Konflik terbuka antara Rusia dan Ukraina genap berulang tahun yang pertama pada 24 Februari lalu. Setahun pasca deklarasi operasi militer khusus—menurut Kremlin—dan invasi brutal—menurut Ukraina dan negara-negara Barat pro Kiev, akhir dari penyelesaian konflik belum terlihat. Perdamaian masih jauh dari jangkauan.
Dari refleksi atas konflik Rusia-Ukraina, saya mendapati satu isu yang jarang orang singgung, yakni nasionalisme sebagai sebab utama, kalau bukan satu-satunya, perang Rusia-Ukraina. Nasionalisme berperan menciptakan heroisme kebangsaan yang bertentangan dengan ide internasionalis tentang nirkekerasan dan pasifisme.
Baca juga:
Nasionalisme dan Konflik Antarbangsa
Siap mati untuk bangsa. Ungkapan yang lazim kita dengar terkait rasa cinta dan bangga dalam konteks kebangsaan. Ungkapan itu jugalah salah satu manifestasi nasionalisme yang menekankan bahwa loyalitas kepada bangsa lebih berharga daripada nyawa. Inilah yang terjadi dalam konteks eskalasi konflik Rusia-Ukraina. Rakyat Ukraina tentu berprinsip siap mati untuk melawan agresi Rusia. Sebaliknya, Rusia nekat menyerang demi kepentingan nasionalnya.
Nasionalisme sejatinya muncul dari konsep nation-state atau negara-bangsa. Konsep negara-bangsa menjadi signifikan seiring perubahan tata sosial-politik di Eropa Barat pada abad 18 dan 19, tepatnya pasca revolusi liberal di Perancis pada 1789. Revolusi Perancis ini menandai keruntuhan monarkisme yang sekian lama bertahan dan kokoh, lalu menggantinya dengan tata politik baru yang disodorkan oleh kelas menengah atau kaum borjuis Perancis, yakni republikanisme dan konsep negara-bangsa.
Bagi saya, konsep turunan negara-bangsa yang berwujud nasionalisme merupakan ilusi yang disepakati. Sebagaimana yang dikatakan Yuval Noah Harari dalam Sapiens, kekuasaan, HAM, uang, dan gender merupakan contoh ketiadaan yang diadakan dan disepakati karena konstruksi budaya di masyarakat.
Begitu pun dengan negara-bangsa yang merupakan suatu doktrinasi politik yang tercipta atau diciptakan untuk mengkotak-kotakkan manusia menjadi beragam identitas nasional. Padahal, secara biologis, tidak ada satu pun pembenaran atas ide seseorang dilahirkan dengan identitas kebangsaan dan kenegaraan tertentu. Identitas kebangsaan itu tidak lain adalah produk buatan masyarakat yang telah menjadi kesepakatan bersama.
Nasionalisme yang tertanam dalam kesadaran kolektif orang-orang menciptakan apa yang disebut sebagai kepentingan nasional (national interest). Embel-embel kepentingan nasional inilah yang kemudian, dalam banyak kasus, menimbulkan konflik terbuka antara satu negara dengan negara lainnya. Contoh terkininya adalah perang Rusia-Ukraina. Jauh sebelum itu, ada Perang Dunia I dan II yang juga tergolong konflik terbuka karena kepentingan nasional dan heroisme kebangsaan.
Pertanyaannya, apakah nasionalisme adalah ideologi yang irasional dan menjadi sumber konflik? Saya kira terlalu gegabah untuk menyimpulkan demikian. Perlu melihat konteks ruang dan waktu suatu konflik antarnegara.
Tidak dapat dimungkiri, nasionalisme menjadi paham politik dominan di abad ke-20. Terlebih, pasca Perang Dunia II, dunia mengalami periode pembebasan negara-negara jajahan dari jeratan kolonialisme. Artinya, nasionalisme juga berperan dalam menciptakan tatanan pascaperang ketika banyak bangsa terjajah merdeka atau yang kita kenal dengan era pasca kolonial. Namun, dalam konteks ruang dan waktu sekarang, kita perlu meninjau ulang relevansi nasionalisme yang justru memantik konflik terbuka antarnegara dengan kepentingan nasional yang berlawanan.
Menuju Internasionalisme dan Perdamaian Universal
Menghapus pembenaran akan konflik yang terjadi karena egoisme kebangsaan perlu dimulai dengan menghapus konsep negara-bangsa dalam hal kemanusiaan. Ungkapan siap mati untuk bangsa dan negara baiknya diganti dengan siap mati—kalau bisa, jangan sampai mati—untuk kemanusiaan. Artinya, perlu ada tatanan dunia baru yang tidak dibangun dalam suatu ikatan hubungan antarnegara, tapi kesatuan entitas internasional yang berorientasi pada penciptaan kemakmuran bersama dan perdamaian universal.
Bayangan tentang tatanan dunia baru tersebut mungkin sekali dianggap utopis. Namun, realitas kultural masyarakat dunia saat ini, saya kira cukup bisa menjadi modal yang kuat bagi terciptanya tatanan tersebut. Integrasi politik dan ekonomi dunia yang mewadahi kerja sama global sudah mulai dibangun secara terorganisasi sejak 1945. Perserikatan Bangsa-Bangsa, Dana Moneter Internasional, dan Bank Dunia adalah preseden yang nyata yang bisa menjadi pendorong terciptanya tatanan dunia baru yang internasionalis.
Globalisasi menjadikan batas-batas teritorial suatu negara tidak lagi berarti dengan konektivitas kultural dan teknologi informasi yang semakin tak terbendung. Pergaulan dan relasi lintas negara menjadikan proses integrasi internasional akan semakin mudah dilakukan. Dalam konteks politiknya, cita-cita internasionalisme bisa diwujudkan oleh suatu tatanan pemerintahan dunia yang harus dikelola secara inklusif dan egaliter guna mencapai tujuan universal, yakni perdamaian dan kesejahteraan seluruh umat manusia.
Baca juga:
Tentu saja, itu bukanlah cita-cita yang bisa dicapai dengan mudah. Internasionalisme kemungkinan akan menemui penolakan yang luar biasa dari para nasionalis.
Namun, tawaran internasionalisme tak bisa tidak menarik minat saya yang resah atas banyak konflik yang dilegitimasi oleh dalih nasionalisme dan kepentingan nasional, yang justru menafikan nilai-nilai humanisme universal. Konflik Rusia-Ukraina, Arab-Israel, perang dingin Amerika-Tiongkok, dan konflik antarbangsa lainnya bisa dihindari apabila tercipta suatu tatanan internasional yang berorientasi pada keadilan dan persaudaraan umat manusia.
Editor: Emma Amelia