Alumni Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri sekaligus kader PMII di Ponpes Nurul Jadid, Paiton Probolinggo. Bisa disapa lewat Instagram @s.faylasuf

Antara Otoritas Agama dan Politik

Salman Akif Faylasuf

3 min read

Bagaimana cara kita meletakkan otoritas keagamaan yang berdimensi ilahiyah, transenden, dan mutlak dalam bingkai otoritas politik yang temporer, profan dan relatif? Sudah sekian lama pertanyaan ini telah mengganggu pikiran para sarjana untuk membuat rumusan-rumusan yang memungkinkan. Yang paling krusial dalam persoalan ini adalah bagaimana upaya membendung agama sebagai tameng politik kekuasaan di satu pihak, dan menjadikan agama sebagai legitimasi tindakan otoriter di pihak lain.

Dalam konteks Islam, hal ini tidak mudah dicari jalan keluarnya. Jika sekularisme dipandang sebagai jalan keluar yang paling memungkinkan untuk membendung arus otoritarianisme agama, konsep ini tidak dengan mudah diterima umat Islam. Ada semacam gugatan, misalnya mengapa hukum yang diadopsi dari barat jika diimplementasikan di suatu negara tidak akan dipermasalahkan, tapi jika hukum Islam akan dipersoalkan?

Demikian juga dengan pertanyaan: mengapa Islam sebagai legitimasi politik dipersoalkan, padahal Islam tidak bisa dipisahkan dari kehidupan politik? Bahkan, sejarah Islam adalah sejarah politik. Pertanyaan gugatan tersebut muncul karena komplikasi dari keterkaitan antara otoritas agama dan otoritas politik.

Berbeda dengan agama-agama yang lain, Islam sejak masa awal pendiriannya sering dipahami sebagai negara itu sendiri. Identitas agama dan pemerintah tidak dapat dipisahkan dari imajinasi dan kesadaran umat Islam, mulai dari teks suci, sejarah, dan pengalaman.

Bagi umat Islam, agama secara tradisional telah menjadi landasan, pusat identitas, dan kesetiaan. Karena itu, tidak mengherankan jika gerakan-gerakan sosial dan politik yang paling signifikan dalam sejarah Islam modern telah menempatkan Islam sebagai kekuatan pendorong dan pemersatu.

Perselingkuhan Dua Otoritas

Tah hanya itu, hal yang paling dikhawatirkan adalah terjadinya perselingkuhan dua otoritas kekuasaan. Perselingkuhan dua otoritas kekuasaan itu setidaknya akan membawa dua dampak.

Pertama, akan terjadi proses di mana urusan politik yang mestinya bersifat sekuler dan temporer, bisa berubah statusnya menjadi urusan ukhrawi dan sakral. Apabila seseorang melawan otoritas politik, orang itu segera bisa dikatakan melawan otoritas agama. Melawan hukum negara sama artinya melawan hukum agama. Cara pandang seperti ini sangat potensial digunakan para penguasa politik untuk menghabisi lawan-lawan politiknya dengan menggunakan isu dan jargon keagamaan.

Contoh yang paling fenomenal mengenai perselingkuhan dua otoritas ini adalah kasus “Mihnah” pada masa pemerintahan Al-Makmun ( 813-833 M) sampai masa Khalifah Al-Watsiq (842-847 M). Pada masa ini, Mu’tazilah mendominasi pemerintahan sehingga pemerintah mengeluarkan dekrit mihnah (inquisition). Mihnah adalah kebijakan yang dilakukan oleh Khalifah Al-Makmun untuk memberlakukan pemeriksaan—atau lebih tepatnya pemaksaan—kepada rakyatnya akan penerimaan doktrin al-Qur’an.

Peristiwa ini dilakukan dengan menggunakan kekuatan politik, bahkan dengan kekerasan. Ulama yang menjadi korban dari peristiwa ini adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Ia disiksa karena tidak mau mengikuti doktrin teologi Mu’tazilah yang menjadi doktrin teologi pemerintah al-Makmun (Philip K. Hitti, History of the Arabs).

Kedua, menyandarkan otoritas agama kepada kepada otoritas politik berarti menyandarkan sesuatu yang mutlak kepada yang relatif. Kesempurnaan yang mutlak seolah harus bersandar pada yang relatif. Hal ini sama dengan anggapan bahwa agama tidak akan bisa tegak jika tidak ditegakkan melalui negara. Cara pandang demikian mengandung problem teologis, sebab kebenaran ajaran Islam sebenarnya tidak terletak pada apakah ajaran itu diadopsi negara atau tidak, tetapi terletak pada sejauh mana ajaran itu bisa memengaruhi dan membentuk kesadaran masyarakat.

Hal yang paling krusial menyangkut hal ini adalah bagaimana Islam, terutama hukum syariah Islam, berhadapan dengan konstitusionalisme dalam paham negara hukum. Hal ini problematik karena sejarah Islam awal tidak mengenal konstitusionalisme sebagaimana hukum modern. Ketaatan umat Islam pada agama bukan karena agama ditegakkan melalui kekuasaan negara, tetapi lebih karena keimanan yang mengikat mereka secara spiritual. Oleh karena itu, dalam konteks negara modern, sering kali muncul kesenjangan dalam alam pikir umat Islam, antara ketundukan kepada hukum negara yang bersifat represif-temporer dan hukum agama yang bersifat spiritual-ilahiyah.

Baca juga:

Awal Konstitusi Islam

Negara Islam baru mengenal konstitusi pada abad ke-19. Negara yang kali pertama mengadakan konstitusi adalah kerajaan Utsmani pada 1876 yang di tandatangani Sultan Abdul Hamid. Konstitusi yang terdiri dari 19 bab dan 119 pasal itu banyak dipengaruhi Konstitusi Belgia 1831. Dalam konstitusi ini ditegaskan bahwa Sultan Abdul Hamid adalah pemegang kekuasaan kekhalifahan Islam yang menjadi pelindung agama Islam. Namun, konstitusi ini belum mengenal pemisahan trias politica. Peristiwa ini terkait dengan serangkaian peristiwa pembaruan hukum dimana pengaruh hukum Eropa begitu kuat terhadap hukum Islam.

Pada periode ini diperkenalkan juga pembaruan hukum niaga 1850, hukum pidana 1858, hukum tata niaga 1879, hukum perdata 1880, dan hukum niaga kelautan yang semuanya mengikuti hukum model Eropa yang mengusahakan sebuah model perundangan komprehensif (Dr. Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah).

Teokrasi dan Nomokrasi

Berangkat dari situasi ini, negara dalam teori politik Islam paling jauh bergerak dari teokrasi dan nomokrasi. Dalam negara teokrasi, penguasa memegang pemerintahan berdasar mandat dari Tuhan. Tuhan sebagai sumber kekuasaan menunjuk sebagian manusia untuk menjadi penguasa atas manusia lainnya. Karena itu, penguasa tidak bertanggung jawab kepada rakyat, tetapi kepada Tuhan.

Konsep nomokrasi sedikit bergerak dari teokrasi meski ujungnya teokrasi juga. Dalam negara nomokrasi, kepala negara menjalankan pemerintahan tidak berdasar mandat Tuhan, tetapi berdasar hukum-hukum syariat yang diturunkan Tuhan kepada manusia melalui rasul-Nya. Selama suatu perintah disebut secara tegas dalam syariat, maka penguasa tinggal melaksanakannya saja. Namun, karena hukum syariat lebih banyak yang bersifat global, manusia diberi wewenang yang luas untuk berijtihad terhadap masalah-masalah yang belum diatur dalam syariat.

Akhirnya, dari sini dapat dilihat bahwa konsep nomokrasi pun sebenarnya lebih dekat pada teokrasi dari pada demokrasi, sebab nomokrasi masih tetap mengandaikan adanya hukum syariat yang ditegakkan melalui negara. Inilah yang kemudian disebut sebagai ilusi berbahaya negara Islam yang bisa menjalankan syariah melalui kekuatan negara yang memaksa. Hal ini juga sama berbahayanya dengan upaya menarik Islam dari kehidupan publik umatnya.

Salman Akif Faylasuf
Salman Akif Faylasuf Alumni Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri sekaligus kader PMII di Ponpes Nurul Jadid, Paiton Probolinggo. Bisa disapa lewat Instagram @s.faylasuf

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email