Pancasila adalah pengikat kesetaraan, toleransi, dan perdamaian semua umat beragama di Indonesia. Dalam butir-butir Pancasila, sangat jelas dikatakan bahwa pijakan bangsa adalah ketakwaan kepada Tuhan, persatuan, keadilan, dan toleransi. Kekerasan dan kebencian atas nama Tuhan adalah suatu tindakan yang sama sekali tidak bisa dibenarkan.
Mengenai kekerasan atas nama agama, para ahli sosiologi agama, politik, maupun ilmu sosial lainnya memberikan penjelasan bagaimana hal ini dapat terjadi. Beberapa penyebab diantaranya adalah, pertama, pemahaman agama. Miskonsepsi isi teks suci masih sering terjadi. Miskonsepsi ini menyebabkan tafsir terhadap isi teks suci dapat berbeda-beda, bahkan bisa menimbulkan bibit-bibir kebencian dan kekerasan terhadap umat agama lain jika tidak dipahami secara utuh.
Kedua, radiakalisme dan terorisme. Dua hal ini sering dikaitkan dengan ketidakadilan politik, ekonomi, dan hukum yang berjalan di sebuah negara.
Ketiga, ketidakadilan hukum. Ketidakadilan hukum dianggap sebagai salah satu faktor dominan timbulnya kekerasan di banyak negara, termasuk di Indonesia. Salah satu contoh akibatnya adalah aparat penegak hukum sering menjadi sasaran kekerasan kaum radikalis-teroris. Misalnya peristiwa penembakan terhadap aparat kepolisian di beberapa daerah di Indonesia.
Keempat, pendidikan yang masih menekankan ajaran kekerasan, termasuk pendidikan yang menggunakan indoktrinasi, alih-alaih memberikan ruang diskusi tentang suatu masalah. Pendidikan semacam itu sangat mungkin mendorong terjadinya radikalisasi karena kebebalan perspektif pendidikan agama.
Maka dari itu, saat ini sangat diperlukan pendidikan agama yang transformatif. Pendidikan agama yang tidak hanya mengajarkan persoalan jihad dalam makna kekerasan atau perang, tetapi jihad dalam makna yang luas seperti memberantas kemiskinan, politik licik dan partai yang buruk, serta hukum yang tidak adil. Jihad seperti itulah yang sesungguhnya harus dilakukan.
Kaum muda sebagai penentu
Sebagai penggerak masa depan, peran kaum muda sangat penting. Mereka adalah masa depan bangsa. Namun sayangnya, ada yang menganggap kaum muda sebagai kelompok yang mengacaukan. Kelompok-kelompok ekstremis sering merekrut anak muda yang dianggap masih belum punya banyak pengalaman sehingga mereka mudah kena indoktrinasi.
Padahal, mereka adalah kelompok masyarakat yang bergerak dan terus mencari. Kaum muda tidak bisa dianggap sebagai entitas yang berada dalam kesesatan pikir dan tindakan atas nama agama dan Tuhan. Karena itu, tidaklah adil dan proporsional jika menjadikan pemuda sebagai tertuduh.
Pendidikan Nilai Pancasila
Oleh sebab itu, lagi-lagi, pendidikan berperan penting. Kaum muda yang masih mengenyam pendidikan tingkat SMA dan Perguruan Tinggi harus mulai diajarkan materi yang sesuai dengan realitas sosial. Dengan begitu, mereka paham tentang realitas hidup yang sesungguhnya.
Pendidikan nilai-nilai pancasila yang mengajarkan tenggang rasa, keragaman, pengakuan sosial kemajemukan, serta misi damai membangun bangsa dan manusia bermartabat harus bisa diimplementasikan dalam kehidupan, tidak sebatas materi tekstual saja.
Kaum muda bukanlah sekadar objek, mereka juga menjadi subjek yang akan ikut berkontribusi dalam masyarakat. Dengan begitu, kaum muda perlu dilibatkan dalam proses perubahan sosial yang kian keras. Kaum muda perlu mendapatkan pemahaman kondisi sosial, ekonomi, politik, dan historis yang memadai sehingga memiliki gambaran jelas tentang sebuah fenomena di negerinya.
Kita tahu bahwa kaum muda penuh dengan kreativitas dan inisiatif. Oleh karena itu, pemberian ruang untuk berekspresi dan berimajinasi sesuai dengan cita-cita sosialnya akan sangat sangat berpengaruh. Kita sekarang dapat menyaksikan bahwa mereka adalah generasi yang sangat aktif dalam dunia maya.
Dakwah Media Sosial
Kaum muda adalah penikmat media sosial yang sangat tinggi setiap harinya. Bahkan zaman sekarang, kaum muda belajar agama dari media sosial, bukan dari pemuka agama yang berceramah secara langsung.
Inilah yang menjadi perbedaan kaum muda dengan generasi sebelumnya. Ini menjadi tantangan sekaligus tugas kaum elite agama yang dihadapkan dengan media sosial sebagai wadah penyampaian pemahaman keagamaan yang inklusif. Dengan begitu, kaum muda mampu memiliki pandangan, menghargai perbedaan, dan menghormati orang lain yang memiliki keyakinan berbeda darinya.
Dalam kaitan dengan dakwah agama, elite agama dan pemangku agama memiliki tugas menghentikan munculnya bibit radikal serta intoleransi pada kalangan muda. Caranya adalah dengan menyetop penggunaan doktrin-doktrin keagamaan yang disampaikan secara serampangan dan tidak lengkap sesuai konteks sosial historisnya.
Kaum elite agama harus memberikan contoh nyata dengan berkata yang santun, bijaksana, dan menentramkan, dan tidak bertindak sembarangan.