflik yang harus dimiliki oleh pemimpin agama adalah apa yang diistilahkan oleh Prof, Amin Abdullah dengan “menguasai dua bahasa” (bilingual), artinya adalah kemampuan elite pemimpin agama untuk menguasai “bahasa” komunitas intern umat beragama yang ia pimpin dan juga sekaligus “bahasa” orang yang ekstern atau di luar agamanya. Fungsinya adalah untuk mempermudah agar penyampaian pesan-pesan spritualitas dari agamanya dapat dengan mudah diterima oleh orang lain.
Kondisi masyarakat yang multikultur, majemuk sangat membutuhkan pemimpin agama yang memiliki kemampuan dua bahasa ini, bahasa pertama untuk kalangan agamanya sendiri, dan bahasa kedua untuk orang yang di luar agamanya. Semua ini untuk mempermudah proses saling memahami satu sama lain.
Syahdan, konflik merupakan keniscayaan dalam kehidupan manusia, alamiah dan sudah menjadi sunatullah. Karena sifat konflik adalah alamiah, sudah pasti ada, maka mustahil untuk menghilangkan konflik dari kehidupan manusia. Maka pilihan yang bijak adalah manajemen dan strategi konflik mutlak dibutuhkan. Menurut Webster (1966), istilah “conflict” di dalam bahasa aslinya adalah “perkelahian, peperangan, atau perjuangan” yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Jika dipahami secara lebih luas maka konflik dapat diartikan: “Persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan.”
Dalam rentangan sejarah manusia, konflik selalu hadir dalam situasi ruang dan waktu yang berbeda-beda, kondisi sosial-politik dan pola interaksi antar individu adalah awal dari bersemainya konflik. Semuanya menggambarkan konflik antara dua pihak, sebuah situasi di mana masing-masing pihak menginginkan sesuatu yang tidak ingin diberikan kepada pihak yang lain. Sesuatu itu bisa uang, waktu, penjadwalan kerja, tanah, keamanan, atau keinginan lainnya.
Menarik apa yang dikemukan oleh ilmuwan abad kesembilan belas dalam membuat gebrakan yang dramatis dan energik dalam penelitian konflik, yang dampaknya dapat dirasakan sampai sekarang. Sebut saja Charles Darwin tertarik mengenai perjuangan yang dilakukan suatu spesies untuk tetap bertahan hidup (survival of the fittest), Sigmund Freud mempelajari tentang perang antar berbagai kekuatan psikodinamika untuk mengontrol Ego yang terjadi di dalam diri seseorang, dan Karl Marx mengembangkan analisis politis dan ekonomis berdasarkan asumsi bahwa, konflik adalah bagian yang tak terelakkan dalam sebuah masyarakat yang mencerminkan filosofi dialektis yang menjadi pegangannya.
Meskipun konflik dapat ditemukan di hampir setiap bidang interaksi manusia (Darwin, Freud, dan Marx telah membuat hal ini menjadi jelas), dan meskipun berbagai episode konflik merupakan peristiwa paling signifikan dan pantas menjadi berita dalam kehidupan manusia, anggapan bahwa setiap interaksi perlu melibatkan konflik adalah tidak tepat.
Sesuatu yang bijak jika kita mampu menangkap sisi positif dari konflik dengan tidak selalu menganggap bahwa konflik adalah sesuatu yang negatif. Di antara dampak positif konflik yaitu: pertama, konflik adalah persemaian yang subur bagi terjadinya perubahan sosial. Individu, kelompok yang menganggap bahwa situasi yang dihadapinya tidak adil atau bahkan kebijakan yang diambil tidak tepat atau berpotensi merugikan, maka akan menimbulkan reaksi kritikan dan perlawanan, misalnya peraturan atau undang-undang yang diterapkan pemerintah dirasakan merugikan rakyat.
Kedua, konflik sosial adalah konflik yang mencoba memfasilitasi tercapainya rekonsiliasi atas berbagai kepentingan yang ada. Dalam hal ini konflik tidak harus berakhir dengan kemenangan atau kekalahan dari salah satu pihak. Sebaliknya, posisi kedua belah pihak yang bertikai (beberapa di antaranya berupa kesepakatan yang bersifat integratif) yang menguntungkan dan memberikan keuntungan kolektif bagi keduanya. Dalam hal ini konflik dapat menjadi sebuah kekuatan kreatif.
Ketiga, atas dasar kedua fungsi positif di atas, konflik dapat mempererat persatuan golongan dan kelompok. Akan tetapi jika perubahan sosial atau rekonsiliasi atas kepentingan individu yang berbeda-beda, maka integritas kelompok dapat merosot dan hilang (Coser, 1956). Hasil akhirnya sering berupa disintegrasi kelompok. Tanpa konflik, kelompok dari masing-masing individu akan sulit memperoleh apa-apa yang menjadi harapan bersama.